Oleh: Ansaf Muarif Gunawan, Wartawan Kantor Berita MINA
Setelah berpuasa satu bulan selama Ramadhan, umat Islam akan berjumpa dengan Hari Kemenangan, Idul Fitri. Idul Fitri disebut Hari Raya Kemenangan, karena orang-orang beriman telah sukses mengendalikan hawa nafsu selama sebulan menunaikan ibadah puasa Ramadhan.
Tanggal 1 Syawal umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri yang juga disebut hari raya kemenangan, setelah orang-orang yang berpuasa menang mengendalikan hawa nafsu.
Selain sebagai hari kemenangan, juga pada Hari Raya Idul Fitri orang-orang yang telah berpuasa sebulan Ramadhan, terlahir kembali dengan fitrah kemanusiaan yang suci, bersih dari dosa, dan mendapat kekuatan baru. Kekuatan yang datang dari suplai gizi selama Ramadhan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dan tarbiyatun nafs (penguatan diri).
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Predikat pemenang menuntut kemampuan setelah Ramadhan, melalui tradisi-tradisi positif yang diperoleh selama bulan Ramadhan. Meskipun Ramadhan telah usai, kita harus senantiasa menjaga kuantitas dan kualitas ibadah kepada Allah, melanjutkan puasa sunnah, qiyamul lail, infak, sedekah, dan kepedulian sosial.
Idul Fitri bukan seperti turnamen yang kemenangannya harus dirayakan dengan euforia dan penuh kebanggaan. Kemenangan Idul Fitri adalah umat Islam berhasil meraih kematangan spiritual dan sosial setelah satu bulan penuh dididik di madrasah Ramadhan. Secara spiritual, selama Ramadhan umat Islam telah melakukan serangkaian ibadah. Mulai dari puasanya sendiri maupun ibadah-ibadah sunnah di dalamnya seperti shalat tarawih, tadarus Al-Qur’an, beri’tikaf di masjid dan lain-lain.
Ibadah Puasa sejatinya representasi dari sejumlah ibadah yang ada dalam ajaran Islam. Sebab, sebagaimana puasa, ibadah-ibadah lain juga memiliki semangat spiritual dan sosial yang harus kita raih kedua-duanya.
Shaleh secara individu dan shaleh secara sosial, mampu mengejar pencapaian spiritual, tapi mengabaikan aspek sosial hanya akan membuat manusia buta terhadap lingkungan sosial dan kemanusiaan. Demikian pula sebaliknya, terlalu sibuk dengan aspek sosial tetapi mengabaikan sisi ritualnya hanya akan membuat kita jauh dari Allah. Keseimbangan keshalehan individu dan keshalehan sosial sebagaimana digambarkan dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, ‘Sekalompok sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, ada seorang perempuan ahli puasa dan ahli ibadah malam, tapi dia masih suka menyakiti tetangganya. Bagaimana pendapatmu?’ Rasul menjawab, ‘Dia akan masuk neraka.’ Mereka bertanya lagi, ‘Ada pula seorang perempuan yang hanya menunaikan shalat lima waktu, bersedekah dengan sepotong keju, dan tidak menyakiti tetangganya. Bagaimana pendapatmu?’ Rasul menjawab, ‘Dia akan masuk surga.’” (HR Al-Hakim).
Momen kemenangan dan kefitrahan yang diraih karena sukses beribadah puasa, sukses mengendalikan hawa nafsu, patut dimanifestasikan dalam makna yang sebenarnya, meraih sukses ibadah puasa, mencapai spiritual ilahiyah, sekaligus membumikan hakekat hidup kemanusiaan.
Pasca Ramadhan tetap istiqamah menjalankan perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan meninggalkan larangan-Nya, pada saat yang sama membumikan nilai kasih sayang dan kepedulian sosial.
