Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hidup Disetir Standar TikTok

Arina Islami Editor : Ali Farkhan Tsani - Ahad, 28 Juli 2024 - 03:11 WIB

Ahad, 28 Juli 2024 - 03:11 WIB

127 Views

Ilustrasi bermain media sosial (Annajah)

Platform media sosial TikTok saat ini berhasil bersaing dengan berbagai media sosial yang lebih dulu lahir seperti Facebook dan Instagram. Per Januari 2024, TikTok masuk lima besar dengan jumlah pengguna terbanyak di dunia, menurut data We Are Social. Di periode yang sama, Indonesia bahkan menduduki peringkat kedua setelah Amerika Serikat sebagai negara dengan pengguna TikTok terbanyak yaitu 126,83 juta orang.

Kita melihat META (perusahaan yang menaungi Facebook, Instagram, dan WhatsApp) meniru bagaimana TikTok menarik penggunanya yaitu dengan tampilan video-video singkat. Instagram memunculkan fitur Reels, begitu pula Facebook. Bahkan YouTube pun menghadirkan fitur Short yang mirip-mirip dengan tampilan TikTok. Ini membuktikan bagaimana TikTok berhasil menciptakan benchmark di media sosial.

Kemudahan menggunakan media sosial ini, membuat semua orang bisa menyampaikan pendapatnya; entah benar atau salah, berdasarkan ilmu atau sebatas menerka-nerka. Konten-konten di TikTok bisa dibuat oleh siapa pun dan berisi apa pun. Banyak yang berbagi informasi berdasarkan data akurat, tapi tidak sedikit juga yang menyebarkan pendapat dengan gegabah.

Akhir-akhir ini, mungkin Anda sering mendengar kata “Independent Women.” Sebuah julukan yang disematkan kepada para perempuan pekerja dan biasanya memilih untuk tidak menikah. Di TikTok, banyak yang mengklaim dirinya sebagai “Independent Women” dengan menampilkan kemewahan, individualisme, bahkan menjatuhkan perempuan lain yang memilih menikah dan berkeluarga. Kemudian perempuan yang menjadi ibu rumah tangga diberi label “beban” suami.

Baca Juga: Enditra Al Zidane SMA IT Insan Mandiri Raih Emas di CIKAL AMRI CUP 2024

Independent Women” menjadi identik dengan keangkuhan bahwa kehidupannya tidak membutuhkan orang lain. Padahal sejak kapan, kita tidak dibantu orang lain? Dari lahir hingga meninggal pun, kita bahkan masih memerlukan bantuan orang. Konten-konten TikTok seperti ini berhasil menciptakan standar baru bahwa perempuan “keren” adalah perempuan yang mementingkan diri sendiri.

Anda mungkin juga mendengar istilah “aura maghrib.” Sebuah istilah yang diberikan warga TikTok kepada mereka yang berkulit coklat gelap seperti warna sawo matang maupun tan skin. Standar ini kemudian membuat orang-orang berlomba melakukan segala cara (mulai dari cara sehat sampai dengan cara sesat) untuk mendapatkan kulit putih, kinclong, glowing atau yang disebut glass skin. Orang-orang pemilik kulit gelap dipaksa harus mengikuti standar itu, jika tidak maka bersiaplah dengan julukan “aura maghrib.”

Padahal, bukankah warna kulit adalah pemberian Sang Pencipta yang tidak bisa by request? Lagipula waktu maghrib identik dengan keindahan senja di ufuk barat ketika matahari terbenam, namun tiba-tiba berubah menjadi “negatif” karena standar warga TikTok.

Tidak hanya itu, standar manusia baik pun ditentukan oleh TikTok. Pengakuan warga TikTok saat ini seakan-akan lebih penting dibandingkan nilai-nilai moralitas bahkan nilai agama.

Baca Juga: Santri Ponpes Al-Fatah Lampung Ukir Prestasi Juara Lomba Dai

Padahal di TikTok, orang berilmu maupun mereka yang bodoh-membodohi sama-sama boleh bersuara, mereka yang bicara dengan keilmuan dan mereka yang bicara berdasarkan kecacatan berpikir sama-sama diterima. Sialnya, semua itu juga sama-sama punya kesempatan untuk FYP di beranda akun Anda.

