Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hentikan Perang Sekarang Juga

Redaksi Editor : Widi Kusnadi - 28 detik yang lalu

28 detik yang lalu

0 Views

Salah satu demo "Gencatan Senjata Sekarang", (Foto: Middle East Monitor)

Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قَالَتْ اِنَّ الْمُلُوْكَ اِذَا دَخَلُوْا قَرْيَةً اَفْسَدُوْهَا وَجَعَلُوْٓا اَعِزَّةَ اَهْلِهَآ اَذِلَّةًۚ وَكَذٰلِكَ يَفْعَلُوْنَ ۝٣٤ (النمل [٢٧]: ٣٤)

Baca Juga: Baitul Maqdis, Negeri Para Nabi

“Ia (Bilqis) berkata, Sesungguhnya para raja, apabila memasuki suatu negeri (dengan perang), mereka merusaknya dan menjadikan yang mulia di antara penduduknya menjadi hina; dan demikianlah yang mereka lakukan.” (QS. An-Naml [27]: 34)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan, ayat tersebut menceritakan dialog Ratu Bilqis dengan para menterinya setelah menerima surat dari Nabi Sulaiman Alaihi Salam. Bilqis sedang menakar konsekuensi realistis dari sebuah peperangan.

Siapakah Bilqis? Ia adalah ratu Saba’ (sekarang wilayah Yaman). Ia memimpin sebuah kerajaan yang dikenal jaringan niaganya dan pertanian yang tertata. Al-Qur’an menggambarkannya sebagai pemimpin yang bijaksana dan tidak reaktif ketika menghadapi persoalan, khususnya tentang kemungkinan melakukan peperangan.

Bilqis menunjukkan gaya kepemimpinan yang matang. Sebelum memutuskan suatu perkara (perang atau tidak), ia terlebih dahulu menempuh beberapa tahap: bermusyawarah, mengirim utusan, menguji niat lawan, dan menerima persyaratan yang sudah jelas merupakan sebuah kebenaran.

Baca Juga: Dari Silaturahmi ke Ajang Pamer: Media Sosial yang Kehilangan Ruh

Ayat di atas juga memberikan pelajaran penting bahwa pada dasarnya, perang pasti membawa kerusakan dalam kehidupan masyarakat, kehancuran pranata sosial, dan akan menjatuhkan martabat para pimpinan yang kalah dalam perang.

Sejalan dengan itu, para pakar hukum internasional merumuskan prinsip-prinsip hukum humaniter modern. Mereka menekankan bahwa perang tidak boleh dijadikan instrumen untuk menyelesaikan perselisihan, melainkan harus didahului dengan upaya diplomasi, mediasi, dan jalan-jalan damai lainnya. Jika pun perang tidak terelakkan, maka tujuan utamanya untuk membela hak dan kehormatan yang terancam.

Dari kandungan ayat di atas, lahirlah hukum humaniter internasional yang diakui dunia, seperti Konvensi Jenewa (1864 M), yang mengatur batasan-batasan dalam peperangan, di antaranya: melindungi warga sipil, melarang membunuh tawanan, tenaga medis, wartawan, warga sipil, menjaga tempat ibadah dan fasilitas publik, serta melarang penggunaan senjata yang menimbulkan penderitaan secara massal.

Perang bukanlah sesuatu yang diinginkan dalam Islam, melainkan pilihan terakhir yang hanya diambil bila tidak ada jalan lain untuk menjaga kehormatan dan menolak kedzaliman. Islam bukanlah agama yang datang membawa peperangan, melainkan membawa kedamaian dan rahmat bagi seluruh alam.

Baca Juga: Menjarah: Akibat dari Keserakahan dan Ketidakadilan

Namun, Islam juga tidak membiarkan umatnya hidup dalam penjajahan dan penindasan tanpa perlawanan. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya:

اُذِنَ لِلَّذِيْنَ يُقَاتَلُوْنَ بِاَنَّهُمْ ظُلِمُوْاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ عَلٰى نَصْرِهِمْ لَقَدِيْرٌۙ ۝٣٩ ࣙالَّذِيْنَ اُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ اِلَّآ اَنْ يَّقُوْلُوْا رَبُّنَا اللّٰهُۗ وَلَوْلَا دَفْعُ اللّٰهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَّصَلَوٰتٌ وَّمَسٰجِدُ يُذْكَرُ فِيْهَا اسْمُ اللّٰهِ كَثِيْرًاۗ وَلَيَنْصُرَنَّ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ لَقَوِيٌّ عَزِيْزٌ ۝٤٠ (الحج [٢٢]: ٣٩ــ٤٠)

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dizalimi. Dan sungguh Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (Yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: ‘Tuhan kami hanyalah Allah. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, sinagoge-sinagoge, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS. Al-Hajj [22]: 39-40).

