berkah-300x225.jpg" alt="berkah" width="519" height="389" />Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ( ) فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ( )
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum`at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS Al-Jumu’ah [62]: 9-10).
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Turunnya ayat ini berkaitan dengan peristiwa pada saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkhutbah pada hari Jum’at. Kemudian datanglah kafilah dagang yang membawa barang-barang dagangan dari negeri Syam (kawasan Palestina sekarang). Memang tidak setiap waktu para kafilah dagang tersebut menyambangi negeri Madinah. Hanya sesekali saja dalam semusim, untuk singgah sebentar, lalu melanjutkan perjalanan ke daerah lainnya.
Sudah menjadi kebiasaan para pedagang jazirah Arab mengadakan perjalanan dagang pada musim panas ke negeri Yaman dan pada waktu musim dingin ke negeri Syam (kawasan yang meliputi Palestina, Lebanon, Suriah dan Yordania). Allah pun mengabadikannya di dalam Al-Quran :
لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ ( ) إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ ( ) فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ ( ) الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَءَامَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ ( )
Artinya : “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka`bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (QS Al-Quraisy [106]: 1-4).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Demi mendengar ramai gelaran pameran atau perdagangan dimulai, maka jama’ah Jum’ah yang sedang mendengarkan khutbah dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mulai terusik hatinya. Antara terus mendengarkan khutbah sampai selesai, atau keluar walau sejenak untuk memesan barang-barang didagangkan yang memang sangat diperlukan.
Apa yang terjadi? Ternyata tidak sedikit jama’ah Jum’ah pada waktu itu yang terpaksa keluar untuk menjemput rombongan kafilah dagang dengan meninggalkan mendengar khutbah Jum’ah.
Memang Allah Ta’ala, dengan Ke-Mahaadilan-Nya telah menyiapkan ayat-ayat tausiyah-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang suatu saat bisa lalai dan lupa, serta bisa berbuat maksiat dan khianat. Maka, Allah pun menurunkan ayat tersebut sebagai teguran keras sekaligus penegasan dari Yang Maha Pemberi Rezki, bahwa apa yang di sisi Allah adalah jauh lebih baik daripada apa yang ada pada dunia perdagangan atau bisnis yang menjanjikan sekalipun.
Hal ini sekaligus juga mengingatkan kita pengikut beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, agar tidak dilalaikan dengan urusan bisnis dan keduniaan pada umumnya. Bahkan harus selalu terikat dengan ingat kepada Allah, dzikrullah.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Allah menegur di dalam ayat:
وَإِذَا رَأَوۡاْ تِجَـٰرَةً أَوۡ لَهۡوًا ٱنفَضُّوٓاْ إِلَيۡہَا وَتَرَكُوكَ قَآٮِٕمً۬اۚ قُلۡ مَا عِندَ ٱللَّهِ خَيۡرٌ۬ مِّنَ ٱللَّهۡوِ وَمِنَ ٱلتِّجَـٰرَةِۚ وَٱللَّهُ خَيۡرُ ٱلرَّٲزِقِينَ
Artinya : “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi Rezki.” (QS Al-Jumu’ah [62]: 11).
Perniagaan berbasis dzikrullah, itulah yang selalu menjadi motor penggerak kita dalam berniaga. Sehingga sedikit keuntungan yang sifatnya duniawi akan berbalas keuntungan ukhrawi berlipat ganda. Maka, bagi mereka yang berkecimpung di dalam dunia perusahaan, perkantoran, kontraktor, pegawai, dokter, karyawan, buruh, dan rakyat jelata pada umumnya, akan menjadi pilar utama pembangunan seutuhnya manakala menjadikan dzikrullah sebagai sandaran tiap langkah-langkahnya. Sehingga Allah pun berkenan memberikan pertolongan, karunia, dan limpahan barokah rezki sekehendak-Nya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Jangan Takut Kehilangan Tezki
Janganlah kita merasa takut kehilangan rezki, ditinggal pergi pelanggan, atau kaburnya calon pembeli, karena kita hanya ingat kepada Allah. Justru di situlah letak keberkahan rezki kita, yang insya Allah dengan izin Allah justru akan terus bertambah, melimpah dalam ridha-Nya.
Sebaliknya, marilah kita tumbuhkan rasa takut manakala ditinggalkan oleh Allah disebabkan kita lebih mengutamakan perniagaan dan urusan duniawi daripada mendengar dan melaksanakan titah perintah-Nya, serta lebih mengutamakan keuntungan materi dibandingkan keberkahan-Nya.
