Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hijrah Rasulullah sebagai Langkah Strategis Menuju Pembebasan Masjid Al-Aqsa dan Palestina

Redaksi Editor : Rudi Hendrik - Ahad, 29 Juni 2025 - 08:54 WIB

Ahad, 29 Juni 2025 - 08:54 WIB

31 Views

KH. Saifuddin Siroj, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi.(Foto: IST)

Oleh KH. Saifuddin Siroj, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi

Hijrah adalah strategi penting dalam sejarah Islam yang memungkinkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membangun kekuatan, memperluas dakwah, dan membentuk negara Islam. Pembebasan Masjid Al-Aqsa dan Palestina adalah upaya berkelanjutan yang melibatkan berbagai aspek, termasuk persiapan yang matang dan kepemimpinan yang kuat.

Penjajahan terhadap Masjidil Aqsa, kota Baitul Maqdis, Palestina dan lebih luas lagi Negeri Syam yang disebut dalam Al-Quran sebagai negeri yang diberkahi, telah berlangsung hampir 108 tahun.

Sejak kapan? Tepatnya sejak Jenderal Edmund Allenby, Panglima Perang Kerajaan Britania Raya untuk wilayah Timur Tengah, memasuki dan menjajah kota Baitul Maqdis sejak tanggal 11 Desember 1917 pada Perang Dunia I.

Baca Juga: Nuklir, Mudharat dan Manfaatnya dalam Perspektif Al-Qur’an

Britania yang lebih kita kenal sebagai Inggris waktu itu bersekutu dengan Prancis dan beberapa kerajaan Eropa, menyerang Daulah Turki Utsmani yang sudah melemah dari segala arah. Termasuk di Baitul Maqdis.

Daulah Turki Utsmani kala itu merupakan negeri pusat kepemimpinan umat Islam sedunia selama 625 tahun. Bahkan Sultan Hamengku Buwono X pun dalam Kongres Umat Islam ke-5 tahun 2015 mengakui, bahwa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sejak 1479 berada di bawah kepemimpinan Islam Turki Utsmani.

Rupanya penjajahan oleh Inggris itu merupakan persiapan panjang, selama 31 tahun, untuk berdirinya Negara Yahudi bernama Israel, pada 14 Mei 1948. Pada malam itu, Inggris menyerahkan negeri Palestina untuk selanjutnya dijajah oleh gerakan Zionis Yahudi dengan mendirikan negara.

Kalau Republik Indonesia kita dirikan dengan Jihad mengusir penjajah Belanda dan Jepang, negara Israel justru didirikan dengan merampok, membantai, menteror, dan mengusir warga Palestina. Sampai hari ini kejahatan-kejahatan penjajah Zionis Israel itu masih berlangsung.

Baca Juga: Peran Orangtua dan Umara dalam Pembebasan Al-Aqsa dan Palestina

Penjajahan Masjidil Aqsa, kota Baitul Maqdis, dan Palestina bukan penjajahan biasa. Yang dijajah ini salah satu Pusat Peradaban Tauhid bagi seluruh insan. Kiblat Pertama manusia. Masjid Suci Ketiga. Markaznya Para Nabi dan Rasul. Pintu Langit pada Peristiwa Isra’ Mi’raj.

Penjajahan Masjidil Aqsa dan Baitul Maqdis ini juga bukan baru pertama kali terjadi. Dari zaman ke zaman, penjajahan ini merupakan bagian dari cara Allah mendidik umat Islam. Agar lahir dan bangkit kesadaran aqidahnya, kesadaran ilmunya, kesadaran martabat atau ‘izzahnya, yang kemudian melahirkan generasi baru Umat Islam yang lebih kuat dan berwibawa.

Sudah 5 kali penjajahan atas Masjidil Aqsa, kota Baitul Maqdis, dan Palestina

Pertama, dijajah oleh kaum Jabbaariin sebagaimana disebut oleh Allah dalam Surah Al-Maidah ayat 20 sampai 26. Di mana Nabi Musa ‘Alayhissalam diperintah Allah menyerukan Bani

Baca Juga: Berjama’ah Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa dan Palestina

Israil yang Muslim untuk berjihad membebaskan Baitul Maqdis. Mereka menolak seruan itu. Bahkan mereka mengejek Nabi Musa dengan mengatakan:

قَالُوْا ميٰوُْٰسٓم ى اِ انَّ لَنْ نادْخُلَهَٰآ اَبَدًا ماا دَامُوْا فِيْ.هَاۖ فَاذْىَبْ اَنْتَ وَرَبُّكَ فَ.قَاتِلََٰٓ اِ انَّ مىهُنَا قمعِدُوْنَ

“Mereka berkata, hei Musa, sesungguhnya kami tidak akan memasuki (Baitul Maqdis) selamanya, selagi mereka (penjajah Jabbaariin) masih ada di dalamnya. Maka pergilah kamu dan Tuhanmu berdua yang berperang. Sungguh kami di sini duduk-duduk.” (QS. Al-Maidah: 24)

Akibat menolak seruan Jihad membebaskan Baitul Maqdis itu Bani Israil dihukum dengan disesatkan Allah selama 40 tahun di padang pasir. Baru di generasi berikutnya, Baitul Maqdis dibebaskan oleh Nabi Yusya’ bin Nun dan Nabi Daud ‘Alayhimassalam.

