Kairo, 14 Syawal 1434/21 Agustus 2013 (MINA) – Dalam sebuah pernyataan di situs resminya, Human Rights Watch (HRW) menyebut insiden pembantaian aparat keamanan Mesir dalam pembubaran paksa dua kubu besar demonstran pro-Mursi pada 14 Agustus sebagai ‘pembantaian massal terburuk dalam sejarah negara modern’.
HRW telah menyelidiki tindakan keras tentara Mesir pada aksi duduk Rabaa al-Adawiya di Nasr City dan Nahda di Giza, serta bagian Kairo lainnya, Anadolu Agency melaporkan yang dikutip Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj News Agency), Rabu (21/8).
Dilaporkan bahwa HRW mewawancarai 41 pengunjuk rasa, dokter, dan penduduk di Rabaa al-Adawiya dan Nahda. Staf HRW juga mengunjungi Medical Center Rabaa al-Adawiya selama pembubaran dan kemudian mengunjungi rumah sakit dan kamar mayat di Kota Nasr dan Giza.
Penyelidikan HRW menunjukkan bahwa keputusan militer untuk menggunakan amunisi langsung dalam skala besar adalah bentuk kegagalan dalam mengamati standar dasar kepolisian internasional tentang penggunaan kekuatan mematikan.
Baca Juga: Warga Palestina Bebas setelah 42 Tahun Mendekam di Penjara Suriah
Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa keputusan untuk menggunakan amunisi langsung tidak bisa dibenarkan hanya karena gangguan yang disebabkan oleh demonstrasi atau terbatasnya kepemilikan senjata oleh beberapa pengunjuk rasa.
Dalam pernyataan itu dilaporkan bahwa polisi yang ditempatkan di atap bangunan dekat intelijen militer mulai menembakkan peluru tajam bersamaan dengan gerakan polisi anti huru hara dari pintu masuk sebelah Tiba Mall di Nasr Street pada pukul 06:45 waktu setempat, 14 Agustus.
Dokter di klinik mengatakan kepada HRW bahwa ia menerima pasien pertama yang terluka oleh peluru tajam pada pukul 07:00 waktu setempat.
Laporan HRW juga menyebutkan bahwa demonstran tidak diberi akses jalan keluar yang aman dari lokasi aksi duduk, termasuk untuk orang-orang yang terluka akibat tembakan langsung dan memerlukan pertolongan medis yang mendesak.
Baca Juga: Faksi-Faksi Palestina di Suriah Bentuk Badan Aksi Nasional Bersama
Ini juga merupakan pelanggaran serius terhadap standar internasional karena tembakan berlanjut selama 10 jam.
“Pasukan keamanan gagal merencanakan operasi untuk meminimalkan resiko bagi yang hidup, termasuk dengan memastikan akses keluar yang aman dan memberikan perintah umum untuk tidak membunuh kecuali dengan cara yang benar-benar diperlukan,” kata pernyataan HRW.
Kondisi tidak mungkin untuk menentukan apakah penggunaan amunisi pertama datang dari pihak pasukan keamanan atau demonstran. HRW menyatakan bahwa penembakan oleh pemrotes tidak membenarkan aparat menggunakan kekuatan mematikan terhadap sebagian besar demonstran.
Menurut demonstran dan wartawan yang berada di sana, berbicara kepada HRW bahwa dari awal penindasan, mereka tidak bisa menemukan jalan keluar setelah pasukan keamanan mulai menembakkan gas air mata, karena tembakan berat datang dari arah pasukan keamanan.
Baca Juga: Agresi Cepat dan Besar Israel di Suriah Saat Assad Digulingkan
Berdasarkan saksi dan video dari demonstran, serta pengamatan staf HRW, menunjukkan bahwa sebagian besar para pengunjuk rasa tidak bersenjata, tapi hanya menggunakan beberapa batangan besi dan beberapa senjata lainnya. Oleh karena itu, pernyataan HRW menuding bahwa polisi membunuh demonstran secara tidak sah, yang jelas tidak terlibat dalam bentuk kekerasan apapun. (T/P09/R2).
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: KBRI Damaskus Evakuasi 37 WNI dari Suriah