PERNAKAH kita berpikir bahwa hidup ini seperti sebuah game? Setiap game pasti punya level yang harus dilewati, tantangan yang harus dihadapi, dan reward yang bisa didapatkan. Semakin tinggi levelnya, semakin sulit tantangannya, tetapi semakin besar juga hadiahnya. Gamer sejati pasti bangga saat kalau mendapatkan ranking tertinggi, bukan?
Sekarang, coba kita renungkan, hidup adalah game dan hidup juga punya level, bolehkah kita berlomba mengejar ranking dalam hidup ini? Boleh banget! Inilah konsep fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan.
Sayangnya, banyak dari kita yang terlalu fokus menaikkan level dalam urusan duniawi. Mengejar karier, prestasi, dan harta tanpa henti, seolah itulah tujuan utama hidup. Namun, pernahkah kita bertanya, “Level keimananku sekarang ada di mana?”
Kita sibuk mengejar dunia, tapi sering lupa mengecek satu hal yang jauh lebih penting: level keimanan kita sendiri. Padahal, inilah yang akan menentukan ranking kita di akhirat nanti.
Baca Juga: 6 Amalan Muslimah Penghuni Surga Firdaus
Coba bayangkan, kalau banyak orang main game bisa rela begadang buat naik level, kenapa dalam hidup kita malah santai-santai saja? Kenapa kita tidak memiliki urgensi yang sama untuk meningkatkan level keimanan kita?
Sampai akhirnya, ada satu pertanyaan yang membuat berpikir “Siapa yang level agamanya paling baik?” Jujur, pertanyaan ini seperti tamparan. Eh, iya ya… “Keimananku sekarang ada di mana? Sudah cukup atau masih di level beginner?”
Inilah saatnya kita cek bareng-bareng! Sebenarnya, kita ada di level mana sih dalam perjalanan keimanan ini? Dan yang lebih penting, bagaimana caranya menaikkan level sampai ke puncak tertinggi: Surga Firdaus?
Level Paling Rendah: Lebih Rendah dari Binatang
Baca Juga: Semangat Ramadhan untuk Pembebasan Masjidil Aqsa
Ini adalah level yang paling berbahaya. Orang-orang di level ini tidak hanya tidak beriman, tetapi juga apatis, tidak peduli dengan kebaikan. Mereka sibuk berbuat dosa tanpa rasa takut akan konsekuensinya.
Allah menggambarkan mereka dalam Al-Qur’an sebagai orang-orang yang lebih sesat dari binatang ternak:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 179)
Di level ini, seseorang hidup tanpa arah dan tanpa pedoman dari Allah. Yang mereka kejar hanya dunia dan hawa nafsu, tanpa berpikir tentang akhirat. Orang-orang di level ini tidak sadar bahwa mereka sedang menukar kebahagiaan abadi dengan kesenangan sesaat. Mereka mungkin merasa bebas di dunia, tapi lupa bahwa ada azab yang menanti di akhirat.
Baca Juga: 7 Ayat Al-Qur’an yang Menegaskan Kewajiban Membantu Palestina di Ramadhan
Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an bahwa mereka yang berpaling dari peringatan-Nya akan mendapatkan kehidupan yang sempit dan kesulitan di akhirat:
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124)
Di dunia saja, nunggu lampu merah 60 detik bisa terasa lama dan membosankan. Lalu bagaimana kalau seseorang harus menunggu di neraka selamanya?
“Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS. Al-Jin: 23)
Baca Juga: [POPULER MINA] Ramadhan di Palestina dan Trump Usir Zelenskyy
Level Super Stupid: Rugi Besar
Orang-orang di level ini masih memiliki keimanan, tetapi dosa mereka lebih berat daripada pahala yang dikumpulkan. Mereka bukan orang kafir, tapi mereka terlalu santai dengan dosa-dosa yang mereka lakukan. Mereka sholat, tapi tetap korupsi. Mereka mengaku muslim, tapi tetap berzina seakan tidak ada konsekuensinya. Mereka merasa aman dari azab Allah, padahal kenyataannya, mereka harus “mampir” ke neraka dulu sebelum akhirnya masuk surga.
Masalahnya, siapa yang mau mampir ke neraka, walaupun hanya sementara? Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Akan ada suatu kaum yang keluar dari neraka setelah mereka disiksa di dalamnya, lalu mereka masuk surga.” (HR. Bukhari, no. 7440; Muslim, no. 1846)
Baca Juga: Masjid Darussalam Tiang Tunggal Banyumas yang Menyatu dengan Waktu
Namun, mampir ke neraka bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Allah menggambarkan neraka sebagai tempat yang siksanya sangat pedih:
“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa akan kekal di dalam azab neraka Jahannam. Tidak diringankan azab itu dari mereka, dan mereka berputus asa di dalamnya.” (QS. Az-Zukhruf: 74-75)
Orang-orang ini akhirnya akan diselamatkan karena keimanan mereka, tetapi sebelum itu, mereka harus merasakan azab yang begitu mengerikan. Nabi ﷺ bahkan menggambarkan bahwa api neraka lebih panas 70 kali lipat dari api dunia (HR. Bukhari & Muslim).
