Hukum Takzir Dengan Harta di Lembaga Pendidikan

Oleh : Taufiqurrahman Lc

Banyak lembaga pendidikan di Indonesia menerapkan bagi siswa yang melanggar peraturan dalam bentuk uang, penyitaan atau perampasan harta bahkan pemusnahan.

Semua peraturan di atas merupakan inisiatif pihak lembaga pendidikan dan bukan berasal dari kewenangan yang diberikan pihak pemerintah pusat ataupun daerah kepada lembaga pendidikan.

Meski demikian ada beberapa pemerintah daerah di Indonesia yang menerbitkan perda yang memidanakan siswa yang membawa HP di lingkungan sekolah dengan pidana kurungan atau denda atau merampasnya untuk aset daerah.[i]

Bagaimana Islam memandang bentuk hukuman seperti di atas ? Berikut ulasan Penulis :

Dalam Islam bentuk hukuman di atas termasuk dalam kategori takzir. Takzir merupakan jenis hukuman yang tidak ada hadd ataupun kafarat di dalamnya.

Secara bahasa takzir (تعزير) berasal dari kata عَزَّرَ – يُعَزِّرُ yang berarti عَظَّمَ يُعَظِّمُ atau memuliakan, menghormati dan mengagungkan. Seperti tercantum dalam firman Allah Ta’ala :

{ لِتُؤْمِنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ }

{Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mengagungkan (agama)Nya } (QS Al Fatah : 9)

Atau juga bisa bermakna عَاقَبَ يُعَاقِبُ menjatuhkan hukuman. Seperti pada ungkapan عَزَّرَ القَاضِي المُذنِبَ yang artinya hakim menjatuhkan hukuman kepada pelaku dosa.[ii]

Adapun secara istilah berarti hukuman yang tidak ditentukan ukuran dan bentuknya yang diwajibkan sebagai bagian dari hak Allah atau hak manusia atas segala bentuk kemaksiatan yang tidak ada hadd ataupun kafarat atasnya.[iii]

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan beberapa hal berikut :

  1. Syariat Islam tidak menentukan ukuran dan bentuk hukuman takzir
  2. Hukuman takzir ditegakkan karena adanya pelanggaran terhadap hak Allah ataupun manusia
  3. Berlaku atas segala bentuk kemaksiatan yang hukumannya bukan berupa hadd ataupun kafarat.

Dengan demikian takzir dengan harta berarti hukuman yang menyertakan harta pelaku pelanggaran atau yang ia gunakan untuk melakukan pelanggaran terhadap hak Allah atau hak manusia di luar hukuman hadd dan kafarat, yang ukuran dan bentuk harta itu tidak diatur dalam syariat.

Hukum takzir dengan harta

Para ulama berbeda pendapat terkait hukum takzir dengan harta. Jumhur ulama yang terdiri dari ulama-ulama hanafiah, malikiyah, syafi’iah dan hanabilah mengharamkan takzir dengan harta. Sebagian ulama lain membolehkannya. Diantara mereka adalah Ishaq bin Rohawaih, Abu Yusuf, Imam Yahya, Hadawiyah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Farhun Al Burzuli.[iv]

Berikut diantara dalil-dalil yang dijadikan dasar hukum bolehnya takzir dengan harta :

Pertama, sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam

“إنّا آخذوها وشطرَ مالِه عزمةً من عزماتِ ربّنا عزّ وجلّ”

“Kami akan mengambilnya beserta setengah hartanya karena membayar zakat merupakan perintah yang keras dari Rabb kami.”[v]

Seluruh lafaz dari hadits itu secara dhahir menegaskan disyariatkannya pengambilan secara paksa (wajib) harta di luar harta wajib zakat milik orang-orang yang melanggar syariat terkait zakat berupa penolakan membayar zakat.

Kedua, ijma’ sahabat ridhwanullah ‘alaihim. Menurut Ibnul Qoyyim al Jauziyah banyak riwayat menyebutkan sahabat menerapkan takzir dengan harta diantaranya kebijakan Umar bin Khathab menerapkan takzir dengan harta di hadapan para sahabat. Dan tidak satupun sahabat yang mengingkari kebijakan tersebut.[vi]

Diam atau tidak adanya riwayat menyebutkan sahabat yang mengingkari kebijakan Umar tersebut mengindikasikan adanya kesepakatan di kalangan mereka bolehnya takzir dengan harta.

Jenis-jenis takzir dengan harta

Takzir dengan harta terbagi menjadi empat macam :

  1. Takzir dengan menyita harta pelaku pelanggaran

Yakni pengambilalihan kekuasaan pelaku pelanggaran atas hartanya selama jangka waktu tertentu untuk kemudian dikembalikan kembali kepadanya.

