HNW: Rancangan Perubahan UU Sisdiknas Ciderai Pesantren

Jakarta, MINA – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengkritik Rancangan perubahan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU ).

Menurut Hidayat,  Rancangan perubahan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, itu mencederai karena tidak mentaati UU Pesantren.

“Hanya menyebutkan satu jenis pesantren di dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Padahal UU Pesantren yang bersifat lex specialis telah mengakui dan memperluas jenis-jenis Pesantren,” kata Hidayat melalui siaran pers di Jakarta diterima MINA, Sabtu (3/9).

sapaan akrab Hidayat Nur Wahid pun merujuk kepada sejumlah ketentuan di dalam Rancangan Perubahan UU Sisdiknas. Seperti Pasal 47, 74 dan 120, yang menyebutkan hanya pesantren yang berbentuk pengajian Kitab Kuning.

Padahal, apabila merujuk kepada UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, jelas disebutkan bukan hanya satu saja tapi ada tiga jenis pesantren.

Selain pesantren tradisional yang mengajarkan kitab kuning sebagaimana sudah disebut dalam RUU,  ada juga pesantren berbentuk pengajaran Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Mualimin. Juga Pesantren yang terintegrasi dengan pendidikan umum.

“Laku penyusun Rancangan Perubahan UU Sisdiknas ini tidak menjadi contoh yang baik dalam menaati aturan yang ada. Kalau tidak dikoreksi dapat meredusir pengakuan negara terhadap jenis-jenis pesantren yang disebutkan di dalam UU Pesantren,” tegasnya.

Selain itu, lanjut HNW, juga dikhawatirkan terjadi pembonsaian dan adu domba yang menciptakan kegaduhan di kalangan Pesantren yang sudah sama-sama menerima UU Pesantren. Karenanya sudah  seharusnya RUU ini dikembalikan kepada ketentuan yang benar dalam UU Pesantren.

Anggota Komisi VIII DPR RI yang membidangi urusan keagamaan ini mengutip Pasal 5 ayat (1) UU Pesantren. Ketentuan itu berbunyi, “Pesantren terdiri atas: a) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk Pengkajian Kitab Kuning; b) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Mualimin; atau c) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk lainnya yang terintegrasi dengan pendidikan umum.”

“Memang, di dalam RUU Sisdiknas itu merujuk kepada UU Pesantren di berbagai penjelasannya. Namun, ironisnya malah hanya ada penyebutan secara spesifik terhadap salah satu jenis pesantren saja, dan itu dapat mengabaikan keberadaan dua jenis pesantren lainnya yang sama-sama diakui oleh UU Pesantren. Jadi, tidak sinkron dengan UU Pesantren, sehingga harus diperbaiki,” ujarnya.

HNW berharap, Kemendikbudristek segera mengkoreksi dan mengakomodasi masukan ini. Seperti  saat publik mengkoreksi draft RUU Sisdiknas yang menghilangkan penyebutan Madrasah dalam batang tubuh-nya dan hanya menyebutkannya dalam penjelasan.

“Awalnya ada wacana yang terbaca dari draft RUU Sisdiknas dari Kemendikbudristek yang menghapuskan madrasah dari RUU Sisdiknas. Tapi Alhamdulillah dengan  adanya kritikan-kritikan publik dan penolakan termasuk dari PKS, wacana itu tidak direlisasikan. Kritik-kritik didengarkan dan sekarang  madrasah tetap menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang eksplisit. Tetap disebutkan dalam batang tubuh RUU Sisdiknas, tidak hanya di dalam penjelasan,” tambahnya.

Selain terkait penyebutan semua jenis pesantren, HNW mengatakan ada beberapa poin yang perlu diperhatikan  Kemendikbud karena menjadi catatan dan kritikan publik.

“Misalnya, terkait hilangnya tunjangan profesi guru dan dosen serta tunjangan lainnya di dalam RUU Sisdiknas. Seharusnya tunjangan guru itu dieksplisitkan dan ditingkatkan, bukan malah dihapuskan, atau dibuat abu-abu,” ujarnya.

Wakil Ketua Majelis Syuro PKS ini juga memahami penjelasan dari Kemendikbudristek yang mengatakan penghapusan tunjangan-tunjangan itu akan diiringi dengan janji untuk memberikan penghasilan yang layak kepada guru secara langsung. Namun, hal itu  baru  sebatas ‘janji’, sehingga wajar apabila ada kekhawatiran bila janji itu tidak terealisasi.

“Jadi, lebih baik secara eksplisit  dan definitif ditegaskan saja di dalam RUU, bahwa konsep yang ada tidak untuk menghilangkan tunjangan tersebut, dan tidak untuk merugikan kesejahteraan guru,” ujarnya.

Kesejahteraan guru dan dosen, kata HNW merupakan salah satu bentuk pelaksanaan prinsip Keadilan sosial. Sebagaimana ketentuan Pancasila dan Pembukaan UUD, dan merupakan salah satu pilar utama untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

“Kalau para pendidiknya saja tidak sejahtera, atau terus berada dalam ketidakpastian, bagaimana kualitas pendidikan Indonesia dapat ditingkatkan. Karena pendidik merupakan salah satu pelaku dan pemangku kepentingan utama di dalam  sukses pendidikan dan pengajaran,” tuturnya.(R/R1/P2)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.