Imam Al-Qurthubi Rahimahullah menafsirkan ayat ini sebagai dalil bahwa peperangan dalam Islam disyariatkan hanya ketika kaum Muslimin dizalimi, diusir dari tanah airnya, atau dilarang menjalankan syariat agamanya.

Baca Juga: Ketika Nabi Sulaiman Memperbarui Masjidil Aqsa

Ayat di atas juga mengisyaratkan, bahwa perang bukan untuk keserakahan, mengejar ambisi duniawi, bukan pula untuk merampas hak orang lain, melainkan untuk mempertahankan kehormatan, agama, hak hidup bagi setiap manusia, menjaga tempat-tempat ibadah semua agama, seperti biara, wihara, sinagog, masjid dan lainnya.

Potret Kehancuran dari Perang di Gaza

Penjahat perang Zionis Israel Benyamin Netanyahu menyatakan, tiga tujuannya menyerang Gaza adalah: menyelamatkan sandera, melenyapkan Hamas dan menguasai Gaza. Faktanya, hampir dua tahun berperang, semua tujuannya tidak terwujud.

Agresi Zionis Israel di Gaza melahirkan luka yang begitu dalam, bukan hanya bagi rakyat Palestina, tetapi juga bagi nurani dunia. Gaza menjadi saksi betapa perang hanya menyisakan kehancuran, tanpa ada satu pun nilai-nilai luhur yang bisa diwariskan darinya.

Baca Juga: Fenomena Riya’ Digital: Bahaya Pamer Ibadah dan Gaya Hidup di Media Sosial

Hari ini, Gaza berada dalam kehancuran. Bangunan yang dulunya menjadi rumah, sekolah, masjid, gereja dan rumah sakit kini rata dengan tanah. Kota yang semestinya berjalan dengan riuh dengan kehidupan warganya, kini hanya menyisakan kepedihan, tangisan, dan suara ledakan yang tak kunjung usai.

Infrastruktur Gaza kini hampir musnah. Kebengisan Zionis Israel di Gaza telah menghapus kehidupan dan kebudayaan rakyat Palestina. Rumah yang dulu menjadi tempat berlindung kini tinggal puing-puing. Sekolah yang semestinya melahirkan generasi harapan, kini tinggal reruntuhan. Sementara masjid dan gereja yang seharusnya menjadi pusat kedamaian, kini hancur lebur tak bersisa.

Gaza tidak lagi menampilkan wajah sebuah kota, melainkan lautan luka yang terus berdarah. Perempuan, anak-anak, dan orang tua menjadi korban terbanyak. Zionis Israel telah melanggar Konvensi Jenewa yang dibuat sendiri oleh para pendukungnya.

Saat ini para pemimpin dunia menyaksikan itu semua, namun mereka hanya diam seribu bahasa, tanpa tindakan nyata. Keadilan tak kunjung mereka tegakkan jika tidak menyangkut kepentingan mereka.

Baca Juga: Tadabur Rekayasa Jalan Raya, Ikhtiar Menuju Keselamatan Berkendara

Para jurnalis yang berusaha menyiarkan kebenaran pun turut menjadi target sasaran pembunuhan. Begitu juga tenaga medis yang seharusnya dilindungi dalam aturan perang internasional, justru ditangkap, disiksa dan ditembak mati. Kekejaman itu telah mencabik-cabik rasa kemanusiaan.

Jutaan orang terpaksa meninggalkan rumah mereka, berdesakan di tenda-tenda pengungsian. Mereka hidup dalam ketakutan, tanpa kepastian masa depan, hanya berharap pada setetes air dan sepotong roti untuk bertahan dan menyambung kehidupan.

Kelaparan sebagai Senjata

Dunia saat ini menyaksikan, Zionis Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata menghancurkan rakyat Gaza. Makanan, obat-obatan, bahan bakar dan bantuan kemanusiaan lainnya dilarang masuk. Sungguh hal itu merupakan kejahatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Baca Juga: Bersaudara Karena Allah

Di jalan-jalan Gaza, wajah pucat dan tubuh lemah menjadi pemandangan sehari-hari. Anak-anak yang semestinya berlari di halaman sekolah kini berjalan gontai mencari setetes air bersih.

Lansia terbaring tanpa tenaga, menunggu uluran tangan yang entah kapan datangnya. Gambaran ini bukan sekadar angka statistik, melainkan jeritan manusia dalam kehidupan nyata dan dan masih terjadi hingga detik ini.

