Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

HIJRAH ADALAH PERUBAHAN

Rendi Setiawan - Senin, 27 Oktober 2014 - 08:34 WIB

Senin, 27 Oktober 2014 - 08:34 WIB

6379 Views

(Gambar: Majalahembun)
(Gambar: Majalahembun)

(Gambar: Majalahembun)

Di era modern seperti saat ini, manusia dituntut untuk lebih kreatif dalam mengarungi setiap dimensi kehidupan ini. Salah satu bentuk kreatif itu adalah dengan berhijrah.

Lantas,berhijrah yang bagaimana? Apakah pergi ke suatu tempat yang lebih baik? Bukan hanya sekedar itu, tapi yang dimaksud hijrah disini adalah merubah kehidupan kita dengan cara melihat potensi yang telah Allah berikan.

Tentu untuk mendapatkan semua itu perlu yang namanya sebuah usaha dan pengorbanan. Karena tanpa itu semua, tidak akan pernah terjadi yang namanya sebuah perubahan.

Allah Ta’ala berfirman,

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِہِمۡ‌ۗ 

Artinya:“…sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum sehingga mereka mengubahnya sesuatu keadaan mereka sendiri…” (Q.S. Ar-Ra’d [13] : 11).

Bagi kita sebagai umat Islam, hijrah adalah suatu bentuk perubahan, berubah dari suatu keadaan yang jelek atau suatu keadaan yang buruk kepada keadaan yang lebih baik.

Perubahan pertama dan paling penting adalah perubahan dari lorong kebodohan menuju cahaya ilmu  pengetahuan.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Kebodohan sama dengan kebutaan, dan ilmu sejajar dengan penglihatan, Kebodohan seperti kegelapan sedangkan ilmu adalah cahaya yang terang. Kebodohan adalah terik yang membakar, dan ilmu adalah keteduhan yang melindungi. Bodoh adalah kematian, dan ilmu adalah kehidupan

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا يَسۡتَوِى ٱلۡأَعۡمَىٰ وَٱلۡبَصِيرُ (١٩) وَلَا ٱلظُّلُمَـٰتُ وَلَا ٱلنُّورُ (٢٠) وَلَا ٱلظِّلُّ وَلَا ٱلۡحَرُورُ (٢١) وَمَا يَسۡتَوِى ٱلۡأَحۡيَآءُ وَلَا ٱلۡأَمۡوَٲتُۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُسۡمِعُ مَن يَشَآءُۖ وَمَآ أَنتَ بِمُسۡمِعٍ۬ مَّن فِى ٱلۡقُبُورِ (٢٢)

Artinya: “Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, (19) dan tidak [pula] sama gelap gulita dengan cahaya, (20) dan tidak [pula] sama yang teduh dengan yang panas, (21) dan tidak [pula] sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar (22).” (Q.S. Faathir [35] : 19-22)

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Dari ayat ini menggambarkan bahwa seorang yang berilmu diumpamakan dengan orang yang melihat, melihat yang dimaksud disini adalah ia memiliki pengetahuan untuk membedakan mana yang hak dan mana yang bathil.

Ilmu inilah yang memberi petunjuk kepada iman, sehingga Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa tidak ada iman sebelum ada ilmu.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِيَعۡلَمَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَيُؤۡمِنُواْ بِهِۦ فَتُخۡبِتَ لَهُ ۥ قُلُوبُهُمۡ‌ۗ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَهَادِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِلَىٰ صِرَٲطٍ۬ مُّسۡتَقِيمٍ۬ (٥٤)

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Artinya: “Agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Qur’an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus .” (Q.S.  Al-Hajj [22] : 54)

Ayat itu menunjukkan bahwa ilmu, iman dan tunduk merupakan kesatuan yang sifatnya berurutan. Ilmu membawa kepada keimanan, dan keimanan melahirkan ketundukan. Karena itulah wahyu pertama yang diturunkan Allah adalah surat Al-‘Alaq, berkaitan dengan ilmu, dan kemudian turunlah wahyu yang kedua, yaitu surat Al-Muddattsir berkaitan dengan kerja.

(Gambar: primasusetya)

(Gambar: primasusetya)

Ilmu Lebih Utama Daripada Amal

Mungkin timbul pertanyaan, ilmu yang bagaimanakah yang harus kita pelajari? bagaimana prioritas yang ada dalam dunia ilmu, sedangkan dunia ilmu itu sendiri sangat beragam?