Baca Juga: Iman, Jihad, dan Hijrah: Tiga Pilar Tegaknya Kalimatullah

Kedua, dijajah oleh Bangsa Romawi yang awalnya penyembah dewa-dewa yang kemudian memeluk Kristen, sampai Baitul Maqdis dibebaskan oleh ‘Umar bin Khaththab pada tahun 637 Masehi atau tahun 16 Hijriyah.

Yang Ketiga, dijajah oleh Pasukan Salib Eropa selama 88 tahun, sampai dibebaskan oleh pasukan Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi pada tahun 1187.

Keempat dan Kelima, penjajahan di zaman kita saat ini. Yaitu dijajah oleh Inggris sejak tahun 1917 sampai tahun 1948, kemudian diserahkan dan dilanjutkan penjajahannya oleh Zionis Israel sampai hari ini.

Lalu bagaimana sikap terbaik kita menghadapi penjajahan atas Masjidil Aqsa, Baitul Maqdis dan Palestina?

Baca Juga: Seluruh Pemeluk Dienul Islam Adalah Muslim

Kiblat Pertama dan keterkaitan Rasulullah dengan Masjdi Al-Aqsa

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam lahir di Mekkah tahun 570 M dan wafat di Madinah tahun 632 M, dalam usia sekitar 63 tahun.

Kaitan beliau dengan Masjid Al-Aqsa, jelas terjadi pada peristiwa Isra Mi’raj dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjid Al-Aqsa di Kota Al-Quds (Yerusalem), Palestina, seperti disebutkan dalam Surat Al-Isra ayat 1. Beliau di Masjid Al-Aqsa mengimami shalat berjamaah bersama arwah para Nabi dan Rasul di kawasan Masjid Al-Aqsa. Sehingga siapapun yang berkunjung ke Masjid Al-Aqsa, maka di situlah jejak para Nabi pernah shalat dan bersujud kepada Allah.

Sejak kapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ditengarai terkait dengan Masjidi Al-aqsa ?

Baca Juga: Ukhuwah Islamiyah dan Pembebasan Al-Aqsha

Berikut beberapa aktivitas yang menunjukkan betapa perhatian Rasulullah terhadap Masjid Al- Aqsa, kawasan Baitul Maqdis, Palestina.

Nabi Qiyamul Lail Berkiblat ke Masjid Aqsa.

Kalau ditinjau ke awal-awal masa Kenabian, setelah Rasulullah menerima surat Al-‘Alaq : 1-5, kemudian dilanjutkan Surat Al-Qalam, Al-Muddatsir dan Al-Muzzammil. Pada Surat Al-Muzzammil disebutkan:

Naskah tausyiah tersebut disampaikan pada Tabligh Akbar 1447H dalam rangkaian Taklim Wilayah Jama’ah Muslimin 9Hizbullah) di Islamic Centre Bekasi, Kota Bekasi, Ahad 29 Juni 2025

Baca Juga: Istighfar Kunci Perubahan Nasib: Tadabbur Qur’an Surat Nuh Ayat 10-12

يٰٓاَيُّهَا الْمُزَّمِّلُۙ

قُمِ الَّيْلَ اِلَّا قَلِيْلًاۙ

نِّصْفَهٗٓ اَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيْلًاۙ

اَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلًاۗ

Baca Juga: Israel Vs Iran, Ketika Serangan Membentuk Keberimbangan Regional

اِنَّا سَنُلْقِيْ عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا

Artinya: “Hai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.”

Pada ayat kedua, Allah memerintahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk melakukan ibadah yang paling mulia, yaitu shalat pada waktu yang paling utama, yaitu shalat malam (qiyamul lail) atau tahajud, sebelum datangnya perintah shalat wajib lima waktu, yang turun pada saat Isra Mi’raj.

Maka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beserta isterinya Khadijah dan para sahabat yang pada tahun pertama Kenabian masuk Islam di Makkah, menghidupkan malam-malamnya dengan shalat malam. Lamanya shalat malam saat itu adalah setengah malam atau kurang dari itu, yaitu sepertiganya.