Takzir dengan harta asalnya adalah bentuk penyitaan. Syeikh Wahbah Zuhaili mengatakan, “Makna tazkir dengan harta adalah menahan sebagian dari harta pelaku pelanggaran dalam jangka waktu tertentu untuk membuatnya jera kemudian hakim menyerahkan kembali harta itu kepadanya.”[vii]

  1. Takzir dengan merampas harta pelaku pelanggaran

Yakni pengambilalihan hak milik harta pelaku pelanggaran yang ia gunakan untuk kepentingan melanggar.

Dasar hukum dari takzir jenis ini adalah qiyas aulawi terhadap kebijakan Umar bin Khaththab yang membuang susu campuran untuk dijual.[viii]

Sisi pendalilannya : jika membuangnya yang menyebabkan hilangnya kepemilikan susu itu dari tangan pelaku dibolehkan maka tentu saja memindahalihkannya untuk fakir miskin lebih dibolehkan.

  1. Tazkir dengan memusnahkan harta pelaku pelanggaran

Yakni dengan melenyapkan harta haram milik pelaku pelanggaran.

Dasar hukum takzir jenis ini diantaranya kebijakan Umar bin Khathab radliallahu’anhu saat melihat lelaki mencampur susu dengan air lalu menjualnya lantas Umar membuang susu campuran itu di hadapannya.[ix]

Sisi pendalilan hadits tersebut : Umar melakukannya sebagai bentuk hukuman terhadap lelaki tersebut.

  1. Takzir dalam bentuk denda

Yakni dengan mewajibkan pelaku pelanggaran membayar sejumlah uang sebagai bentuk denda atas pelanggaran yang dilakukannya.

Dasar hukum takzir jenis ini diantaranya hadits berikut :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ الثَّمَرِ الْمُعَلَّقِ فَقَالَ مَنْ أَصَابَ بِفِيهِ مِنْ ذِي حَاجَةٍ غَيْرَ مُتَّخِذٍ خُبْنَةً فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَمَنْ خَرَجَ بِشَيْءٍ مِنْهُ فَعَلَيْهِ غَرَامَةُ مِثْلَيْهِ وَالْعُقُوبَةُ وَمَنْ سَرَقَ مِنْهُ شَيْئًا بَعْدَ أَنْ يُؤْوِيَهُ الْجَرِينُ فَبَلَغَ ثَمَنَ الْمِجَنِّ فَعَلَيْهِ الْقَطْعُ وَمَنْ سَرَقَ دُونَ ذَلِكَ فَعَلَيْهِ غَرَامَةُ مِثْلَيْهِ وَالْعُقُوبَةُ قَالَ أَبُو دَاوُد الْجَرِينُ الْجُوخَانُ

Dari Abdullah bin Amru bin Al Ash dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau pernah ditanya tentang kurma yang masih menggantung di pohon? Maka beliau menjawab: “Barangsiapa makan darinya karena kebutuhan, tidak menyembunyikan (buah yang lain), maka ia tidak berdosa. Barangsiapa keluar dari (kebun) tersebut dengan mengambil sesuatu darinya, maka ia harus mengganti dua kali lipat beserta hukuman tambahan. Barangsiapa mencuri sesuatu darinya setelah dikumpulkan dalam keranjang dan senilai tameng, maka baginya hukuman potong tangan. Dan barangsiapa mencuri sesuatu yang kurang dari nilai tersebut, maka harus mengganti dua kali lipat beserta hukuman tambahan.” Abu Dawud berkata, “Al Jarin adalah keranjang kurma.[x]

Tampak jelas Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mewajibkan denda kepada pelaku pencurian kurma yang membawa keluar kurma itu dari kebun sebesar dua kali lipat dari jumlah kurma yang diambilnya.

Yang berhak menegakkan takzir

Pada dasarnya secara syar’i penegakkan hukum baik berupa hudud, qishas maupun takzir merupakan wewenang ulil amri, hakim atau yang setara dengannya, bukan wewenang setiap individu atau kelompok. Banyak dalil-dalil yang menegaskan itu diantaranya firman Allah Ta’ala :

{ الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ }

“Wanita yang berzina dan laki-laki yang berzina cambuklah oleh kalian setiap dari keduanya dengan seratus kali cambukan,” (QS An Nur : 2)

Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa mukhatab (yang diperintahkan) pada ayat itu bukanlah semua umat Islam, melainkan Imaam atau yang menggantikannya.

Pandangan itu dikuatkan dengan hadits berikut

عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ أن الرسول صلى الله عليه وسلم قال: ( أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ آنَ لَكُمْ أَنْ تَنْتَهُوا عَنْ حُدُودِ اللَّهِ، مَنْ أَصَابَ مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْئًا، فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِي لَنَا صَفْحَتَه، نُقِمْ عَلَيْهِ كِتَابَ اللَّهِ )

Dari Zaid bin Aslam bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Wahai sekalian manusia, aku telah mengingatkan kalian untuk berhati-hati pada batasan-batasan Allah. Barangsiapa terjerumus dalam perbuatan yang jelek, hendaknya ia menutupi dirinya dengan tirai Allah. Karena barangsiapa memberitahukan perbuatannya kepada kami, maka kami pasti akan menegakkan ketetapan hukum Allah atasnya.”

