KONFLIK Palestina bukanlah kisah baru. Ia adalah luka panjang yang berdarah setiap hari, menyayat hati umat Islam di seluruh dunia. Setiap kali Gaza dibombardir, anak-anak kehilangan orang tua, masjid-masjid luluh lantak, rumah-rumah hancur, dunia menoleh lalu kembali diam. Yang lebih menyakitkan, negara-negara Arab yang mestinya menjadi garda terdepan justru sibuk dengan retorika.
Konferensi demi konferensi digelar. Para pemimpin Arab hadir dengan pakaian mewah, berpidato dengan lantang soal solidaritas Islam, bersumpah akan mendukung perjuangan Palestina. Namun setelah kamera padam, janji itu tinggal janji. Tak ada pasukan yang bergerak, tak ada blokade ekonomi terhadap Israel, tak ada langkah strategis yang benar-benar membela rakyat Palestina. Yang ada hanyalah kecaman demi kecaman, doa-doa formal, dan pertemuan diplomatik yang hasilnya nihil.
Padahal, jika negara-negara Arab bersatu, kekuatan mereka bisa membuat Israel ketakutan. Ada 22 negara anggota Liga Arab dengan lebih dari 400 juta penduduk, dengan sumber daya minyak melimpah, dengan kekuatan militer dan ekonomi yang besar. Tetapi kenyataan berkata lain: mereka lebih memilih aman, tunduk pada kepentingan Barat, dan menjaga kursi empuk masing-masing ketimbang menolong saudara sendiri.
Normalisasi: Pisau di Punggung Palestina
Baca Juga: Keutamaan Bulan Rajab: Amalan Sunnah dan Pahalanya
Yang lebih ironis, sebagian negara Arab justru berbondong-bondong menormalisasi hubungan dengan Israel. Perjanjian Abraham yang ditandatangani Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko adalah bukti paling nyata. Dengan alasan “demi stabilitas regional dan keuntungan ekonomi,” mereka rela merangkul negara yang jelas-jelas menodai Masjid Al-Aqsa, membunuh ribuan warga sipil, dan merampas tanah Palestina.
Di depan publik, mereka bicara tentang ukhuwah Islamiyah, tentang cinta pada Al-Quds, tentang derita Gaza. Tapi di balik layar, mereka menandatangani kontrak dagang, membuka jalur diplomasi, dan menjalin kerja sama militer dengan Israel. Bukankah ini pengkhianatan terang-terangan? Bukankah ini sama dengan menancapkan pisau di punggung rakyat Palestina yang sedang berdarah?
Ketika bom jatuh di Gaza, berapa banyak negara Arab yang benar-benar mengirim bantuan senjata? Hampir tidak ada. Yang ada hanya truk-truk bantuan kemanusiaan yang seringkali terhalang izin Israel. Rakyat Palestina dipaksa bertahan dengan batu melawan tank, dengan doa melawan rudal, dengan keyakinan melawan pasukan bersenjata lengkap. Sementara negara-negara Arab sibuk memamerkan jet tempur canggih yang mereka beli, bukan untuk membela Al-Aqsa, tapi untuk melindungi tahta dari ancaman dalam negeri.
Mengapa demikian? Karena banyak rezim Arab berdiri bukan di atas kekuatan rakyatnya, tapi di atas restu Washington. Mereka tahu, melawan Israel berarti menantang Amerika. Dan menantang Amerika berarti ancaman pada kursi kekuasaan mereka sendiri. Maka, mereka memilih jalan aman: mengecam untuk meredam rakyat, tapi tetap tunduk pada kepentingan Barat. Palestina pun akhirnya ditinggalkan di tengah lautan retorika.
Baca Juga: Keutamaan Bulan Ramadhan yang Membuat Umat Islam Rindu Menyambutnya
Palestina Menunggu Aksi, Bukan Janji
Yang paling menyedihkan adalah bagaimana sebagian umat Islam masih terkecoh oleh drama politik Arab. Ketika seorang pemimpin berpidato lantang menolak agresi Israel, banyak yang terharu dan memujinya. Padahal setelah itu, ia tetap menandatangani kontrak dengan perusahaan Yahudi, tetap membiarkan markas militer Amerika berdiri di tanah Arab, tetap menjaga jalur suplai senjata untuk Israel tetap terbuka.
Umat Islam harus sadar: Palestina tidak butuh pidato, mereka butuh tindakan. Bukan konferensi mewah, melainkan keberanian untuk menutup kedutaan Israel, memutus kerja sama, menggunakan kekuatan minyak sebagai senjata diplomasi. Selama negara-negara Arab hanya pandai bicara, Palestina akan terus berdarah.
Namun, di balik semua itu, rakyat Palestina tetap berdiri tegak. Anak-anak kecil Gaza yang kehilangan keluarga masih hafal Al-Qur’an. Para ibu yang suaminya gugur tetap tersenyum dalam kesabaran. Para pemuda yang tahu hidupnya bisa berakhir kapan saja tetap maju ke medan perlawanan. Mereka inilah sumber inspirasi. Jika mereka yang minim segalanya saja mampu bertahan, mengapa negara-negara Arab yang berlimpah segalanya tak berani berbuat lebih?
Baca Juga: Keutamaan Puasa Rajab Lengkap dengan Dalilnya
Sudah saatnya umat Islam tidak lagi menunggu belas kasih penguasa Arab. Solidaritas untuk Palestina harus lahir dari rakyat, dari gerakan masyarakat sipil, dari kekuatan umat yang bersatu di bawah panji Islam. Al-Aqsa adalah milik seluruh umat, bukan hanya bangsa Arab. Maka setiap Muslim wajib berperan: dengan doa, dengan boikot produk, dengan kampanye, dengan tekanan politik, dengan apapun yang bisa dilakukan. Diam berarti ikut bersalah, pura-pura tidak tahu berarti ikut mengkhianati.
Jika negara-negara Arab terus diam, sejarah akan mencatat mereka sebagai pecundang. Namun jika umat Islam di seluruh dunia bersatu, maka Palestina tidak akan sendirian. Jangan biarkan derita Palestina hanya menjadi berita duka yang lewat di layar televisi. Jadikan perjuangan mereka sebagai perjuangan kita, sampai Al-Aqsa kembali tersenyum di bawah panji Islam yang berkibar megah.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Manfaat Puasa Rajab untuk Kesehatan dan Spiritual