Baca Juga: Mengapa Harus Hadir di Majlis Taklim? Inilah 5 Keutamaannya yang Wajib Diketahui

Kemudian membaca Al-Quran yang penuh keagungan dengan perlahan-lahan, dengan perenungan, pemikiran, dan agar menggerakan hati. Shalat malam dan membaca Al-Quran inilah bekal utama untuk menghadapi dunia dakwah yang penuh tantangan.

Selanjutnya, selain shalat malam, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan diikuti juga oleh para sahabatnya, diperintahkan untuk shalat dalam sehari dua kali, yakni pagi hari dan sore hari, yakni shalat Subuh dan shalat Ashar.

Shalat malam Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan shalat pagi dan sore, tentu memiliki kiblat, dan kiblat pertama itu adalah ke Masjid Al-Aqsa tentunya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam biasanya shalat di depan Ka’bah, sekaligus mengarah ke Masjid Al-Aqsa. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menempatkan Ka’bah di antara dirinya dan Masjid Al-Aqsa.

Baca Juga: Ketika Dosa Tampak Indah: Wajah Fitnah di Ujung Zaman

Prof. Dr. Abdul Fattah Muhammad El-Uwaisi Al-Maqdisi menyimpulkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melaksanakan shalat lima waktu setelah Isra Mi’raj, sewaktu berada di Mekkah sebelum Hijrah hingga sesudah hijrah ke Madinah, adalah menghadap kiblat ke Masjid Al-Aqsa.

Kiblat pertama dalam shalat lima waktu ke Masjid Al-Aqsa ini dikerjakan dalam kurun waktu 16 bulan. Sebelum Allah memerintahkan mengubah arah kiblat dari Masjid Al-Aqsa Palestina ke Masjidil Haram di Mekkah, setelah beliau di Madinah.

Jika ditambahkan dengan berkiblat ke Masjid Al-Aqsa setelah hijrah ke Madinah hingga tahun ke-2 Hijrah, sebelum kemudian berpindah ke Masjidil Haram. Maka secara keseluruhan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam shalat berkiblat ke Masjid Al-Aqsa sekitar 14,5 tahun. Demikian penelitian Prof. Abdul Fattah Muhammad El-Uwaisi Al-Maqdisi.

Turunnya Ayat-Ayat di Makkah Berkaitan dengan Al-Aqsa

Sepanjang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berdakwah menyampaikan ajaran Islam, menyebarluaskan ayat-ayat Al-Quran yang Allah turunkan kepada beliau, yang berkaitan dengan latar wilayah sekitar Al-Aqsa, Palestina.

Di antaranya : Surat At-Tiin, Maryam, An-Naml, Ibrahim, Saba, dan Ar-Ruum.

Firman Allah Pada Surat At-Tiin

(وَٱلتِّيِ وَٱلازيْ.تُونِ (1) وَطُورِ سِينِيَ (2) وَمىَذَا ٱلْبَ.لَدِ ٱلْمَِْيِ 3

Artinya: “Demi At-Tiin dan demi Az-Zaitun, dan demi Bukit Sinai, dan demi kota (Mekkah) ini yang aman.” (Q.S. At-Tiin [95] : 1-3).

Dalam surah At-Tiin ini, Allah bersumpah dengan beberapa hal, yaitu dengan Tiin, Zaitun, Bukit Sinai dan Kota Mekkah.

Ulama tafsir menyatakan bahwa sumpah ini menyebutkan nama yang ada di kawasan sekitar Al-Aqsa (Baitul Maqdis), Palestina. Seperti dikatakan Imam Qatadah yang mengatakan bahwa Tiin adalah nama bukit di Damaskus, Suriah, dan Zaitun adalah nama bukit di Baitul Maqdis, Palestina. Ada juga mufassirin yang menyebutkan bahwa yang dimaksud demi Tiin dan Zaitun adalah nama dua buah yang sudah dikenal oleh orang Arab juga manusia secara umum, yaitu buah Tiin dan buah Zaitun.

Surat Maryam juga turun di Makkah

Surat ini mengisahkan tentang Nabi Zakariya, Nabi Yahya, Maryam dan Nabi Isa, yang berdakwah di kawasan Masjid Al-Aqsa, Palestina.

Menurut riwayat dari Ibnu Mas’ud, Ja’far bin Abi Thalib membacakan permulaan Surat Maryam kepada Raja Najasyi di Habasyi (sekarang Ethiopia) dan para pembesarnya, waktu Ja’far dan sahabat-sahabat lainnya hijrah ke negeri Habasyi.