Bahkan neraka yang paling ringan pun, tidak akan sanggup manusia menahannya. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan siksanya di hari kiamat adalah seorang yang di antara kedua telapak kakinya diletakkan bara api yang dengannya mendidih otaknya, seperti mendidinya bejana dengan air ynag ada padanya.” (Mutafaqun ‘alaih)
Baca Juga: Menyikapi Takdir dengan Syukur dan Husnudzan
Maka, pertanyaannya sekarang: Apa kita mau mengambil risiko ini? Kenapa kita harus menunggu mampir ke neraka dulu, kalau kita bisa langsung menuju surga dengan memperbaiki diri mulai sekarang?
Level Stupid: Penyesalan
Ini adalah level orang-orang yang berhasil masuk surga, tetapi dengan rasa penyesalan. Kenapa? Karena mereka menyadari bahwa selama di dunia, mereka tidak memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk beribadah dan berbuat kebaikan.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Penduduk surga tidak akan menyesal kecuali atas satu hal, yaitu waktu yang mereka lewati di dunia tanpa mengingat Allah.” (HR. Muslim)
Baca Juga: Menjadi Muslimah yang Amanah
Hadis ini menegaskan bahwa meskipun seseorang telah masuk surga, tetap ada penyesalan jika mereka menyia-nyiakan waktu untuk hal yang kurang bermanfaat dan tidak memperbanyak amal saleh.
Level Smart: Orang Bijak
Ini adalah level orang-orang yang bukan hanya fokus beribadah untuk diri sendiri, tetapi juga meninggalkan jejak kebaikan yang terus mengalir pahalanya. Mereka sadar bahwa kehidupan di dunia ini sementara, sehingga mereka berinvestasi untuk kehidupan akhirat.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Baca Juga: Opini Publik dalam Perspektif Islam
Orang-orang di level ini berpikir jangka panjang. Mereka tidak hanya mengejar kebaikan untuk diri sendiri, tetapi juga berusaha meninggalkan warisan amal yang terus mengalir, seperti membangun masjid, menyebarkan ilmu yang bermanfaat, atau mendidik anak-anak agar menjadi generasi saleh.
Level Genius: Penggerak Kebaikan
Ini adalah level para pemenang sejati! Mereka tidak hanya berbuat baik untuk diri sendiri, tetapi juga mengajak, membimbing, dan menginspirasi orang lain untuk ikut dalam kebaikan. Mereka tidak puas hanya dengan beramal, tapi juga ingin memastikan bahwa kebaikan itu terus menyebar dan berlipat ganda.
Allah ﷻ berfirman: “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan kebajikan, dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’?” (QS. Fussilat: 33)
Baca Juga: Menjaga Kualitas Ibadah Ramadhan Sambil Urusi Kerjaan dan Rumah Tangga, Emang Bisa?
Mereka sadar bahwa amal yang dilakukan sendiri memiliki pahala, tapi mengajak orang lain dalam kebaikan bisa melipatgandakan pahala mereka.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim)
Orang-orang di level ini berpikir strategis, bagaimana caranya agar setiap amal yang mereka lakukan terus memberikan manfaat jangka panjang? Mereka membangun komunitas, menulis buku, berdakwah, atau menggerakkan proyek kebaikan yang terus berjalan bahkan setelah mereka tiada. Inspiratif banget, kan?
Hidup ini seperti game. Kita yang menentukan apakah hanya jadi penonton atau pemain yang berkontribusi. Setiap ujian dan tantangan adalah bagian dari permainan yang harus kita taklukkan. Kalau dalam game kita selalu berusaha menang, kenapa dalam hidup kita malah pasrah begitu saja?
Baca Juga: Mengapa Mukjizat Nabi Muhammad Al-Qur’an?
Lingkungan juga berperan besar dalam menentukan level keimanan kita. Ada yang seru tapi melalaikan, ada yang serius tapi terasa berat. Tugas kita adalah mencari keseimbangan agar tetap naik level tanpa kehilangan semangat. Kalau lingkungan tidak mendukung, maka kita yang harus kuat bertahan. Jangan sampai ikut arus dan justru turun level.
Kadang kita terlalu banyak overthinking tentang hal-hal yang tidak perlu. Gunakan akal untuk berpikir dan hati untuk percaya akan pertolongan Allah dalam menaklukkan tantangan, baik yang ringan maupun yang berat. Jangan hanya bergantung pada takdir tanpa usaha, dan jangan pula hanya berusaha tanpa doa. Keduanya harus berjalan seiring.
Jadi, saatnya kita evaluasi. Kita sekarang ada di level mana? Apakah masih sibuk mengejar dunia, atau sudah menyiapkan bekal untuk akhirat?
Hidup ini permainan. Mainkan dengan baik, dan pastikan kita keluar sebagai pemenang!
Mi’raj News Agency (MINA)