Saya kerap kali mendengar, beberapa teman bercerita tentang pencapaian-pencapaian mereka yang katanya tidak seberapa jika dibandingkan dengan orang-orang di TikTok. Teman lainnya mengaku takut menikah karena khawatir terjebak dalam hubungan “toxic” ala TikTok. Seorang kawan tiba-tiba jadi “broken home” karena sang Orang Tua tidak memberikan keharmonisan sebagaimana yang ia lihat di TikTok. Kemudian, beberapa sahabat mengatakan kita tidak boleh begini dan begitu karena akan disebut “red flag” oleh warga TikTok. Alhasil, kehidupan abad modern ini disetir oleh standar dari TikTok.

Rasa-rasanya, TikTok sudah sangat berhasil menaruh sebuah gambaran bahwa beginilah kehidupan yang ideal. Satu pengguna mengunggah pendapat dan ceritanya, kemudian ribuan pengguna lain mengamini secara serentak. Terbitlah sebuah standar baru yang seolah memaksa semua orang harus mengikuti jika ingin diakui eksistensinya.

Selain pola pikir dan gaya hidup yang diseragamkan oleh TikTok, patokan fashion pun diambil oleh platform tersebut, termasuk fashion muslimah. Tidak sedikit muslimah yang sebelumnya menjulurkan jilbabnya hingga menutupi dada, tiba-tiba melilit lehernya dengan kain panjang tanpa jarum pentul yang tentu saja membuatnya rawan terbuka jika tertiup angin.

Baca Juga: Dukung Pembangunan Inklusif, Pemuda RI Jalin Hubungan dengan Afrika

Adalagi hijab “turban,” gaya berjilbab yang membungkus kain di bagian kepala untuk menutupi rambut, sedangkan leher dan telinganya dibiarkan tampak. Jelas, gaya jilbab seperti ini bukanlah fashion yang sesuai bagi seorang muslimah.

Namun, kata warga TikTok, memakai jilbab dengan gaya seperti itu membuat seorang perempuan terlihat lebih elegan dan “mahal,” katanya gaya seperti itu memunculkan aura-aura “old money.” Timbullah semakin banyak muslimah yang meniru style fashion seperti itu agar sesuai dengan standar keren versi TikTok.

Kita bisa saja mengatakan bahwa TikTok hanyalah sebuah wadah, kitalah yang harus bijak mencari konten-konten bermanfaat. Tapi seberapa banyak pengguna yang bijak? Dan bagaimana perbandingan konten-konten bermanfaat itu dengan konten-konten “standarisasi” seperti yang disebutkan di atas?

Sepertinya ini menjadi PR kita bersama, bagaimana menghadirkan banyak konten edukatif yang bisa meredam atau bahkan menghilangkan segala standarisasi berlebihan yang lahir dari TikTok. Terkhusus bagi generasi muda yang mendominasi pengguna TikTok, sudah seharusnya kita tidak serta merta menganggukkan kepala dan menelan semua informasi yang ada di TikTok tanpa mencerna terlebih dahulu.

Baca Juga: Aksi Teatrikal Santri Al-Fatah Cikampek “Stop Genoside”

Kita memang tidak bisa membendung laju perkembangan teknologi, apalagi menutup mata dengan apa yang ada di dalam TikTok. Tetapi mari tidak menjadikan TikTok sebagai standar kehidupan yang ideal, mari memahami bahwa tidak semua tren harus diikuti, mari mengakui bahwa menjadi berbeda bukan masalah besar karena hidup memang tak perlu selalu seragam, mari menyadari bahwa TikTok adalah tempat semua orang berpendapat dan tidak semua pendapat layak diterima.

Dengan begitu, kita bisa lebih tenang menjalani kehidupan tanpa mengharapkan pengakuan dari siapa pun, apalagi dari manusia-manusia yang tidak kita kenal di media sosial. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Agar TikTok Tidak Merusak Moral dan Nalar

Rekomendasi untuk Anda

Internasional
Kolom
MINA Millenia
MINA Millenia
Indonesia