Tripoli, MINA – Krisis kemanusiaan Libya memburuk, diperparah dengan penghentian operasi minyak, blokade pelabuhan, dan penyebaran COVID-19, kata Kepala Komite Internasional Palang Merah (ICRC) pada Kamis (20/8), MEMO melaporkan.
Presiden ICRC Peter Maurer menyuarakan harapannya meningkatnya kegiatan diplomatik, termasuk kunjungan Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas awal pekan ini, akan dapat memulai kembali proses perdamaian di negara Afrika Utara itu.
Maurer berbicara sepulangnya dari Libya yang terpecah. Dia mengadakan pembicaraan terpisah dengan Perdana Menteri Fayez Al-Sarraj, kepala pemerintah yang diakui secara internasional, dan Jenderal Khalifa Haftar yang pasukannya berbasis di timur.
ICRC menyediakan air bersih untuk ratusan ribu orang di kota timur Benghazi, mengevakuasi jenazah dari medan perang, serta mengirimkan obat-obatan dan peralatan pelindung ke fasilitas kesehatan di seluruh Libya.
Baca Juga: Wabah Kolera Landa Sudan Selatan, 60 Orang Tewas
“Kami telah melihat cadangan habis, pendapatan keluarga digunakan untuk bertahan hidup, tertekan oleh serangan di Tripoli, semakin tertekan oleh COVID, oleh pembatasan dan penghentian minyak,” kata Maurer kepada wartawan.
Pasukan yang setia kepada Haftar memulai blokade terminal dan ladang minyak pada 18 Januari, secara bertahap mengurangi produksi.
“Aset Bank Nasional, situasi minyak, gencatan senjata atau tidak di sekitar Sirte adalah masalah yang sangat politis yang perlu dinegosiasikan secara politik,” katanya merujuk pada kota strategis yang kaya minyak itu.
Libya telah terpecah sejak 2014 antara faksi-faksi yang berbasis di timur dan barat. Kekuatan regional telah menyesuaikan diri dengan pihak yang bersaing.
Baca Juga: Erdogan Umumkan ‘Rekonsiliasi Bersejarah’ antara Somalia dan Ethiopia
Turki dan sekutu regionalnya Qatar mendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional yang berbasis di Tripoli, sementara pasukan Haftar mendapat dukungan dari Uni Emirat Arab, Mesir, dan Rusia.
Maurer juga mengatakan, fihak Serraj dan Haftar meminta ICRC meningkatkan kunjungan ke pusat-pusat penahanan di Misrata, Tripoli, dan Benghazi, masing-masing kota yang menahan orang-orang yang terlibat dalam konflik tersebut. (T/RI-1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Afsel Jadi Negara Afrika Pertama Pimpin G20