Selanjutnya, pada malam hari akhir Ramadhan, umat Islam menunaikan zakat fitrah, agar ibadah puasa sempurna. Hakikat zakat fitrah adalah peduli kemanusiaan, cinta dan kasih sayang sesama manusia. Agar di hari Idul Fitri semua umat Islam merasakan kebahagian bersama, tanpa ada kesedihan bagi yang kurang beruntung.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Ibadah puasa tidak cukup menjadikan seseorang sebagai hamba terbaik di hadapan Allah, kecuali disempurnakan dengan zakat fitrah. Rajin shalat ternyata tidak cukup baik di hadapan Allah, jika masih ada permusuhan dan cacian diantara sesama.
Hari yang fitri dan hari kemenangan adalah hari di mana umat Islam menang secara spiritual, sukses menjadi hamba, sekaligus kemenangan sosial sukses membumikan kepedulian dan kepekaan sesama manusia, giat berbagi dan merasakan kepedihan sesama.
Hukum shalat Idul Fitri adalah sunah muakkadah, artinya sangat dianjurkan untuk semua umat Islam, kecuali yang berhalangan. Bahkan, sebagian ulama berpendapat bahwa hukum salat Idul Fitri adalah fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Nabi disebutkan rutin melaksanakan salat Idul Fitri di setiap tahunnya dan dianjurkan untuk dilaksanakan secara berjamaah. Waktu salat Idul Fitri dimulai sejak terbitnya matahari sampai masuk waktu zuhur (tergelincirnya matahari).
Sementara itu, ada anjuran bahwa hendaklah seluruh umat Islam, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak, bahkan perempuan yang sedang haidh, mendatangi tempat salat di tanah lapang. Hanya saja, perempuan yang sedang haidh hendaknya memisahkan diri dari tempat salat dan tidak turut melakukan salat.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Berdasarkan hadis riwayat Ummu ‘Athiyyah: “Dari Umi athiyah berkata: Kami diperintahkan mengajak orang yang sedang haid dan orang-orang tua menghadiri dua salat id. Lalu mereka menyaksikan jamaah umat Islam dan ajakan mereka. Sedangkan orang yang haid dipisahkan dari tempat salat. Seorang wanita bertanya: Wahai Rasulullah, salah satu kami tidak punya jilbab? Nabi menjawab: Hendaklah temannya memberikan jilbab untuknya.” (HR. Bukhari).
Amalan Sunah Salat Idul Fitri
Berikut ini adalah amalan sunah yang bisa kamu lakukan sebelum atau sesudah salat Idul Fitri agar ibadahmu semakin afdal.
- Mandi dan Menyucikan Diri
Sebelum melaksanakan salat Idul Fitri, kita dianjurkan untuk mandi dan menyucikan diri atau berwudhu sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Hal ini diriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas RA yang berbunyi:
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الأَضْحَى.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Ibnu Hibban)
- Memakai Pakaian Terbaik dan Wewangian
Sebelum melaksanakan shalat Id, dianjurkan untuk memakai pakaian terbaik dan menghias diri atau berdandan. Selain itu, dianjurkan juga untuk memakai wewangian.
Hal ini merupakan salah satu ajaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim bahwa “Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam biasa keluar ketika salat Idul Fitri dan Idul Adha dengan pakaiannya yang terbaik”.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda:
إنَّمَا هُوَ لِتَعْظِيمِ تِلْكَ الْأَوْقَاتِ لَا لِتَحْسِينِ مَنْظَرِ النَّاسِ، أَوْ لِتَعْظِيمِ الْمَلَائِكَةِ الْحَاضِرِينَ فِي تِلْكَ الْأَوْقَاتِ.
“Anjuran memakai baju bagus pada hari Jumat dan hari raya niscaya untuk mengagungkan waktu-waktu tersebut, bukan agar telihat baik dalam pandangan manusia; atau untuk mengagungkan malaikat yang hadir (di sekeliling manusia) pada waktu-waktu tersebut.”