Surat An-Naml juga antara lain berisi kisah Nabi Sulaiman yang berkedudukan di wilayah Baitul Maqdis.

Pada Surat Saba yang juga turun di Makkah, menyebutkan tentang Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman, yang berdakwah di kawasan Al-Aqsa dan sekitarnya, serta Ratu Saba yang terkait dengan Nabi Sulaiman.

Pada Surat Ar-Ruum juga demikian turun di Makkah

Surat ini berlatar kekuasaan imperium Rumawi waktu itu yang menguasai kawasan Baitul Maqdis dan sekitarnya.

الۤمّۤۚ

غُلِبَتِ الرُّوْمُۙ

فِيْٓ اَدْنَى الْاَرْضِ وَهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُوْنَۙ

فِيْ بِضْعِ سِنِيْنَ ەۗ لِلّٰهِ الْاَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْۢ بَعْدُۗ وَيَوْمَىِٕذٍ يَّفْرَحُ الْمُؤْمِنُوْنَۙ

بِنَصْرِ اللّٰهِۗ يَنْصُرُ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الرَّحِيْمُ

وَعْدَ اللّٰهِۗ لَا يُخْلِفُ اللّٰهُ وَعْدَهٗ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ

Artinya:

Alif lam mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi. Di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. Dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, Karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Maha Perkasa lagi Penyayang. (Sebagai) janji yang sebenarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Ayat-ayat tersebut diturunkan ketika Kerajaan Persia mengalahkan Kerajaan Romawi yang waktu itu menguasai negeri-negeri terdekat (pada ayat ke-3), yakni negeri Syam, termasuk kawasan Baitul Maqdis, dan wilayah Jazirah Arab lainnya. Pasukan Kerajaan Romawi kalah, sehingga Kaisar Heraklius terpaksa mundur dan berlindung ke Konstantinopel. Kaisar Heraklius dikepung oleh Raja Sabur Persia di dalam waktu yang lama. Kemudian negeri Syam dan sekitarnya kembali dikuasi Heraklius, bebera patahun kemudian (ayat ke-4).

Surat Ar-Ruum ini berkaitan dengan Imperium Persia dan Imperium Romawi pada saat itu merupakan dua penguasa super power di muka bumi. Selalu terjadi peperangan di antara dua bangsa ini sebagaimana biasa terjadi pada bangsa-bangsa yang selevel.

Bangsa Persia adalah penyembah api, sedangkan bangsa Romawi adalah ahli kitab yang berafilasi kepada Taurat dan Injil. Romawi lebih dekat kepada kaum Muslimin daripada bangsa Persia. Maka kaum Muslimin dari kalangan sahabat kala itu sangat senang kalau bangsa Romawi yang menang. Sementara kaum kafir Quraisy lebih senang jika bangsa Persia yang menang.

Pada periode dakwah Islam di Makkah ternyata bangsa Persia dapat menang atas bangsa Romawi, “di negeri yang terdekat” (yakni kawasan Baitul Maqdis, Syam).

Maka kaum musyrikin Arab pun sangat bergembira dengannya, sedangkan kaum Muslimin bersedih.

Dalam keadaan Persia menang di berbagai wilayah, dan Romawi terdesak, dan tak mungkin lagi menang, karena kekuatannya dianggap habis. Turun ayat-ayat pertama Surat Ar-Ruum yang mengabarkan bahwa bangsa Romawi akan mengalahkan kembali bangsa Persia, “dalam beberapa tahun lagi.”

“Dalam beberapa tahun lagi,” menurut kebiasaan bangsa Arab kala itu adalah 8 atau 9 tahun lagi, atau semisalnya, tapi tidak lebih dari sepuluh tahun lagi dan tidak pula kurang dari tiga tahun. Semuanya terjadi atas kehendak dan kekuasaan Allah.

Di tengah kegirangan kau kafir Quraisy dan kesedihan kaum Muslimin, sahabat Abu Bakar keluar rumah menemui orang-orang musyrik, seraya berkata kepada mereka, “Apakah kalian merasa gembira dengan kemenangan saudara-saudara kalian atas saudara-saudara kami? Maka janganlah kalian bergembira dahulu, Allah pasti tidak akan meneruskan kegembiraan kalian itu. Demi Allah orang-orang Romawi pasti akan menang atas orang-orang Persia, sebagaimana yang telah diberitakan Nabi kami, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.”

Mendengar hal itu berdirilah Ubay bin Khalaf, salah seorang tokoh kafir Quraisy yang terkenal kejam terhadap sahabat Nabi, langsung berkata kepada Abu Bakar ra. “Kamu dusta.”