Namun, di tengah tragedi kelaparan ini, rakyat Gaza tetap menunjukkan keteguhan yang menakjubkan. Mereka tetap berbagi sepotong roti dengan tetangga, tetap mengucap syukur atas seteguk air yang tersisa, dan tetap meyakini bahwa Allah Ta’ala tidak akan meninggalkan mereka.

Tragedi Gaza adalah ujian terbesar bagi nurani kemanusiaan dunia. Jika umat manusia gagal menghentikan penderitaan ini, maka sejarah akan mencatat bahwa kita pernah hidup di zaman ketika kelaparan sengaja dijadikan senjata, dan dunia memilih diam. Diamnya para pemimpin dunia, sama artinya dengan mendukung genosida yang terus berlangsung di Gaza.

Baca Juga: 7 Alasan Rakyat Palestina Yakin Indonesia Bantu Perjuangannya

Selesaikan Krisis Gaza dari Akarnya

Menyelesaikan krisis Gaza tentu harus langsung para akar masalahnya. Profesor sejarah Eropa, spesialis kajian Holocaust di Brown University, Amerika Serikat, Omer Bartov menyimpulkan, bahwa Israel lah yang menjadi aktor utama dalam tindakan “kejahatan perang sistematis, kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

Omer Bartov menyusun pandangannya itu dalam tulisan opini di media The Guardian dan The New York Times. Menurutnya, langkah pertama yang harus dilakukan untuk menyelesaikan Krisis Gaza adalah menghentikan serangan Zionis Israel.

Sementara itu, Profesor Ilmu Politik di University of Chicago, John Mearsheimer menyuarakan, bahwa satu-satunya jalan keluar dari krisis Palestina adalah mengakhiri pendudukan Zionis Israel di wilayah itu dan mengizinkan Palestina memiliki negara merdeka. Tanpa itu, Israel akan terus memperburuk hubungan internasional negeri-negeri Barat, khususnya Amerika Serikat.

Baca Juga: Amal Baik vs Amal Banyak: Rahasia Hidup Bermakna Menurut QS. Al-Mulk Ayat 2

Untuk mewujudkan hal itu, negara-negara dunia, khususnya anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), harus bersatu untuk mencegah agresi Zionis ke Gaza. Putuskan seluruh hubungan politik, ekonomi, maupun militer yang bisa memperkuat Israel. Semakin lemah Israel, semakin kecil kemampuannya untuk melanjutkan kejahatan terhadap rakyat Palestina.

Langkah berikutnya adalah mengatasi krisis kemanusiaan yang akut di Gaza, blokade yang diberlakukan Israel harus segera dibuka. Bantuan pangan, obat-obatan, dan bahan bakar harus mengalir tanpa hambatan.

Dunia harus memberi ruang bagi para aktivis kemanusiaan untuk bekerja langsung di lapangan, menolong mereka yang kini menghadapi kelaparan dan penderitaan luar biasa.

Krisis Gaza sejatinya bisa diakhiri bila para pemimpin dunia benar-benar bersatu. Jika negara-negara Muslim meninggalkan ego sektoral dan kepentingan domestik, mereka akan menjadi kekuatan besar yang mampu menekan Israel dan sekutunya.

Baca Juga: Kursi Tak Akan Dibawa Mati, Nasihat untuk Pemimpin Rakus Dunia

Namun jika mereka tetap terpecah, sibuk dengan urusan masing-masing, atau takut pada ancaman Barat, maka Israel akan terus merasa aman melakukan kejahatan, dan rakyat Gaza akan terus menjadi korban.

Menyelamatkan Gaza bukan sekadar tugas bangsa Arab atau umat Islam, melainkan tanggung jawab seluruh manusia. Membiarkan genosida berlangsung berarti membiarkan nilai kemanusiaan hancur di depan mata kita sendiri.

Harapan masih tetap ada. Rakyat Palestina sendiri menunjukkan keteguhan luar biasa. Meski dihantam berbagai musibah dan derita. Mereka tetap teguh bertahan di tanah kelahiran mereka, dengan keyakinan bahwa penjajahan tidak akan bertahan selamanya.

Dunia harus jujur bahwa penjajahan adalah sumber utama konflik. Jika penjajahan – di mana pun berada- tidak diakhiri, maka perdamaian hanyalah ilusi. Agresi Zionis ke Gaza khususnya dan semua wilayah Palestina harus dihentikan sekarang juga, bukan besok, apalagi lusa.

 

والله أعلمُ بِالصَّوَابِ

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Amerika
Internasional