- Makan Sebelum Melaksanakan Shalat Idul Fitri
Berbeda dengan shalat Idul Adha, sebelum melaksanakan shalat Idul Fitri dianjurkan untuk makan terlebih dahulu. Hal ini dianjurkan karena pada hari Raya Idul Fitri umat Islam tidak lagi melaksanakan ibadah puasa seperti saat bulan Ramadhan.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam biasa berangkat shalat Ied pada hari Idul Fitri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari Shalat Ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.”
- Mengumandangkan Takbir
Mengumandang takbir atau takbiran pada hari raya Idul Fitri adalah sesuatu yang disyariatkan oleh agama. Ada dua pendapat dari ulama mengenai waktu dimulainya takbiran, yaitu dimulai sejak malam setelah magrib satu hari sebelum salat Idul fitri dan saat pagi hari ketika menuju salat Idul fitri.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Berbeda halnya dengan Idul adha, kumandang takbir juga digemakan saat hari tasrik hingga 13 Dzulhijah. Pada Idulfitri, tidak ada lagi takbir setelah salat selesai dilakukan.
lafaz takbir Idul Fitri yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah sebagai berikut.
Lafaz takbir Idul Fitri seperti disandarkan kepada Ibn Mas’ud, ‘Umar ibn al-Khattab, dan ‘Ali ibn Abi Thalib, di antaranya adalah sebagai berikut:
اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ اْلحَمْدُ.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tiada Tuhan melainkan Allah dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, dan bagi Allah-lah segala puji”.
Lafadz lain:
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَه صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَه لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ أَكْبَرُ
“Allah Mahabesar dengan kebesaran yang sempurna dan segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak. Mahasuci Allah pagi dan petang. Tiada tuhan selain Allah dan kami tidak menyembah kecuali kepada-Nya seraya memurnikan agama-Nya meskipun orang-orang kafir membenci. Tiada Tuhan selain Allah yang Maha Esa, menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan mengalahkan musuh-musuhNya dengan Keesaan-Nya. Tiada Tuhan selain Allah dan Allah Mahabesar.”
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
- Mengambil Jalan yang Berbeda Saat Pergi dan Pulang
Saat pergi menuju tempat salat Idul Fitri atau pulang dari tempat salat Idul Fitri, kita dianjurkan untuk melewati jalan yang berbeda. Hal ini dimaksudkan agar saat pergi atau pulang kita bertemu dengan lebih banyak orang untuk bersilaturahmi. Selain itu, kita dianjurkan untuk berjalan kaki menuju tempat salat Idul Fitri.
Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Jabir melalui hadits yang berbunyi:
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika shalat ‘ied, beliau lewat jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.” (HR. Bukhari, no. 986)
- Berjalan Kaki
Rasullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki”. (HR. Ibnu Umar)
- Saling Mengucapkan Selamat dengan Salam dan Doa
Termasuk sunah yang baik yang bisa dilakukan pada hari Idul Fitri adalah saling mengucapkan selamat. Selamat di sini baiknya dalam bentuk doa seperti dengan ucapan “Taqabbalallahu minna wa minkum” (semoga Allah menerima amalan kami dan kalian). Ucapan seperti itu sudah dikenal pada masa salaf dahulu.
فعن جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك
Dari Jubair bin Nufair, dia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah Saw berjumpa dengan hari ‘ied (Idul Fitri atau Idul Adha), satu sama lain saling mengucapkan, “Taqabbalallahu minna wa minka (Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian)”. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa sanad hadis ini hasan (Fath Al-Bari, 2: 446).
Imam Ahmad rahimahullah berkata sebagai berikut.
وَلَا بَأْسَ أَنْ يَقُولَ الرَّجُل لِلرَّجُلِ يَوْمَ الْعِيدِ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك
“Tidak mengapa satu sama lain pada hari raya Idul Fitri mengucapkan: Taqobbalallahu minna wa minka” (Al-Mughni, 2: 250).