Abu Bakar pun menjawab, “Kamulah orang-orang yang paling berdusta, hai musuh Allah. Sekarang begini saja marilah kita adakan taruhan antara aku dan kamu, sebanyak sepuluh tail emas dariku, dan sepuluh tail emas dari kamu. Maka jika ternyata pasukan Romawi menang atas pasukan Persia, berarti kamu kalah sepuluh tail dariku. Jika pasukan Persia yang menang atas pasukan Romawi, berarti saya kalah atas kamu.” (dalam riwayat lain ada yang menyebut 10 ekor unta).

Taruhan ini berlaku dalam masa 3 tahun. Maka bertaruhlah kedua orang itu. Kemudian Abu Bakar datang menemui Rasulullah, dan menceritakan semua yang telah diperbuatnya kepada beliau.

Rasulullah malah mengatakan kepada Abu Bakar, “Naikkanlah taruhanmu itu, kemudian perpanjanglah masa taruhannya.”

Lalu sahabat Abu Bakar berangkat untuk menemui Ubay bin Khalaf. Setelah bertemu dengan Ubay, dan menyapaikan agar menaikkan katurahannya dan waktunya, seraya Abu Bakar berkata, “Barangkali kamu akan menyesal, Hai Ubay.”

Ubay menjawab, “Tidak, baiklah kalau begitu aku naikkan taruhanku kepadamu dan aku perpanjang masa berlakunya. Aku naikkan taruhanku menjadi 100 tail emas (ada yang menyebut 100 ekor unta), sampai dengan batas waktu 9 tahun.” Maka Abu Bakar menjawab, “Aku setuju sekali.”

Ketika turun perintah hijrah dari Makkah ke Madinah, Abu Bakar mendapat perintah menemani Rasulullah utuk berhijrah. Datanglah Ubay meminta jaminan darinya seseorang yang akan menanggungnya bila nanti Abu Bakar mengalami kekalahan. Maka Abu Bakar memerintahkan kepada anaknya yang bernama Abdurrahman supaya menjamin taruhannya itu.

Setelah di Madinah, berlangsunglah Perang Uhud tahun ke-3 H. antara kaum Muslimin menghadapi kafir Quraisy. Saat itu, Ubay bin Khalaf hendak berangkat ke medan Perang Uhud. Abdurrahman putera Abu Bakar meminta jaminan darinya. Maka Ubay memberikan kepadanya seseorang yang akan menjamin taruhannya, bila ia kalah nanti.

Dalam Perang Uhud itu, Ubay terluka parah di lehernya terkena sabetan tombak Rasulullah. Ubay pun tewas di tengah perjalanan saat pasukan kafir Quraisy hendak pulang kembali ke Makkah.

Waktu terus berjalan, pada permulaan tahun ke-7 Hijriyah, atau usai Perjanjian Hudaibiyah tahun ke-6 H, terdengar kabar pasukan Romawi berhasil mengalahkan pasukan Persia.

Teringat taruhannya menang, saat itu taruhan alias judi belum diharamkan, Abu Bakar pun menagih taruhan itu dari para ahli waris Ubay. Kemudian setelah Abu Bakar membawa kemenangan taruhan itu ke hadapan Rasulullah. Rasulullah memerintahkan agar semuanya disedekahkan.

Surat Nabi untuk Kaisar Romawi Hiraklius yang Menguasai Wilayah Syam

Perhatian Nabi terhadap posisi Baitul Maqdis, mulai meningkat setelah tahun ke-6 Hijriyah, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendengar kabar Romawi menang atas Persia, dan Kaisar Romawi Hiraklius kemudian berkunjung ke wilayah koloninya, kawasan Baitul Maqdis. Rasulullah pun segera menulis menulis surat dakwah kepada Kaisar Hiraklius, yang kala itu menguasai wilayah Syam dan sekitarnya.

Dalam shahih Bukhari dan Muslim disebutkan surat beliau ke Hiraklius dibawa oleh Dihyah Al-Kalbi Radhiyallahu anhu, sahabat Nabi yang masuk Islam menjelang Perang Badar.

Teksnya berbunyi, artinya : “Dengan nama Allâh, Pengasih dan Penyayang. Dari Muhammad, hamba Allâh dan utusan-Nya kepada Heraclius pembesar Romawi. Salam sejahtera bagi yang mengikuti petunjuk yang benar.

Dengan ini saya mengajak tuan untuk mengikuti ajaran Islam. Peluklah agama Islam, tuan pasti akan selamat ! Peluklah Islam, Allâh Azza wa Jalla pasti akan memberi pahala dua kali kepada tuan ! Kalau tuan menolak, maka dosa orang-orang Arisiyin (Eropa) menjadi tanggungiawab tuan.

