DI TENGAH riuhnya kehidupan modern, di antara derap langkah kaki yang tergesa mengejar waktu dan target, ada satu musuh dalam selimut yang diam-diam menyelinap ke dalam tubuh, mengintai, lalu menikam tanpa aba-aba. Namanya hipertensi. Ia tidak menimbulkan rasa nyeri. Tidak mengagetkan. Tidak memekakkan. Tapi justru itulah bahayanya. Sunyi, namun mematikan.
Bayangkan seseorang yang tampak sehat. Setiap pagi ia berangkat kerja, pulang menjelang malam. Ia tersenyum, bercanda, menjalani hidup seperti biasa. Tapi di balik semua itu, tekanan darahnya perlahan naik tanpa ia sadari. Tidak ada alarm yang berbunyi. Tidak ada luka yang terlihat. Namun, diam-diam pembuluh darahnya mulai rusak. Jantungnya bekerja lebih keras dari yang seharusnya. Ginjalnya menjerit pelan. Otaknya menahan tekanan. Semua organ vitalnya berjuang dalam keheningan. Hingga suatu hari, ketika ia sedang duduk santai atau tertawa ringan, tubuhnya tumbang. Stroke. Serangan jantung. Gagal ginjal. Dan semuanya terjadi begitu saja. Seolah tiba-tiba, padahal sebenarnya sudah lama terencana—oleh si sunyi yang bernama hipertensi.
Hipertensi bukan penyakit langka. Justru ia adalah salah satu penyakit paling umum di dunia. Tapi keterbiasaannya membuat kita lengah. Kita mengira, karena banyak orang memilikinya, maka itu bukan hal serius. Kita terlalu sering mendengar kata “darah tinggi” hingga terasa biasa. Padahal, di balik dua kata itu, tersembunyi risiko kematian yang menanti dalam diam. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan menyebut hipertensi sebagai pembunuh nomor satu di dunia. Setiap tahun, jutaan orang kehilangan nyawa karena komplikasi yang disebabkan tekanan darah tinggi.
Sayangnya, banyak orang baru mengetahui dirinya mengidap hipertensi setelah terkena komplikasi. Tidak sedikit yang mengatakan, “Saya tidak merasa sakit apa-apa.” Ya, memang seperti itu cara kerja hipertensi. Ia tidak menyapa dengan rasa nyeri. Tidak memperlihatkan tanda-tanda yang mudah dikenali. Ia hanya meninggalkan jejak samar: sakit kepala ringan, pusing sesekali, leher kaku, atau kelelahan yang dianggap sepele. Sering kali, tubuh mencoba memberi sinyal, namun kita terlalu sibuk untuk memperhatikannya.
Baca Juga: Usus Bersih, Tubuh Segar: Cara Alami Menjaga Kesehatan Pencernaan
Lalu, bagaimana kita bisa mencegah sesuatu yang nyaris tanpa gejala? Jawabannya sederhana: periksa. Cek tekanan darah secara rutin. Jangan tunggu gejala muncul, karena bisa jadi gejalanya muncul saat segalanya sudah terlambat. Perlu diingat, hipertensi bukan hanya masalah orang tua. Kini, anak muda pun banyak yang terserang. Pola makan tinggi garam, kebiasaan minum kopi berlebihan, stres kronis, tidur tak teratur, dan kurang olahraga, semuanya menjadi pintu masuk bagi hipertensi untuk menghuni tubuh kita.
Tubuh manusia adalah karya seni yang agung. Jantung berdetak dalam irama yang sempurna, memompa darah ke seluruh tubuh tanpa henti. Namun, tekanan yang terlalu tinggi akan mengikis keindahan itu. Ibarat air bah yang terus-menerus menghantam dinding sungai, tekanan darah yang melampaui batas akan merusak pembuluh. Retak demi retak terbentuk, hingga pada satu titik ia tak mampu menahan lagi, dan pecah. Maka jadilah stroke. Atau jika jantung terus dipaksa bekerja keras untuk memompa darah yang tertahan, otot jantung menebal, pembesaran jantung terjadi, lalu gagal jantung pun menghampiri.
Kita tidak perlu menunggu menjadi korban. Kita bisa menjadi pemenang. Hidup sehat bukanlah wacana, melainkan pilihan yang harus diperjuangkan. Kurangi asupan garam. Banyak konsumsi buah dan sayur. Hindari makanan olahan dan instan yang kaya sodium. Bergeraklah setiap hari, walau hanya 30 menit berjalan kaki. Cintai tubuh seperti kita mencintai keluarga. Karena kesehatan kita adalah perlindungan terbaik untuk mereka yang kita cintai.
Stres, musuh dalam pikiran, juga berkontribusi besar terhadap hipertensi. Saat kita terjebak dalam tekanan hidup yang terus menekan, tubuh merespons dengan meningkatkan hormon adrenalin. Detak jantung meningkat, pembuluh darah menyempit, dan tekanan darah naik. Maka, temukan ruang untuk tenang. Luangkan waktu untuk diri sendiri. Mendekat kepada Tuhan. Berdamai dengan hidup. Karena ketenangan batin sering kali lebih menyembuhkan daripada obat paling mahal sekalipun.
Baca Juga: Kasus COVID Melonjak, Kemenkes Imbau Fasyankes Waspada
Hipertensi tidak selalu bisa disembuhkan, tapi bisa dikendalikan. Dengan disiplin dan kesadaran, kita bisa menjinakkan si pembunuh sunyi ini. Minumlah obat jika diresepkan, namun jangan hanya bergantung pada pil. Gaya hidup sehat adalah terapi utama. Banyak orang merasa malu minum obat hipertensi karena merasa seperti orang sakit. Padahal, justru keberanian untuk menjaga diri adalah bentuk cinta yang sejati pada kehidupan.
Pikirkan masa depan. Bayangkan diri kita yang masih bisa berjalan menyusuri jalan setapak bersama anak cucu. Bayangkan pagi yang tenang tanpa kunjungan rutin ke rumah sakit. Bayangkan hidup yang penuh warna tanpa bayang-bayang penyakit yang membayangi. Semua itu dimulai dari keputusan hari ini: mengenali, mencegah, dan mengendalikan hipertensi.
Jangan tunggu suara sirine ambulans memecah keheningan malam. Jangan tunggu kabar duka menyapa lewat panggilan telepon. Kita bisa mencegah tragedi itu. Kita bisa menghindari perpisahan mendadak. Hipertensi adalah penyakit sunyi. Tapi bukan berarti ia tak bisa kita kalahkan. Ia hanya perlu didengar. Dan kita hanya perlu peduli. Sebelum semuanya menjadi terlambat.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Kenapa Badan Terasa Letih Terus? Ini 5 Penyebabnya