Jakarta, MINA – Wakil Ketua MPR-RI Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid MA mengkritik lomba karya tulis yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Kritik tersebut disampaikan karena tema yang digunakan dalam lomba termasuk kategori kontroversial. Berbau sara dan Islamofobia, tidak sesuai dengan spirit berpancasila sebagaimana diwariskan oleh Bapak-Bapak Bangsa.
Hidayat dalam keterangannya, Ahad (15/8) menilai, BPIP mengulangi kegaduhan yang kontraproduktif, dengan dikondisi kekinian. Saat ini Bangsa sedang bersiap memperingati HUT Kemerdekaan RI dan Hari Konstitusi (18 Agustus).
Keduanya adalah peristiwa nasional yang membuktikan kuatnya peran Santri dan Ulama untuk Indonesia Merdeka, Pancasila dan UUD 1945.
Baca Juga: Tumbangnya Rezim Asaad, Afta: Rakyat Ingin Perubahan
Namun menurut Hidayat, BPIP justru mengumumkan kegiatan nasional lomba tulis peringati hari Santri yang dinilai publik menyiratkan adanya tuduhan terselubung terhadap para Santri sebagai tidak menyanyikan lagu Indonesia Raya dan tidak menghormati bendera Merah Putih.
“Padahal, para Santri dan Ulama termasuk di antara komponen bangsa yang diakui telah berjuang menghadirkan dan mempertahankan Indonesia Merdeka, dan menyelamatkan Pancasila,” ujar Hidayat.
Wakil Ketua Majelis Syura PKS ini menjelaskan, Hari Santri tanggal 22 Oktober yang diperingati sebagai hari nasional, dan dijadikan tema lomba oleh BPIP, sejatinya adalah bagian monumen historis jasa nyata Santri dan Ulama.
Selain itu, pengakuan Negara bagaimana Santri dan Ulama menyelamatkan Indonesia dari berlanjutnya penjajahan Belanda. Apalagi dalam kondisi sekarang di mana Presiden Jokowi mengajak peran serta Ulama dan Santri untuk mengawal program penanggulangan Covid-19 seperti vaksinasi dan protokol kesehatan.
Baca Juga: Resmikan Terowongan Silaturahim, Prabowo: Simbol Kerukunan Antarumat Beragama
Mestinya, lanjut Hidayat, BPIP tidak menyudutkan Santri dengan stigma-stigma negatif. Harusnya, kalaupun akan membuat perlombaan tulisan memperingati Hari Santri Nasional, BPIP mencabut dua tema yang tidak menghormati peran menyejarah Santri itu. Kemudian segera menggantinya dengan tema lomba yang lebih produktif dan edukatif. Misalnya tentang Jasa Santri menyelamatkan Indonesia, atau peran santri memberantas korupsi, mengatasi pandemi, mengokoh-kuatkan persatuan Bangsa.
“Dalam konteks peringatan Hari Santri Nasional, menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya, maupun pengibaran Bendera Merah Putih oleh komunitas Santri seperti di NU, Muhammadiyah, sudah dilaksanakan dan tidak dipermasalahkan. Seandainya ada yang masih belum melaksanakan, tugas BPIP sebagai bukti pengamalan Pancasila; mendatangi mereka secara baik-baik dan beradab, berikan pencerahan dalam semangat permusyawaratan menjaga persatuan, dan berikan solusi, saya yakin akan langsung selesai,” ungkapnya.
HNW menegaskan, Jelang HUT kemerdekaan dan Hari Konstitusi, mestinya BPIP mengumumkan lomba dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional 22/10/2021 yang menghormati jasa Santri dan Ulama dalam menghadirkan dan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Atau minimal tema tentang Para Ulama dan Santri yang tidak hanya memperjuangkan kemaslahatan Umat tapi juga kemaslahatan bangsa dan negara.
“Itulah latar belakang penetapan Hari Santri Nasional bukan 1 Muharram melainkan tanggal 22 Oktober. Karena menghormati jasa Para Santri dan Kiyai, yang pada tanggal 22 Oktober 1945 KH Hasyim Asyari mengobarkan fatwa dan resolusi Jihad memaksimalkan usaha dari Surabaya melawan penjajahan Belanda,” jelasnya.
Baca Juga: Konflik Suriah, Presidium AWG: Jangan Buru-Buru Berpihak
Fatwa dan Resolusi Jihad itu didukung oleh Kongres Umat Islam I di Yogya (7-8/11/1945) yang kemudian memunculkan heroisme perlawanan Santri bersama para Pemuda dan komponen lainnya pada 10/11/1945, menghadirkan perlawanan Rakyat dan Santri yang berhasil mengalahkan Belanda dan sekutunya. Peristiwa itu disebut dan diakui Pemerintah sebagai Hari Pahlawan.
“Dengan peran Ulama dan Santri tersebut maka selamatlah kemerdekaan Indonesia dan keutuhan Bangsa bersama Pancasila,” ujarnya.
Hidayat yang juga Anggota DPR-RI Komisi VIII yang di antaranya membidangi urusan agama ini menjelaskan, Negara melalui pengesahan UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren juga mengakui bahwa tidak ada pertentangan antara Santri dan Ulama dengan semangat kebinekaan dan keindonesiaan.
Dalam UU Pesantren Pasal 10 ayat (4) misalnya disebutkan, Santri dididik untuk menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt, menyemaikan akhlak mulia, memegang teguh toleransi, keseimbangan, moderat, rendah hati, dan cinta tanah air berdasarkan ajaran Islam, nilai luhur bangsa Indonesia, serta berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Baca Juga: Krisis Suriah, Rifa Berliana: Al-Julani tidak Bicarakan Palestina
HNW menmbahkan, semangat keislaman dan kebangsaan di kalangan Santri sejatinya sudah selesai dan bisa jalan beriringan. Jangan justru lembaga Negara seperti BPIP kembali mempersoalkannya, yang akan berakibat kepada munculnya lagi saling curiga dan stigma.
“BPIP dan programnya harusnya menjadi contoh bagaimana mempersatukan Bangsa dan merawat kesatuan Bangsa sebagaimana sila ketiga Pancasila, jangan malah menumbuhkan lagi benih-benih pecah belah bangsa dengan stigma terhadap Para Santri yang telah berjasa untuk Indonesia Merdeka, sekalipun dengan dalih memperingati Hari Santri Nasional,” pungkasnya.
Sebelumnya dikabarkan, dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional 22 Oktober BPIP membuat lomba tulis nasional berhadiah jutaan rupiah. Tema yang diajukan dalam lomba tersebut adalah Hukum Islam terkait hormat bendera merah putih, dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya(R/R1/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: AWG Selenggarakan Webinar “Krisis Suriah dan Dampaknya bagi Palestina”