Katakanlah, “Wahai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak ada yang berhak kita ibadahi kecuali Allâh dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allâh”. jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allâh).

Begitu menerima surat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Kaisar Hiraklius berkeinginan melakukan pengecekan untuk mengetahui kebenaran kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melalui orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan Nabi.

Kaisar Hiraklius menerima surat Nabi dengan baik, dan menjawab dengan sopan. Bahkan ketika Hiraklius akan meninggalkan wilayah Syam, menuju Konstantinopel, ia mengumpulkan para pembesarnya dan mengusulkan agar mengikuti Muhammad dan masuk Islam. Namun usulan itu ditolak. Hiraklius kemudian mengusulkan agar bangsanya membayar jizyah. Itupun ditolak oleh para pembesarnya.

Sampai kemudian Hiraklius mengusulkan agar mengadakan perdamaian dengan Muhammad, serta menyerahkan sebagian wilayah Syam, yaitu Suriah bagian selatan dan timur. Sementara Romawi tetap menguasainya selebihnya. Itupun ditentang para pembesarnya.

Pengiriman Pasukan Usamah ke Arah Syam

Menjelang akhir hayat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, dalam keadaan sakit berat beliau mengirimkan pasukan terakhirnya untuk menghadapi pasukan Imperium Romawi Timur (Bizantium), yang waktu itu menguasai wilayah Baitul Maqdis dan sekitarnya. Saat mendengar Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam dalam keadaan sakit, musuh-musuh Islam sengaja memanfaatkan keadaan dengan membuat gejolak di perbatasan Syam.

Pasukan ini dikenal dengan nama Pasukan Usamah, karena berada dibawah komando Usamah bin Zaid bin Haritsah sebagai panglima perang. Ayahnya, Zaid bin Haritsah Radhiyallahu ‘Anhu adalah salah satu syuhada perang sebelumnya, Ghazwah Mu’tah.

Usamah, saat itu usianya kisaran 18-20 tahun. Ia merupakan panglima Islam termuda sekaligus panglima terakhir yang ditunjuk langsung oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Dia membawahi sahabat-sahabat yang lebih senior dan berpengalaman seperti Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan lainnya, termasuk Umar bin Khattab.

Beberapa sahabat mempertanyakan keputusan tersebut, sebab banyak sahabat senior dalam pasukan tersebut, yang dianggap lebih pantas memimpin pasukan kaum Muslimin.

Mendengar berbagai perkataan yang terdengar menyepelekan Usamah, Umar bin Khattab segera menemui Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Serta merta mendengar kabar itu, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam marah.

Beliau bergegas menemui para sahabat di Masjid Nabawi, dan bersabda, “Wahai sekalian manusia, aku mendengar pembicaraan mengenai pengangkatan Usamah. Demi Allah, seandainya kalian menyangsikan kepemimpinannya, berarti kalian menyangsikan juga kepemimpinan ayahnya, Zaid bin Haritsah. Demi Allah, Zaid sangat pantas memegang pimpinan, begitu pula dengan puteranya, Usamah.”

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam melanjutkan, “Jika ayahnya sangat aku kasihi, maka putranya pun demikian. Mereka orang baik. Hendaklah kalian memandang baik mereka berdua. Mereka juga sebaik-baik manusia di antara kalian.”

Pasukan Usamah bergerak ke luar kota Madinah. Namun belum jauh pasukan bergerak, sampailah kabar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam wafat. Sehingga Usamah menghentikan laju pasukannya. Dia bersama Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarrah bergegas ke rumah Nabi.

Pasukan Usamah selanjutnya tetap dikirim pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, sepeninggal Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.

Begitulah perhatian dan strategi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dalam upaya pembebasan Baitul Maqdis, tetap dalam pemikirannya, dan bahkan masih sempat mengirimkan pasukan tempurnya ke arah Syam (Palestina).

Diskusi Para Sahabat tentang Masjid Al-Aqsa

Selain pengiriman-pengiriman pasukan kaum Muslimin, baik yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam atau penunjukkan di antara sahabat Nabi, cukup intensif juga terjadi diskusi dengan sahabat tentang Baitul Maqdis (Masjidil Aqsa). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam pun menjawab dan menanggapinya dengan serius. Ini pun menunjukkan betapa perhatian beliau teradap Baitul Maqdis.

Sebut saja misalnya Abu Dzar Al-Ghifari yang menanyakan tentang masjid yang pertama diletakkan oleh Allah di muka bumi. Nabi pun menjelaskan Masjidil Haram, lalu Masjidil Aqsa.