Janganlah kita pura-pura lupa kepada Allah, pura-pura tidak mendengar panggilan adzan, pura-pura tidak tersedia uang recehan untuk sedikit shadaqah di kotak masjid, dan kepura-puraan lainnya. Maka sungguh Allah akan melupakan kita. Kalau Allah Sang Pemilik langit dan bumi sudah melupakan kita, lalau kita akan menetap di bumi mana lagi? Kita akan memperoleh rezki dari mana lagi?
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Allah memperingatkan kita akibat kefasikan kita itu :
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ ( ) لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ ( )
Artinya : “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Al-Hasyr [59]: 19-20).
Padahal iman dan taqwa itulah, keyakinan dan konsekwensi menjalankan perintah Allah itulah, penyebab utama limpahan karunia dan keberkahan-Nya. Sebagaimana Allah sendiri yang menjanjikan di dalam kirab suci-Nya :
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Artinya : “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka, barokah dari langit dan bumi, tapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Q.S. Al-A’raaf [7]: 96).
Melimpah dan Berkah
Apa bisa hidup berkah dengan harta melimpah??? Jangan-jangan itu hanya semacam janji transaksi kita saja kepada Allah di dalam pikiran kita, belum sampai ke hati, “Ya Allah kalau saya kaya dengan harta melimpah, saya akan gemar bershadaqah, membangun masjid, menyantuni yatim piatu,…..dst”.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Niat seperti itu tentu saja baik, karena Allah, dan terus dipertahankan sampai benar-benar mendapatkan harta yang dicarinya, dengan tidak melupakan janji itu sedikitpun. Tidak mustahil akan mengikuti jejak-jejak kedermawanan para sahabat aghniya (kaya) jaman Nabi. Hanya saja manusia seringkali lupa daratan setelah kelamaan berenang di samudera kemewahan, setelah ia menjadi kaum berada dan ber-uang. Bahkan ia semakin galak dan rakus melebihi beruang sungguhan, yang ingin mencengkeram seluruh harta yang dikira miliknya itu. Na’udzubillahi min dzalik.
Contoh kedermawanan sahabat yang selalu dikedepankan adalah Abdurrahman bin Auf. Tentu saja tanpa bermaksud mengecilkan kedermawanan para sahabat lainnya yang juga sangat dermawan, semacam : Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, ‘Aisyah, dsb. Abdurrahman bin Auf hanya sepenggal cuplikan kisah yang layak kita baca, kita kaji, dan kita ikuti jejak langkahnya.
Abdurrahman bin Auf termasuk generasi sahabat yang berbai’at kepada Nabi masuk Islam paling awal, dan masuk dalam sepuluh besar sahabat yang dijamin dengan syurga. Beliau adalah pebisnis yang sangat tangguh, konsisten, dann komitmen dalam menjalankan usahanya secara professional. Prinsip beliau yang sangat tangguh tidak pernah goyah dalam memanaj bisnisnya adalah hanya mau berbisnis dengan barang dan cara yang halal dan menjauhkan dari yang haram, bahkan yang syubhat (meragukan) sekalipun beliau berani tinggalkan.
Komitmennya yang juga sangat kokoh adalah setiap keuntungan usahanya yang diperolehnya, beliau sangat menikmatinya degan cara menunaikan hak keluarga dan hak perjuangan di jalan Allah. Beliau menjadikan harta kekayaannya itu sebagai suatu yang beliau kendalikan, bukan harta itu yang mengendalikannya.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Sebagai contoh, suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membutuhkan dana besar untuk membiayai Perang Tabuk, yang memang terkenal sebagai perang di medan tersulit sepanjang sejarah perjuangan Nabi. Karena di samping medan yang ditempuhnya sangat jauh, ditambah situasi Madinah yang dalam keadaan musim panas.
Seketika tanpa pikir panjang lagi, tampillah Abdurrahman bin Auf dengan segenap keikhlasannya menghadap Nabi seraya menyumbangkan 200 uqiyah emas (1 uqiyah setara dengan 50 dinar emas). Itu sama nilai dengan 200 uqiyah x 50 dinar x Rp2.000.000,- (kurs rupiah ke dinar 2016 sekitar Rp2.000.000,-) = Rp20.000.000.000,- alias 20 miliar rupiah! Allahu Akbar!!
