HNW Ingatkan Agar Santri Konsisten Memberikan Manfaat Untuk NKRI

Jakarta, MINA – Wakil Ketua MPR-RI yang juga Ketua Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam (PMDG) Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid MA, meminta komunitas dan Wali Santri di Indonesia, konsisten memberikan manfaat untuk Umat dan kontribusi untuk majunya peradaban NKRI.

“Terlebih di tengah berlanjutnya Covid-19, serta masih bertebarannya hoaks dan disinformasi soal Santri dengan menangnya Taliban (para Santri) di Afghanistan. Selain itu, tema lomba Hari Santri oleh BPIP, yang membuat Badan Pemasyarakatan Ideologi Pancasila meminta maaf.” Ujar Hidayat saat mengisi pengajian virtual bulanan dengan tema Spirit Santri Untuk Negeri Berdaya dan Berkeadaban yang diadakan oleh Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor Cabang Bogor, Ahad (22/8).

Hidayat mengingatkan kepada komunitas Santri agar segala fitnah tersebut jangan dibalas dengan fitnah dan kemungkaran. Disinformasi itu cukup diklarifikasi dengan baik sesuai nilai-nilai etika Islam yang diajarkan di Pesantren.

“Jadilah ibarat pohon mangga, sekalipun dilempari batu, tapi tidak membalas dengan lemparan baru, tetapi membalas dengan menjatuhkan buahnya,” tuturnya.

Pria yang akrab disapa , juga anggota Komisi VIII DPR-RI ini menjelaskan, sejak zaman penjajahan dan di awal pembentukan kesadaran nasional, Santri telah berkontribusi positif bersama tokoh-tokoh bangsa dari latar organisasi, agama dan suku yang berbeda.

Para Santri bersama-sama berjuang untuk memerdekakan Indonesia, mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dan menggagalkan pemberontakan PKI tahun 1948 dan 1965.

Pada Tahun 1903 misalnya, organisasi pertama di Indonesia, Jamiatul Khair, telah mengadakan Kongres di Jakarta yang menghasilkan “rekomendasi” bahwa memperjuangkan kemerdekaan bangsa dari penjajahan Belanda hukumnya adalah wajib. Perjuangan santri terus berlanjut hingga proses persiapan kemerdekaan, baik dalam BPUPK maupun Panitia 9 dan PPKI.

Berbagai elemen santri seperti Ormas (Muhammadiyah, NU, Persis, PUI) Orpol (Partai Islam Indonesia, Sarekat Islam, Partai Masyumi), Pondok-Pondok Pesantren seperti Gontor, para Habaib, bahkan para Ulama dan Santri membentuk Laskar Kiai, Laskar Santri, dan KH Subchi Parakan dikenal sebagai “guru spiritual” nya Bapak TNI Jendral Besar Soedirman.

Mereka aktif bersama pejuang lainnya, menghadirkan dan mempertahankan Negara Indonesia Merdeka, yang oleh NU, Muhammadiyah dan Partai-Partai Islam tidak disebut sebagai Darul Islam atau Darul Harbi melainkan Darussalam dan Darul ‘ahdi wasysyahadah.

“Tidak hanya melalui gerakan sipil, santri juga bergerak dilingkungan militer seperti yang dijalankan oleh Jenderal Sudirman sebagai Panglima Tentara Keamanan Rakyat yang kemudian menjadi TNI. Di luar itu ada Laskar Santri, Laskar Kyai, Laskar Hizbullah, Laskar Sabilillah. Mereka hadirkan aktivitas santri yang kongkret membela Negara, menghalau para penjajah dari Indonesia. Seperti juga Pesantren dan Santri Gontor, sekalipun ada saja fitnah terhadap Gontor, tapi jelas sekali Gontor menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, dan hormat bendera. Bahkan dalam hymne Gontor dinyatakan bahwa Santri Gontor juga berbakti kepada Indonesia sebagai Ibu. Dan di kompleks Pondok juga ada makam Kiyai dan Keluarga yang di antaranya adalah tempat persemayaman pahlawan Bangsa dari latar belakang Keluarga Pondok Gontor,” ujarnya.

HNW menegaskan, dalam berjuang untuk Indonesia, para santri selalu terlibat bersama dan mengajak komponen bangsa lainnya, karena semangat yang dibawa oleh santri merupakan gabungan antara semangat keagamaan dan semangat kebangsaan.

Santri juga harus terus berperan memajukan dan mempersatukan Indonesia di tengah perpecahan dan atau upaya pecah belah. Sebagaimana dicontohkan oleh M. Natsir, Waketum PERSIS, melalui Mosi Integralnya agar Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan.

M. Natsir, seorang santri dan bergerak di bidang Politik melalui Partai Masyumi, menuntut agar Indonesia kembali kepada cita-cita Indonesia merdeka. Yaitu menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI), setelah sebelumnya dibelah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS).

Mosi tersebut diterima oleh seluruh Fraksi di DPR-RIS sehingga berselang 4 bulan dari Mosi Integral Natsir, tepatnya pada 17 Agustus tahun 1950, Indonesia yang sempat berbentuk Serikat (RIS) kembali diproklamirkan oleh Bung Karno menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Adapun terkait kemenangan Taliban di Afghanistan, HNW mengingatkan bahwa delegasi Taliban di bawah pimpinan Mulla Abdul Ghani Baladar, tokoh kunci Taliban, pernah berkunjung resmi ke Indonesia. Mereka juga berjumpa dengan MUI dan PBNU.

Taliban yang bermadzhab Sunni (Hanafi, Maturidy dan Qadiry) sebagaimana mayoritas mutlak Muslim Indonesia juga Sunni, wajar bila waktu itu diterima dengan resmi dan hangat oleh MUI dan PBNU. Taliban pun sangat terkesan dengan aktivitas PBNU sehingga akan mendirikan cabang NU di Afghanistan.

Taliban seperti Sunni di Indonesia bukan Wahabi atau ISIS, bahkan mereka malah mengeksekusi hukuman mati terhadap Ketua ISIS di Asia Selatan, Umar Khurasani.

Taliban yang minta banyak masukan kepada Ulama-Ulama di MUI dan PBNU, bukanlah kelompok Radikal atau Takfiri. Mestinya dengan makin banyaknya masukan dan perhatian yang mereka minta dari Indonesia, seperti dari pak JK, MUI, NU, hingga Muhammadiyah, harusnya Taliban akan dapat membuktikan janji-janjinya untuk menjadi Taliban baru. Yaitu Taliban yang merealisasikan Islam Rahmatan lil alamin, wasathiyah (moderat) dan cinta. Sekaligus koreksi atas berbagai stigma, salah paham, dan citra negatif sebelumnya.

“Ini membuktikan bahwa Santri merupakan entitas moderat yang memiliki akar sejarah perjuangan dan kecintaan terhadap agama, bangsa dan negara yang sangat jelas rujukan madzhab Sunni dalam fiqih, theologi maupun tasawufnya, maupun juga dalam berpolitiknya. Bukan ajaran atau laku terorisme, ekstrimisme maupun radikalisme,” pungkasnya.(R/R1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)