Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hiruk Pikuk Istana di Mata Butje, Kisah dari 1 Oktober 1965

Widi Kusnadi Editor : Bahron Ansori - Ahad, 29 September 2024 - 23:23 WIB

Ahad, 29 September 2024 - 23:23 WIB

78 Views

Pagi itu, matahari baru saja menyapa Jakarta. Bustamin Utje, atau yang biasa dipanggil Butje, beranjak keluar rumahnya di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Hari Jumat, 1 Oktober 1965, udara pagi masih segar, namun ada desas-desus yang menyelimuti kota. Istana Merdeka, yang biasanya tenang, dikabarkan menjadi pusat perhatian. Sebagai remaja kelas 3 SMP, Butje tak bisa menahan rasa penasarannya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di ibu kota?

Keingintahuan itu memicunya untuk mencari tahu. Meski baru berusia belasan, insting Butje mengatakan ada sesuatu yang luar biasa tengah berlangsung. Ia pun memutuskan untuk bertindak. Bersama seorang temannya, ia naik ompreng—angkutan umum khas Jakarta saat itu—menuju Kota Tua. Dari sana, keduanya berjalan kaki menuju Istana Negara. Sebagai anak Jakarta, Butje hafal betul setiap sudut jalan di sekitarnya, termasuk “jalan tikus” yang memudahkannya mencapai istana.

Sesampainya di sana, suasana berbeda langsung terasa. Tentara tampak berlalu-lalang, kendaraan militer bergerak masuk dan keluar dari gerbang istana. Beberapa orang berseragam dengan pangkat yang mentereng di pundak berjalan cepat, wajah mereka tegang, seolah ada beban berat yang tengah mereka pikul. Di sepanjang jalan, kendaraan patroli siaga, menambah kesan bahwa situasi sedang genting. Meski tak ada kekacauan yang terlihat, Butje merasakan atmosfer yang tak biasa—sebuah ketegangan yang menyelimuti udara.

Setibanya di rumah, Butje mendengarkan siaran radio milik ayahnya. Berita yang mengalir dari speaker radio membongkar fakta bahwa bangsa Indonesia sedang berada di titik kritis. Enam jenderal TNI dan seorang perwira telah diculik dan dibunuh oleh PKI. Mereka dimakamkan di sumur tua di daerah Lubang Buaya, sebuah tindakan yang kelak dikenang sebagai pengkhianatan terhadap negara.

Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia

Beberapa hari setelah itu, jasad para jenderal pahlawan diumumkan akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Rasa penasaran yang belum terpuaskan mendorong Butje untuk mengayuh sepeda ontelnya menuju Kalibata. Di sana, ia melihat barisan tentara berjaga dengan ketat, sementara suasana haru dan duka menyelimuti upacara pemakaman. Para pahlawan itu gugur demi mempertahankan prinsip prajurit sejati, tak gentar walau nyawa harus dipertaruhkan.

Seiring waktu, kemarahan rakyat semakin tak terbendung. Kebencian terhadap PKI kian memuncak, dan hampir di setiap sudut kota, dari warung kopi hingga restoran, orang-orang membicarakan kekejaman yang dilakukan oleh PKI. Tak lama, aksi massa mulai pecah. Gedung-gedung milik PKI di Jakarta diserbu oleh warga yang marah, dan Butje—remaja yang tak mau ketinggalan—berada di tengah gelombang massa tersebut, menyaksikan secara langsung bagaimana amarah rakyat meletus.

Namun, situasi menjadi tak terkendali. Tiba-tiba, terdengar letusan tembakan. Kepanikan merebak, dan orang-orang mulai berlarian menyelamatkan diri. Di tengah kekacauan itu, Butje menyaksikan seorang pemuda di sebelahnya terjatuh, peluru menembus kepalanya. Tak lama kemudian, seorang lagi di sebelah kirinya roboh, tertembak di dada. Hati Butje tersentak, tubuhnya gemetar, tetapi naluri bertahan hidup memaksanya untuk berlari, menyelamatkan diri dari kerumunan yang semakin liar.

Meski Butje masih bisa mengingat jelas wajah para korban yang jatuh di sekitarnya, ia tak tahu siapa mereka, dari mana asalnya, atau apa cerita hidup mereka. Dalam situasi tersebut, satu-satunya yang ada di pikiran Butje adalah bagaimana menyelamatkan diri dari kekacauan yang tak terkendali.

Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia

Pengalaman mencekam itu meninggalkan jejak mendalam dalam diri Butje. Dari peristiwa tragis tersebut, ia belajar banyak hal tentang kedewasaan, keberanian, dan tanggung jawab. Baginya, sejarah bukan hanya tentang masa lalu yang diceritakan kembali, tetapi juga pelajaran yang membentuk seseorang menjadi lebih baik di masa depan.

Kini, setelah bertahun-tahun berlalu, Butje selalu mengingatkan generasi muda akan pentingnya memahami sejarah. “Pelajarilah sejarah,” pesannya. “Lalu, berbuatlah yang terbaik, hingga engkau tercatat dalam tinta emas sejarah untuk peradaban.” Kenangan 1 Oktober 1965 itu, bagi Butje, adalah bagian dari cerita hidup yang penuh hikmah, yang harus diwariskan kepada generasi berikutnya.

Sejarah tidak boleh terlupakan, dan Butje adalah saksi kecil dari sebuah babak besar bangsa ini.[AF]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya

 

Rekomendasi untuk Anda

Sosok