Namun, ucapan selamat pada hari raya sebenarnya tidak diberi aturan ketat di dalam syariat Islam. Ucapan apa pun yang diutarakan selama maknanya tidak keliru asalnya bisa dipakai. Misalnya ucapan lain pada hari raya Idul Fitri: ‘Ied mubarak, semoga menjadi ‘ied yang penuh berkah, Minal ‘aidin wal faizin, semoga kembali dan meraih kemenangan, Kullu ‘aam wa antum bi khair, semoga di sepanjang tahun terus berada dalam kebaikan, Selamat Idul Fitri 1437 H, dan lain-lain.
- Anjuran Wanita Haid Dan Anak-Anak Menghadiri Tempat Shalat Ied
Sementara itu, ada anjuran bahwa hendaklah seluruh umat Islam, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak, bahkan perempuan yang sedang haidh, mendatangi tempat shalat Ied di tanah lapang. Hanya saja, perempuan yang sedang haidh hendaknya memisahkan diri dari tempat salat dan tidak turut melakukan salat.
Berdasarkan hadis riwayat Ummu ‘Athiyyah: “Dari Umi athiyah berkata: Kami diperintahkan mengajak orang yang sedang haid dan orang-orang tua menghadiri dua salat id. Lalu mereka menyaksikan jamaah umat Islam dan ajakan mereka. Sedangkan orang yang haid dipisahkan dari tempat salat. Seorang wanita bertanya: Wahai Rasulullah, salah satu kami tidak punya jilbab? Nabi menjawab: Hendaklah temannya memberikan jilbab untuknya.” (HR. Bukhari).
Tata Cara Shalat Idul Fitri
- Shalat Idul Fitri terdiri dari dua rakaat.
- Shalat Idul Fitri dimulai dengan niat dan takbiratul ihram (ucapan “Allahu Akbar” di awal).
- Cara melakukan shalat Idul Fitri sama dengan melakukan shalat lainnya.
- Setelah takbiratul ihram membaca doa iftitah sebagaimana shalat lainnya.
- Setelah membaca doa iftitah, melakukan takbir tambahan (zawaid) sebanyak tujuh kali pada rakaat pertama (selain takbir untuk takbiratul ihram dan takbirotul Intiqol). Sedangkan pada rakaat kedua, melakukan takbir tambahan sebanyak lima kali (selain takbir bangkit dari sujud dan takbir turun rukuk).
Takbir tambahan (zawaid) ini hanya sunnah hay’at, sehingga kalau luput tidak mesti diulangi. Jika ada makmum yang masbuk saat takbir zawaid, cukup mengikuti sisa takbir yang ada tanpa qadha’ takbir.
Jika imam hanya bertakbir zawaid enam kali di rakaat pertama atau tiga kali di rakaat kedua, imam tetap boleh diikuti, makmum disunnahkan tidak menambah dari takbir yang kurang tadi.
- Setiap kali takbir zawaid ada yang mengangkat tangan setiap takbir dan ada yang cukup sekali. Setelah itu disunnahkan di antara dua takbir tambahan meletakkan tangan kanan di depan tangan kiri di bawah dada sebagaimana bersedekap setelah takbiratul ihram.
- Di antara takbir zawaid (tambahan), disunnahkan berhenti sejenak sekadar membaca satu ayat pertengahan. Saat itu bisa membaca takbir atau mengagungkan Allah.
- Setelah takbir, lalu membaca surah Al-Fatihah. Setelah surah Al-Fatihah dianjurkan membaca Al-A’laa pada rakaat pertama dan Al-Ghasyiyah pada rakaat kedua, atau bagi yang hafal surah Qaf pada rakaat pertama dan Al-Qamar pada rakaat kedua, atau sah juga surat lainnya di dalam Al-Quran.
- Bacaan Al-Fatihah dan surat, saat mengimami shalat Idul Fitri dikeraskan (jahar).
Wallahu a’lam bishshowab
(A/R8/RS2)
Mi’raj News Agency (MINA)