Demi mendengar besarnya sumbangan itu, sampai-sampai Umar bin Khattab berbicara khusus kepada Nabi, “Sepertinya Abdurrahman berdosa kepada keluarganya karena tidak meninggalkan uang belanja sedikitpun untuk keluarganya”. Mendengar hal ini, beliau pun bertanya kepada Abdurrahman, “Apakah engkau meninggalkan uang belanja untuk isterimu?”. “Ya!”, jawab Abdurahman. “Mereka saya tinggali lebih banyak dan lebih baik lagi dari yang saya sumbangkan”. “Berapa?”, Tanya Rasulullah. “Sebanyak rezki dan pahala yang dijanjikan Allah”. Jawabnya singkat.
Belum cukup dengan setara 20 miliar rupiah itu. Ketika di lain waktu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berpidato memberikan spirit dan anjuran kepada kaum muslimin untuk berinfak bagi perjuangan. Seketika mendengar itu pula Abdurrahman menshadaqahkan hartanya senilai 2.000 dinar, atau senilai 2.000 x Rp2.000.000,- = Rp4.000.000.000,- alias 4 miliar rupiah! Allahu Akbar!
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Tak kuasa melihat hal itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendekati Abdurrahman seraya mendoakan secara khusus untuknya, “Semoga Allah melimpahkan barokah-Nya kepadamu, terhadap harta yang engkau berikan, dan semoga Allah memberikan barokah-Nya pula terhadap harta yang engkau tinggalkan untuk keluargamu”.
Belum puas rasanya Abdurrahman menikmati kelebihan harta perniagaannya yang melimpah lagi penuh berkah itu untuk jalan Allah, maka tak tanggung-tanggung, beliau pun tanpa menghitung-hitung lagi menyumbangkan seluruh barang dagangan yang dibawa oleh para kafilahnya untuk dibagikan kepada seluruh penduduk Madinah yang membutuhkan waktu itu. Berapa nilai barang dagangannya itu? Kafilah tersebut membawa barang-barang kebutuhan sehari-hari yang diangkut oleh tidak kurang dari 700 ekor unta yang memenuhi jalan-jalan sepanjang kota Madinah.
Ditambah lagi beliau masih menyempatkan memberikan donasi untuk perjuangan sejumlah 40.000 dinar emas + 40.000 dirham perak + 200 uqiyah emas + 1.500 ekor unta + 500 ekor kuda. Berapa nilainya kalau dirupiahkan? Ndak usah lah cape-cape menghitung-hitungnya, toh kita tidak akan pernah, mungkin tidak akan pernah terjadi lagi orang bershadaqah sebanyak itu, dan lagi pula Bapak Abdurrahman bin Auf sendiri tidak menghitung-hitungnya.
Tapi, mungkin tidak ada salahnya kita hitung juga sebagai ibrah (pelajaran) buat kita yang terlalu serakah dengar menggenggam harta itu. Semoga dengan demikian paling tidak kita setahap demi setapak mengikuti jejak kakinya.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Jumlahnya donasi Abdurrahman bin Auf kalau kita tulis di papan adalah sebagai berikut :
>40.000 dinar/emas x Rp2.000.000,- = Rp80.000.000.000,-
>40.000 dirham/perak x Rp60.000,- = Rp2.400.000.000,-
>200 uqiyah x 50 dinar x Rp2.000.000,- = Rp20.000.000.000,-
>1.500 ekor unta x Rp15.000.000,- = Rp22.500.000.000,-
>500 ekor kuda x Rp10.000.000,-= Rp5.000.000.000,-
Jumlah total = Rp129.900.000.000,- alias Rp129 miliar lebih…!!!)
Subhaanallaah, walhamdulillaah, laa ilaaha illaallaah, allahu akbar……!!!
Pada puncak usianya, beberapa saat sebelum ajalnya menjemput, beliau berwasiat bukan bagaimana seluruh isteri dan anak-anaknya berlimpah harta atau agar bagaimana tujuh generasi keturunannya terjamin dengan tumpukan rekening di tabungannya masing-masing. Akan tetapi yang awal beliau minta datang adalah Utsman bin Affan, sahabatnya yang juga dermawan. Beliau titipkan wasiat agar seluruh sahabat veteran Perang Badar, yang pernah bertempur di medan jihad di Badar pada masa Nabi, masing-masing agar dibagikan dari hartanya senilai 400 dinar per orang. Hitung saja sendiri kalikan dengan Rp2.000.000,- = Rp800 juta tiap orang. Coba dikalikan dengan para sahabat yang ikut Perang Badar sekitar 300 orang! (Senilai Rp240 miliar)
Utsman bin Affan pun berkomentar singkat, “Harta Abdurrahman bin Auf halal lagi bersih, memakan harta itu membawa selamat dan berkah”. Bukan hanya Utsman yang mengenang kebaikan Abdurrahman, sebagian besar penduduk Madinah pun berkata, “Seluruh penduduk Madinah terlibat dengan Abdurahman bin Auf pada hartanya. Karena sepertiga hartanya dipinjamkannya pada mereka, sepertiganya lagi untuk membayari hutang-hutang mereka, dan sepertinganya dibagi-bagikan kepada mereka”.