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Mayoritas ulama Islam berpendapat bahwa pada dasarnya ilmu terbagi menjadi dua, yaitu al-‘Ulum as-syar’iyyah (ilmu-ilmu kesyariahan) dan al-‘Ulum ghoiru syar’iyyah (ilmu-ilmu non syariah).

Ilmu-ilmu syariah disebut pula ushuluddin, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pokok-pokok agama yang sumber utamanya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Memahami ilmu ini sifatnya fardhu ‘ain, wajib bagi setiap muslim.

Akan tetapi realita yang terjadi saat ini, penyakit terbesar umat Islam adalah Al-Jahlu bi ‘Ulumissyar’iyyah atau dengan kata lain tidak tahu Al-Qur’an dan tidak mengenal hadits-hadits Rasulullah.

Bagaimana mungkin umat Islam bisa mencintai Islam dan mau memperjuangkannya menjadi tatanan nyata dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, negara dan bangsanya jika mereka bodoh terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya?

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Bahkan tidak sedikit manusia itu sendiri yang anti Islam dan memusuhi Islam. Juga tidak sedikit yang salah kaprah terhadap Islam sehingga banyak orang menilai, Islam identik dengan kekerasan dan terorisme.

Maka disinilah peran pemuda, peran seorang fataa dalam meneruskan perjuangan pendahulu untuk menegakkan Islam. Yaitu dengan cara menuntut ilmu, khususnya ilmu syar’i. Tidak peduli apa kata orang disekitar kita yang tidak ingin melihat kejayaan Islam, menegakkan Islam lebih utama daripada mendengarkan kritikan orang yang menganggap tak ada gunanya belajar ilmu syar’i.

Menarik pula sebuah pernyataan orang-orang Arab, “Laisal fataa man qaala hadza abiy, walakinnal fataa man qaala haa anadza” (Bukanlah seorang pemuda, orang yang mengatakan, “inilah bapakku”, akan tetapi seorang pemuda adalah yang mengatakan, “inilah aku”).

Imam Al-Bukhari (w.265 H) membuat bab dalam kitab shahihnya, “Al-Ilmu Qabla Qaul wa ‘Amal”, yaitu berilmu sebelum berkata dan bearamal.

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Ketika menjelaskan bab tersebut, Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa ilmu adalah syarat sahnya suatu ucapan dan perbuatana. Ucapan dan perbuatan tidak akan bermakna melainkan dengan ilmu. Ilmu lebih didahulukan dari keduanya, karena ilmu akan meluruskan niat dan membenarkan amal.

Imam Adz-Dzahabi (w. 748 H) mengatakan bahwa ilmu itu bukanlah dengan banyaknya riwayat, tetapi ia adalah cahaya yang dicampakan oleh Allah kedalam hati dan syarat utamanya adalah al-ittiba’ (mengiktui Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) dan melarikan diri dari hawa nafsu serta menjauhi al-ibtida’ (perbuatan bid’ah).

Setelah hijrah yang pertama, dari kebodohan menuju ilmu, berturut-turut lahirlah kewajiban hijrah lainnya yang harus kita lakukan, yaitu hijrah dari syirik menuju ikhlas atau tauhid.

Hijrah dari berbagai macam ibadah bid’ah menuju ibadah yang sesuai tuntunan sunnah. Hijrah dari yang serba haram menuju yang halal. Hijrah dari perpecahan menuju persatuan. Hijrah dari kebiasaan kerja sendirian dan bergaya sok hebat layaknya superman dengan hasil minimal menuju amal jama’i atau superteam dan memperluas networking untuk meraih hasil maksimal dan optimal, karena masalah-masalah keumatan dan kebangsaan tak akan pernah bisa diselesaikan oleh sekelompok orang atau segolongan saja.

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

Termasuk di dalamnya hijrah dari sikap malas, tidak disiplin, tidak amanah, mementingkan diri sendiri, terjebak dalam sikap serba materialistik dan hedonistik menuju hal-hal yang positif yang sesuai dengan petunjuk-Nya dan tuntunan serta keteladanan Rasul-Nya. Selamat Tahun baru Hijriyyah 1436. (P011/R03)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
MINA Preneur
Khadijah
Kolom