Oleh: Imam Shamsi Ali, Imam di kota New York dan Presiden Nusantara Foundation*
Sekali lagi sebuah peristiwa menyedihkan terjadi justeru di saat seharusnya umat ini bergembira. Di saat seharusnya umat ini merayakan hari besar, hari kesyukuran atas selesainya menunaikan perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala berpuasa sebulan penuh. Di saat saudara-saudara seiman sedang melaksanakan Shalat Idul Fitri, sekompok warga Kristiani setempat melakukan penyerangan, membakar masjid dan beberapa toko milik warga Muslim setempat.
Peristiwa itu didahului oleh penyebaran sepucuk surat yang ditandantangani oleh dia pendeta, pemimpin umat Kristiani, di daerah tersebut. Intinya melarang perayaan agama lain di daerah itu.
Bagi saya pribadi, dan saya tentunya yakin, peristiwa ini merupakan “musibah” besar, tidak saja untuk umat Islam. Tapi juga bagi bangsa dan negara Indonesia yang selama ini selalu membanggakan kerukunan dan toleransinya.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Tentu yang paling penting ini adalah tamparan keras kepada pemerintah, khususnya pihak pengamanan.
Tentu secara khusus ini adalah peristiwa memalukan terhadap saudara-saudara Kristiani, khususnya mereka yang hidup dalam bumi Indonesia. Sebagaimana kami sering merasakan hal sama, setiap kali ada kekerasan, pembunuhan dan pengrusakan yang dilakukan oleh mereka yang mengaku mewakili Islam, saya sangat yakin hal sama juga dirasakan oleh teman-teman Kristiani, khususnya mereka yang memegang posisi kepemimpinan.
Ajaran dasar Yesus (‘Alaihissalam) adalah cinta kasih. Dan ini pula yang selama ini didengunkan oleh saudara-saudara umat Kristiani di mana-mana. Bahwa cintailah Tuhanmu dengan segala daya dan hatimu dan cintailah tetanggamu adalah fondasi ajaran mereka yang mengaku mengikut nabi Isa ‘Alaihissalam.
Di dunia Barat yang “secara salah” biasa diidentifikasi sebagai kelompok yang mewakili umat Kristiani, slogan HAM dan toleransi menjadi menu utama dan sekaligus senjata ampuh untuk menekan negara-negara yang tidak menghormati hak-hak non Muslim.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Dan yang paling sering menjadi target kritikan adalah dunia Islam, yang memang di beberapa negara diakui ada benarnya.
Maka peristiwa yang menimpa saudara-saudara Muslim kita di Papua itu merupakan tamparan keras bagi umat Kristiani umumnya, dan pejuang HAM dan toleransi di dunia barat khususnya.
Tentu pertanyaan yang selama ini ditujukan kepada kami, sekarang berbalik ditujukan kepada saudara-saudara kita umat Kristiani. Dan yang terpenting, kepada so called “human rights and religious freedom champions” apa yang Anda akan lakukan?
Pertanyaan yang tidak kalah krusialnya adalah bagaimana umat ini seharusnya menyikapi? Sebagai mayoritas di negara Muslim terbesar apakah perlu dibesar-besarkan dan dibumbui bahkan dipanas-panasi?
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Saya melihat beberapa statemen dari kalangan tokoh Islam dengan judul; peristiwa berdarah di Papua. Apakah judul ini bijak dan dapat menyelesaikan masalah justeru akan memperumit dan menambah masalah?
Islam dalam menyikapi setiap permasalahan selalu berorientasi “solutif” (penyelesian). Bahkan dalam beberapa kasus, walaupun itu nampak tidak harus menguntungkan umat, tapi dapat menghindari musibah yang lebih besar, Islam akan memilihnya. Hal itu nampak dalam berbagai perundingan yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, termasuk perundingan Hudaibiyah misalnya.
Untuk itu saya menghimbau kepada umat, khususnya mereka yang memegang kepemimpinan agar memperhatikan beberapa hal berikut:
- Peristiwa Papua adalah peristiwa yang menyedihkan dan disesalkan. Tapi yakin yang paling merugi adalah saudara-saudara Kristiani yang agamanya ternodai.
- Kita hidup dalam sebuah negara berdaulat dengan pemerintahan yang sah. Untuk itu hendaknya jangan sekali-sekali mengambil alih hukum dengan bermain hakim sendiri. Percayakanlah kepada pemerintah yang sah untuk menyelesaikannya secara adil dan tuntas berdasarkan hukum yang ada.
- Sebagai minoritas di negara mayoritas non Muslim saya merasakan sakitnya apa yang disebut “jeneralisasi” itu. Bahwa tindakan oknum atau kelompok yang mengaku Islam, apalagi atas nama Islam, seringkali seolah kami dan semua Muslim dunia bertanggung jawab. Saya yakin teman-teman Kristiani juga meraskan hal yang sama. Untuk itu mari menahan diri untuk melihat peristiwa ini sebagai Kristen lawan Islam. Tapi sebuah kasus yang boleh jadi punya latar belakang dan konteksnya tersendiri.
- Cara terbaik untuk menyelesaikan atau minimal mengurangi peristiwa seperti ini adalah dengan mengintensifkan dialog untuk membangun “kesepahaman” dan kerjasama antar umat dalam hal-hal yang menjadi kepentingan bersama (common interests).
- Jika kita kembali kepada dasar-dasar agama Islam, didapati bahwa mengedepankan hati nurani dan pemikiran rasional sangat diperlukan dalam menghadapi setiap masalah. Hari nurani dan akal sehat akan melahirkan sikap sabar dan bijak. Dan dalam suasana seperti ini, khususnya di penghujung bulan Ramadhan ini, kesabaran dan sikap bijak umat kembali teruji.
Semoga Allah selalu melindungi dan memberikan balasan yang terbaik kepada kita semua.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Taqaballallahu minna wa minkum. Minal aaidin wal faizin!
New York, 17 Juli 2015
(R05/R03)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
** Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation & Direktur Jamaica Muslim Center, Queens-NYC, sebuah yayasan dan masjid di kawasan timurKota New York, Amerika Serikat yang dikelola komunitas muslim asal Asia Selatan. Beliau juga aktif dalam kegiatan dakwah Islam dan komunikasi antar-agama di Amerika Serikat terutama di kawasan pantai timur Amerika.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?