Oleh: Dr Tgk H Idris Mahmudy, SH, MH, Anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Aceh.
Sikap ihsan atau berbuat baik dalam segala hal kehidupan sehari-hari adalah suatu keharusan bagi setiap Muslim, tidak hanya dalam amar makruf untuk taat pada perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tapi juga dalam nahi mungkar untuk mencegah perbuatan maksiat dan dosa.
Islam untuk prinsip-prinsip ketaatan, iman untuk pilar tauhid dan ihsan sebagai kualitas dari keduanya. Islam tanpa ihsan adalah kering, iman tanpa ihsan juga gersang, demikian juga ihsan tanpa keduanya adalah kosong. Sehingga sebagian ulama menempatkan ihsan sebagai intisari tasawuf Islam.
Perilaku Ihsan seorang Muslim ini begitu penting, dan jangan pernah menyepelekannya. Sehingga dalam Al-Quran Allah menyebutkan kata-kata Ihsan ini hingga194 kali. Aktualisasi Islam dengan Ihsan, dan merubah segala sesuatu seperti mengajak orang berbuat taat dan mencegah kemaksiatan juga harus dengan ihsan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-16] Jangan Marah
Derajat ihsan merupakan tingkatan tertinggi keislaman seorang hamba Allah. Tidak semua orang bisa meraih derajat yang mulia ini. Hanya hamba-hamba Allah yang khusus saja yang bisa mencapai derajat mulia ini. Karena itu, merupakan keutamaan tersendiri bagi hamba yang mampu meraihnya.
Tingkatan agama yang paling tinggi adalah Ihsan, kemudian Iman, dan paling rendah adalah Islam. Kaum muhsinin (orang-orang yang memiliki sifat Ihsan) merupakan hamba pilihan dari hamba-hamba Allah yang saleh. Sebagian ulama menjelaskan jika Ihsan sudah terwujud berarti Iman dan Islam juga sudah terwujud pada diri seorang hamba. Jadi, setiap muhsin pasti mukmin dan setiap mukmin pasti muslim. Namun tidak berlaku sebaliknya. Tidak setiap muslim itu mukmin dan tidak setiap mukmin itu mencapai derajat muhsin.
Dalam Al-Quran Surat Al-Isra’ ayat 7 juga dijelaskan tentang keutamaan sikap Ihsan ini:
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا ۚ فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الْآخِرَةِ لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا
Baca Juga: Bahaya Zina dan Sebab Pengantarnya
Artinya: “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.”
Sementara itu dalam kaitan penerapan syariat Islam di Aceh juga harus dilakukan dengan cara-cara yang Ihsan, baik itu dalam mengajak umat Islam agar beribadah dan taat pada Allah ataupun ketika mencegah kemaksiatan.
Ketika ada orang atau teman di sekitar kita yang kita lihat tidak mengerjakan shalat, jangan benci mereka tapi ajak dengan cara-cara baik yang tidak menyakiti perasaannya. Atau juga misalnya ketika suara azan terdengar, tapi kita lihat masih banyak yang duduk tenang saja di warung-warung kopi, ajak mereka agar ke masjid juga dengan cara-cara baik yang membuat tersentuh sehingga mau ikut ke masjid.
Begitu juga halnya ketika kita melihat ada masyarakat kita yang larut dalam kemaksiatan seperti mabuk atau berjudi, jangan benci mereka, tapi cari cara agar bagaimana mengajak dan mengajarkan agama dengan cara terbaik, sehingga kemaksiatan seperti itu agar ditinggalkan dengan kemauannya sendiri.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-15] Berkata yang Baik, Memuliakan Tamu, dan Tetangga
Dalam penerapan syariat Islam di Aceh tidak boleh membiarkan terjadi suatu kemaksiatan berlangsung atau pelanggaran qanun, lalu digerebek dan ditangkap ramai-ramai oleh masyarakat.
Sebelum terjadi kemaksiatan itu seperti kasus khalwat misalnya, itu harus dicegah sebelum terjadi dengan meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat kampung. Jangan sampai sudah berulang kali perbuatan maksiat terjadi, lalu diintai dan digerebek dengan cara-cara paksa.
Dulu Umar bin Khattab juga pernah melakukan penggerebekan untuk menangkap orang yang mabuk setelah mendobrak pintu rumah secara paksa.
Lalu orang yang ditangkap itu protes dan menyatakan Umar bin Khattab telah melakukan tiga dosa yaitu masuk rumah orang tidak mengucapkan salam, lalu mendobrak pintu rumah secara paksa, dan juga dosa mengintip memata-matai pelaku maksiat. Sementara orang yang mabuk hanya berbuat satu dosa yaitu minum khamar.
Baca Juga: Masih Adakah yang Membela Kejahatan Netanyahu?
Ini perlu menjadi perhatian kita, jangan selalu mencegah maksiat itu apakah mesum, judi, khamar, dengan cara menggerebek ketika sudah terjadi. Tapi kita harus mencegahnya sebelum terjadi dengan tidak memberikan peluang dan celah untuk pelaku melakukan dosa. Ini yang lebih utama karena sikap Ihsan adalah menutup rapat peluang untuk bermaksiat kepada Allah, jangan memberi peluang lalu menggerebek dan menangkap pelaku. (R01/P1)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
*Penulis adalah alumnus Dayah Babussalam Blang Blahdeh, mantan Ketua Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Barat, dan Mantan Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh.
Baca Juga: Catatan 47 Tahun Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina
**Kajian ini disampaikan pada pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak Jeulingke, Rabu (19/7/2017) malam.