Sahabat lainnya, ada Maimunah pembantu perempuan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam yang meminta fatwa tentang Baitul Maqdis. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pun menjelaskan tentang keutamaan mengunjungi dan shalat di dalamnya. Termasuk pengerahan perjalanan ke Masjidil Aqsa, seperti dikemukakan dalam hadits dari Abu Hurairah.

Perintah Allah ﷻ untuk Berhijrah

Setelah bertahun-tahun menghadapi tekanan, siksaan, dan pemboikotan dari kaum Quraisy di Makkah, akhirnya datanglah perintah dari Allah ﷻ untuk Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin agar berhijrah ke tempat yang lebih aman guna menegakkan agama. Allah ﷻ berfirman:

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِرُسُلِهِمْ لَنُخْرِجَنَّكُمْ مِّنْ اَرْضِنَآ اَوْ لَتَعُوْدُنَّ فِيْ مِلَّتِنَاۗ فَاَوْحٰٓى اِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ لَنُهْلِكَنَّ الظّٰلِمِيْنَۗ ۝١٣

وَلَنُسْكِنَنَّكُمُ الْاَرْضَ مِنْۢ بَعْدِهِمْۗ ذٰلِكَ لِمَنْ خَافَ مَقَامِيْ وَخَافَ وَعِيْدِ ۝١٤

Dan orang-orang kafir berkata kepada rasul mereka, “Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami.” Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka, “Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu. Dan sesungguhnya Kami akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu setelah mereka.” (Surah Ibrahim: 13–14)

Ayat ini memberi kabar gembira bahwa hijrah adalah langkah strategis yang diperintahkan langsung oleh Allah ﷻ untuk menyelamatkan dakwah dan menegakkan syariat-Nya.

Hijrah Para Sahabat ke Madinah

Setelah peristiwa Baiat Aqabah Kedua, Rasulullah ﷺ memberi izin kepada para sahabatnya untuk berhijrah secara bertahap ke Madinah. Mereka pergi secara sembunyi-sembunyi atau dalam kelompok kecil agar tidak diketahui oleh kaum Quraisy.

Di antara mereka adalah Abu Salamah, Umar bin Khattab عنه الله رضي, Suhaib ar-Rumi عنه الله رضي, dan banyak lainnya. Sebagian dari mereka mengalami hambatan dan perlakuan keras dari keluarga atau kaum mereka sendiri, namun keimanan membuat mereka tetap teguh.

Hijrah para sahabat ini menjadi tonggak penting dalam sejarah Islam. Ia menandai fase baru dalam perjuangan dakwah yang lebih terbuka dan terorganisir.

Strategi Nabi ﷺ dalam Merencanakan Hijrah

Strategi Rasulullah dalam upaya pembebasan Masjid Al-Aqsa tidak dilakukan secara instan, tetapi melalui serangkaian langkah strategis yang meliputi persiapan ilmu, politik, dan militer. Langkah-langkah ini didasarkan pada pemahaman mendalam tentang Baitul Maqdis dan situasi politik serta militer pada waktu itu.

Berikut adalah beberapa aspek strategi Rasulullah dalam upaya pembebasan Masjid Al-Aqsa:

1.      Persiapan Ilmu:

Rasulullah menekankan pentingnya ilmu pengetahuan sebagai dasar dalam upaya pembebasan, termasuk pemahaman tentang Baitul Maqdis dan situasi sekitarnya.

2.      Persiapan Politik:

Rasulullah membangun hubungan baik dengan berbagai pihak, termasuk kabilah-kabilah Arab dan non-Arab, untuk memperkuat posisi umat Islam.

3.      Persiapan Militer:

Rasulullah memimpin beberapa ekspedisi militer, seperti Perang Dumatul Jandal dan Perang Tabuk, yang menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk pembebasan Baitul Maqdis. Perang Mu’tah juga menjadi bagian dari upaya ini, meskipun pada akhirnya tidak mencapai pembebasan langsung Al-Aqsa.

4.      Pesan kepada Abu Bakar:

Rasulullah mewasiatkan kepada Abu Bakar untuk melanjutkan upaya pembebasan Baitul Maqdis setelah wafatnya.

5.      Penunjukan Usamah bin Zaid:

Rasulullah menunjuk Usamah bin Zaid untuk memimpin pasukan, melanjutkan perjuangan pembebasan Baitul Maqdis.