Lafaz yang artinya ‘maka kami pasti akan menegakkan ketetapan hukum Allah atasnya’ menegaskan secara dhahir kewenangan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk menegakkan hukuman bagi pelanggar syariat. Dan kepemimpinan beliau dilanjutkan oleh para khalifah dan para pemimpin umat (ulil amir) sesudahnya. Sehingga kewenangan penegakkan hukum pun diwariskan kepada mereka.

Bahkan Imam al Qurthubi menyebutkan para ulama tidak berselisih bahwa qishash dalam pembunuhan tidak ditegakkan kecuali oleh ulil amri. Sebab menjadi kewajiban atas mereka menegakkan qishash, hudud dan selain itu.[xi]

Namun demikian takzir juga disyariatkan kepada selain ulil amri namun sebatas sebagai metode pendidikan saja. Bukan penegakkan hukum.

Syeikh Shalih al Utsaimin saat ditanya tentang guru yang menyita barang siswa yang melanggar dan menjadikannya milik sekolah mengatakan :

“Jika dia (guru) menemukan sesuatu untuk dirusak oleh siswa dan dia sudah memperingatkan mereka, misalnya di papan tulis, di papan nama, atau yang lainnya : bahwa setiap orang membawa sesuatu untuk dimainkan maka dia akan disita, maka guru boleh menyitanya.”

Hanya saja, lanjut beliau, jika barang itu berharga, dan siswa itu miskin, misalnya, maka sebaiknya barang itu disita sementara. Di akhir tahun sekolah harus menyerahkannya kembali ke siswa itu atau walinya.[xii]\

Kesimpulan

Tata tertib di sekolah diberlakukan selain untuk menegakkan kedisiplinan juga untuk mewujudkan keamanan dan keadilan di antara siswa. Sehingga pelanggaran terhadap aturan itu dapat berakibat pada munculnya gangguan atas hak Allah maupun hak adami.

Terjaganya hak Allah dan hak adami ini merupakan tujuan takzir sebagaimana terdapat dalam definisi takzir secara istilah.

Pelanggaran terhadap tata tertib sekolah juga dapat dikategorikan kemaksiatan. Sebab tata tertib yang merupakan akad perjanjian bersama yang mengikat semua siswa. Apabila dilanggar maka pelanggaran itu juga pelanggaran terhadap akad perjanjian. Dan ini merupakan bentuk kemaksiatan.

Namun demikian ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan yakni :

Pihak sekolah bukan merupakan ulil amri ataupun yang menggantikannya. Sehingga penegakkan hukum takzir tidak menjadi wewenang sekolah. Melainkan wewenang ulil amri.

Jika sekolah diberikan kewenangan oleh ulil amri untuk menegakkan aturan tersebut, maka sekolah berhak melakukannya.

Apabila tidak ada aturan ulil amri yang mengatur takzir dengan harta di sekolah, maka sekolah boleh tetap menggunakan tazkir namun dengan tujuan tadib atau metode pendidikan. Sebab sekolah adalah salah satu yang mendapat wilayah syar’iyah tadib secara muthlak.

Untuk jenis takzir dengan harta yang digunakan adalah penyitaan, perampasan atau denda. Sebab ketiga kategori tersebut lebih mendatangkan maslahah dibanding pemusnahan.

[i] Peraturan ini diantaranya berlaku di Kabupaten Mandailing Natal. Sumber : salinan Peraturan Daerah Kab. Mandailing Natal Nomor 6 tahun 2010 Tentang Pemakaian HP Bagi Siswa/Siswi di Lingkungan Sekolah.

[ii] Lisaan al ‘arab

[iii] Taudhihul Ahkaam lil Bassam 314/6, al Mubdi’ Syarh al Muqni’ 108/9.

[iv] Majmu fatawa Ibnu Taimiyah (28/109), ath Thuruq al Hukmiyah Ibnul Qoyyim al Jauziyah (273), Tabshirotul Hukkaam Ibnu Farhun (2/298), Nailul Author Imam asy Syaukani (3/235).

[v] HR Abu Daud no 1575. Hadits ini dinilai hasan oleh Al Albani.

[vi] Ath Thuruq al Hukmiyah, Ibnul Qoyyim al Jauziyah, 269.

[vii] Al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Wahbah Zuhaili, (7/5594)

[viii] Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, 115.

[ix] Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, 114.

[x] HR Abu Daud nomor 3816.

[xi] Tafsir al Qurthubi Imam al Qurthubi (2/245)

[xii] https://binothaimeen.net/content/1102