Mari Berinfaq
Ya, begitulah dengan harta melimpah, justru menjadi kesempatan bagi orang semacam Abdurrahman untuk beramal dan berbuat kebajikan sebanyak mungkin di jalan Allah. Seberapa banyak dan besar untuk kepentingan diri dan keluarga, toh tidak akan dibawa mati. Pahala yang dibawa mati yang sebenarnya adalah shadaqah ikhlas yang dibagi-bagikan di jalan kebaikan. Itulah hartanya yang sesungguhnya. Dan, Abdurrahman adalah contoh manusia cerdas yang mampu mengendalikan hartanya untuk kebaikan dirinya. Sekarang beliau menikmati jerih payahnya menikmati kebahagiaan hakiki di alam baka sana, melebihi seluruh hartanya di alam fana dunia semasa hidupnya dahulu.
Apakah setelah gemar bershadaqah dan berinfaq di jalan Allah, lalu serta merta menjadi miskin atau bangkrut? Tidak juga! Sekali lagi tidak juga! Karena memang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri yang menjaminkan hal itu dalam sabdanya :
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
Artinya : “Tidaklah berkurang karena shadaqah, dari harta.” (HR Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
Terhadap sahabat bernama Bilal bin Robbah Radhiyallahu ‘Anhu pun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berpesan :
أَنْفِقْ بِلاَل ! وَ لاَ تَخْشَ مِنْ ذِيْ العَرْشِ إِقْلاَلاً
Artinya “Berinfaklah wahai Bilal! Janganlah takut hartamu itu berkurang, karena ada Allah yang memiliki ‘Arsy (Yang Maha Mencukupi).” (HR Al-Bazzar dan Ath-Thabrani).
Begitulah kenyataannya, Abdurrahman yang tadi dikisahkan tidak main-main dalam menshadaqahkan hartanya yang melimpah ruah itu, tidak tambah miskin apalagi bangkrut. Ia sendiri merasakan betapa betapa semakin banyak dinfaq-kan di jalan Allah, betapa semakin banyak jalan-jalan hartanya itu Allah tunjukkan. Bahkan diprediksi sepertiga kekayaan jazirah Arab waktu itu ada dalam genggaman Abdurrahman. Mungkin termasuk deretan orang terkaya di dunia waktu itu. Apa buktinya? Setelah wafat dalam usia sekitar 72 tahun, beliau masih menyisakan harta warisan untuk anak isterinya.
Berapa jumlahnya? Yakni 1.000 ekor unta, 100 ekor kuda, 3.000 ekor kambing, dan masing-masing isterinya mendapatkan warisan senilai 80.000 dinar emas atau setara dengan 160 miliar tiap isterinya. Total harta peninggalannya mencapai 2.560.000 dinar atau setara dengan 5,12 triliun rupiah!!! Plus Rp28 miliar jika binatang ternak itu dirupiahkan.
Ahli Ibadah
Begitulah, sosok Abdurrahman yang biasa ditemui di tiga tempat yaitu : masjid, medan perang, dan pasar. Di masjid dialah ahli ibadah yang khusyu’, di medan perang dialah prajurit yang gagah berani, di pasar dialah pedagang yang ulung. Pribadi yang tidak menghitung-hitung lagi amal kebajikan dan sederet shadaqahnya, sesuai dengan yang dipesankan sendiri oleh baginda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Apakah kita ini gerangan? Terlalu kaya atau kaya saja tidak? Ahli ibadah bukan? Aktif di medan jihad juga tidak seberapa? Tapi masih ingin disebut sebagai pengikut sahabat yang mulia. Astaghfirullaah.
Ya, Allah, betapa serahaknya hamba-Mu ini dalam harta dunia, ampunilah dosa-dosa kami, jadikanlah kami orang yang berbakti. Aamiin. (P4/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)