Jakarta, MINA – Wakil Ketua MPR Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid, MA (HNW) mengatakan di zaman sekarang ini pun masjid tetap bisa menjadi sarana untuk berkontribusi memakmurkan dan menyelamatkan bangsa, negara, serta merealisasikan kemaslahatan bangsa dan negara yang benar (amar makruf) dengan cara yang benar (amar makruf) pula.
Oleh karena bangunan sejarah bangsa dan negara Indonesia, sangat terbuka untuk hadirnya peran positif ulama, pesantren, dan masjid, yang bisa menjadi bagian berkelanjutan dalam memberikan kontribusi melaksanakan dan melanjutkan kemashlatan untuk umat, bangsa dan negara.
“Dari masjid umat bisa berkolaborasi dan berkontribusi memakmurkan dan menyelamatkan umat, bangsa dan negara. Para ulama, habaib, umat, umaro, dan masjid bisa menjadi bagian yang terus menerus menjaga dan meluruskan kiblat berbangsa dan bernegara,” kata HNW ketika berbicara dalam “Konsolidasi Kepemimpinan Berbasis Masjid”, di Cisarua, Bogor, belum lama ini dikutip dari rilis MPR RI, Sabtu (10/9).
Menurutnya, ulama, habaib, umaro, umat dan masjid bisa menghadirkan kebersamaan dan realisasi ukhuwah Islamiyah, wathoniyah dan basyariyah, untuk memakmurkan dan menyelamatkan Indonesia, sebagaimana dahulu terlibat dalam memerdekakan Indonesia, dan sekarang dalam menjaga Indonesia agar tidak berubah kiblat.
Baca Juga: Hikmah Kisah Maryam, Usaha Maksimal untuk Al-Aqsa
“Itulah posisi ulama, habaib, umaro, dan umat,” tegas HNW.
Kegiatan yang diselenggarakan Dewan Masjid Indonesia (MUI) Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, dengan tema “Membangun Semangat Kepemimpinan yang Unggul dalam Rangka Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar” dihadiri Ketua DMI Kecamatan Tebet Drs. Habib Abdullah Bin Husin Alathos, MM, Ketua MUI Kec. Tebet K.H. Saefudin Zein, Ketua BKS3B Kec Tebet K.H. Zaini Sholihin, Ketua GPMI Kec Tebet H. Dedy Efendi ST, MM.
Terkait dengan masjid dan kekuatan umat serta kekuatan menyelamatkan bangsa, Hidayat Nur Wahid memberi contoh peristiwa fenomenal yang terjadi di Turki. Beberapa tahun lalu, tepatnya 2016, sekelompok anggota militer mendeklarasikan kudeta Turki.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyerukan warga untuk turun ke jalan untuk menunjukkan dukungan bagi pemerintah Turki.
Baca Juga: Perintah Membaca Sebelum BebasKan Al-Aqsa
“Tiba-tiba terdengar kumandang azan dari masjid di sekitar Turki pada dini hari. Pada Subuh, masyarakat sudah berbondong-bondong menjawab seruan masjid. Warga pun turun ke jalan untuk mendukung pemerintah Erdogan sehingga kudeta terhadap Presiden Recep Tayyip Erdogan gagal,” tutur HNW.
Apakah hal itu hanya khas untuk Turki saja? Apakah bisa terjadi juga di Indonesia? Menurut HNW, peristiwa itu bisa terjadi karena sesungguhnya memang masjid adalah tempat yang luar biasa. Dalam konteks Indonesia saja, sedikitnya ada 290.951 masjid. Di Jakarta saja ada sebanyak 8.212 masjid. Di Jakarta Selatan tercatat sekitar 3.570 masjid.
Jumlah pesantren di Indonesia yang melahirkan para ulama dan pemakmur masjid juga sangat besar. Jumlah pesantren di Indonesia tidak kurang dari 26 ribu pesantren. Sedangkan jumlah santri baik santri yang mondok maupun tidak mondok ada sekitar 18 juta santri. Berkat perjuangan di DPR, sudah lahir UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
“Dengan demikian, lembaga-lembaga yang nanti akan memakmurkan masjid dan menjadi kaderisasi ulama, bukanlah lembaga yang inkonstitusional. Lembaga itu konstitusional sehingga tidak layak dicurigai atau dipinggirkan. Ini adalah lembaga konstitusional yang diakui dan mendapatkan hak, serta harus diperlakukan setara dengan lembaga resmi lainnya,” tegas HNW.
Baca Juga: Menag Bertolak ke Saudi Bahas Operasional Haji 1446 H
Karenanya, lanjut HNW, dalam konteks Indonesia juga terbuka potensi untuk menghadirkan ulama, pesantren, dan masjid menjadi bagian yang memberikan kontribusi untuk kemashlahatan umat.
“Potensi yang terbuka itu bukan hanya sekarang saja. Tapi, sudah sejak sebelum kemerdekaan. Indonesia ada karena peran besar ulama dari pesantren, dari masjid. Itu adalah fakta sejarah. Karena itu saya sering mempopulerkan Jas Hijau yaitu jangan sekali-kali hilangkan jasa ulama, umaro, dan umat,” imbuhnya.
HNW menambahkan umaro (pemimpin) juga tidak bisa dihilangkan jasanya. Umaro berjasa dalam perjuangan Indonesia merdeka.
HNW memberi tiga contoh umaro yang betul-betul sangat berjasa. Pertama, Sultan Hamengku Buwono IX dari Mataram, Jogyakarta. Sultan Mataram Jogya yang bergelar Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Inkang Jumeneng Kaping Sanga menyerahkan kedaulatan kerajaan tanah Mataram untuk masuk ke dalam Indonesia.
Sultan Hamengku Buwono yang umaro juga menghibahkan uang cash sebesar 6 juta gulden (setara Rp 600 miliar) dan emas batangan agar Indonesia bisa mencetak uang (Oeang Republik Indonesia).
Baca Juga: Polisi Amankan Uang Rp150 M dari Kasus Judol
Kedua, Sultan Syarif Kasim II dari Kesultanan Siak Indrapura. Sultan menyerahkan kedaulatan kerajaan Siak Indrapura ke Indonesia. Bahkan Sultan Syarif Kasim II menghibahkan uang sebanyak 13 juta gulden (setara Rp 1,3 triliun) serta emas.
Ketiga, Sultan Hamid II dari Pontianak. Sultan Hamid II yang menciptakan lambang Garuda Pancasila menyerahkan 300 meriam yang dipakai untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
“Dari contoh itu bahwa hadirnya ulama, kiai, santri, umat, dan masjid, untuk membela bangsa dan negara memang sudah menjadi jatidiri dan fitrahnya. Yang tetap relevan dan konstitusional untuk dihadirkan bagi kemaslahatan umat bangsa dan negara, hingga untuk seterusnya,” pungkasnya.(R/R1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Polisi Tangkap Satu DPO Kasus Judol, Uang Rp5 M Diamankan