Penting untuk dicatat bahwa pembebasan Baitul Maqdis tidak terjadi secara langsung pada masa Rasulullah, tetapi fondasi kuat telah diletakkan untuk upaya pembebasan di masa depan

Ketika Abu Bakar عنه الله رضي khawatir karena kaum Quraisy sampai di depan gua, Rasulullah ﷺ menenangkannya:

لَا تَحْزَنْ إِنَّ اَّللََّ مَعَنَا

Artinya: “Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (Surah At-Taubah: 40)

Kebijakan, kecerdasan, dan tawakal Rasulullah ﷺ dalam merencanakan hijrah menunjukkan pentingnya ikhtiar yang maksimal disertai iman yang kokoh.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. sudah terhubung dengan Baitul Maqdis ketika masih berada di Kota Makkah. Namun keterkaitan manusia paling mulia semakin jelas ketika sudah hijrah ke Madinah pada tahun ke-13 kenabian.

Setelah hijrah ke Madinah, ada dua misi besar yang dibawa oleh Rasulullah. Dua misi itu yakni pembebasan Kota Makkah (Fathul Makkah) dan pembebasan Baitul Maqdis (Fathul Baitul Maqdis).

Pembebasan Kota Makkah menjadi misi utama setelah hijrah karena di wilayah tersebut ada rumah Allah (Ka’bah) yang pertama kali dibangun di atas muka bumi. Sementara pembebasan Baitul Maqdis harus dibebaskan karena itu merupakan rumah Allah kedua yang dibangun di atas muka bumi. Dua tempat suci itu harus dibebaskan dari segala bentuk kesyirikan.

Sebagaimana diketahui bahwa Fathuh Makkah dipimpin oleh Rasulullah pada tahun ke delapan hijriah. Sebagaimana pembebasan kota Makkah, strategi detil pun sudah dilakukan oleh Rasulullah menuju pembebasan Baitul Maqdis.

Rencana pembebasan Baitul Maqdis sudah dilakukan mulai dengan mengutus Sarayah atau Sariah yang bertugas mengintai kekuatan musuh, kemudian perang Mu’tah pada tahun ke delapan hijriah, lalu ada perang Tabuk. Dalam perang Tabuk Rasulullah melakukan perjanjian dengan orang orang yang ada di perbatasan Syam. Jika diperhatikan, hal itu adalah strategi detil dan hebat dalam menyiapkan pembebasan Baitul Maqdis, walau Rasulullah tahu bahwa pembebasannya tidak terjadi pada zamannya.

Indikasi pembebasan Baitul Maqdis dilakukan setelah Rasulullah wafat termaktub dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dari sahabat Auf bin Malik. Dalam perang Tabuk, Auf bin Malik datang menghadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di kemah beliau yang terbuat dari kulit. Beliau menyambutnya dengan hangat, kemudian berkata kepadanya, : “Wahai Auf, hitunglah enam tanda kiamat, yakni: 1. Kematianku ; 2. Ditaklukkannya Baitul Maqdis,”

Ketika Rasulullah mengatakan “kematianku”, itu sudah menjadi israyat bahwa pembebasan Baitul Maqdis tidak terjadi pada zaman beliau. Kemudian dia mengatakan bahwa tanda kedua adalah pembebasan Baitul Maqdis. Itu juga menjadi nubuwat bahwa Baitul Maqdis akan ditaklukkan oleh kaum muslim. Inilah yang sangat difahami oleh generasi sahabat.

Isyarat itulah yang kemudian difahami dan berusaha dilakukan oleh para sahabat dan kaum muslimin secara umum.

Generasi pertama yang membebaskan Baitul Maqdis adalah Umar bin Khattab. Dia menerima kunci Baitul Maqdis langsung dari seorang pendeta yang sebelumnya menguasai kawasan tersebut.

Generasi kedua yang memenangi perang merebut Baitul Maqdis adalah Shalahuddin al-Ayyubi. Shalahuddin Al-Ayyubi membebaskan Baitul Maqdis pada tanggal 27 Rajab 573H / 2 Oktober 1187 M. Shalahuddin Al-Ayyubi membebaskan Baitul Maqdis dari penjajahan pasukan Salibis.

Generasi terakhir adalah Sultan Abdul Hamid II tahun 1876-1911 M, ketika memimpin Khilafah Turki Utsmani. Dia mempertahankan hak muslimin dengan tidak memberikan sejengkalpun tanah Baitul Maqdis dan kawasan Palestina kepada orang-orang Yahudi.

Mereka begitu kuat memegang prinsip tentang kemuliaan Baitul Maqdis sebab dilandasi keimanan yang kokoh.

Lalu, siapakah generasi selanjutnya yang akan membebaskan Baitul Maqdis dari penjajah zionis Israel?

 

Mi’raj News Agency (MINA)

*Naskah tausyiah tersebut disampaikan pada Tabligh Akbar 1447H di Islamic Centre Bekasi, Kota Bekasi, Ahad 29 Juni 2025

Rekomendasi untuk Anda