Jakarta, MINA – Indonesia Institute For Social Development (IISD) mendorong penuh kebijakan melarang total iklan, promosi, dan sponsor rokok, khususnya di lembaga pendidikan, guna melindungi dan mengerem prevalensi anak dan remaja perokok yang terus meningkat.
Hal tersebut mengemuka dalam Diskusi Kelompok Terarah (FGD) IISD dengan tema “Pentingnya Pelarangan Total Iklan, Promosi dan Sponsor (IPS) Rokok di Perguruan Tinggi untuk mewujudkan Target Penurunan Prevalensi Perokok Pemula dalam RPJMN 2020-2024,” yang digelar secara luring di Jakarta dan melalui daring, Jumat (19/3).
“Kami mendorong agar segala bentuk iklan, promosi dan sponsor rokok dilarang secara tegas karena mempengaruhi anak-anak kita,” tegas Penasehat IISD Dr Sudibyo Markus.
IISD juga mendukung komitmen Presiden untuk menurunkan prevalensi perokok pemula dengan berbagai kebijakan dan upaya, yang semestinya juga didukung semua pihak, termasuk pemerintah daerah.
Baca Juga: Prof. El-Awaisi Serukan Akademisi Indonesia Susun Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa
IISD mengimbau lembaga pendidikan utamanya perguruan tinggi harus berani menolak berbagai bentuk kerjasama dengan perusahaan rokok atau yang terkait dengannya.
“Untuk itu, perlu proaktif pada lembaga pendidikan hingga perguruan tinggi untuk mempelopori dan menciptakan gerakan mengendalikan konsumsi rokok ini,” kata Artati Haris, Program Manager IISD.
Menurutnya, Indonesia masih belum berpihak pada perlindungan generasi muda dari paparan iklan rokok.
Wakil Ketua Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr H Edy Suandi Hamid, MEc, sebagai pembicara menyampaikan, lembaga pendidikan khususnya pada perguruan tinggi harus berani menghentikan segala bentuk kerja sama dengan perusahaan rokok yang berbau promotif.
Baca Juga: Syeikh Palestina: Membuat Zionis Malu Adalah Cara Efektif Mengalahkan Mereka
“Ini mengingat dampak kesehatan yang diakibatkan, dan tidak sejalan dengan peran serta tujuan perguruan tinggi sebagai agent of change,” kata Edy.
Menurut Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta itu, perguruan tinggi yang berpengaruh seharusnya juga berani menjadi pelopor Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan menolak bantuan apapun dari industri rokok dan unit turunannya.
“Usaha ini tidak bisa dilakukan sekaligus, namun sikap tegas harus dimiliki pengelola kampus, dan ada keberanian untuk mengarah pada pelarangan total mengingat bahaya besar yang sudah merugikan bangsa ini,” ujar Edy.
Dia mengatakan, usaha bagi perguruan tinggi untuk menjadikan kampus bebas rokok sudah relatif mudah karena banyaknya regulasi yang melarang rokok di tempat penddikan.
“Saat ini beberapa kampus sudah membebaskan dirinya dari rokok, dalam artian menciptakan penuh KTR. Ada juga yang secara bertahap membatasi ruang gerak perokok di lingkungan kampus, yang melarang merokok pada gedung-gedung atau sebagian besar ruangannya. Namun sebagian besar masih belum melakukan itu,” pungkasnya.
Jumlah perokok pemula di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas), jumlah perokok anak usia 10-18 tahun terus meningkat dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% atau sekitar 3,2 juta (Riskesdas 2018). Padahal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 menargetkan perokok anak harusnya turun menjadi 5,4% pada 2019.
Jumlah Perokok Pemula di Indonesia meningkat sebesar 240% pada rentang usia 10-14 tahun dan 140% pada rentang usia 15-19 tahun.
Kenaikan prevalensi perokok pemula salah satunya didorong faktor iklan, promosi dan sponsor rokok yang sangat massif menyasar anak dan remaja sebagai target pemasaran.
Baca Juga: Imaam Yakhsyallah Mansur: Ilmu Senjata Terkuat Bebaskan Al-Aqsa
Industri rokok gencar beriklan, berpromosi dan mensponsori segala bentuk kegiatan yang disukai anak muda sehingga rokok terlihat normal dan aman. Akses rokok juga sangat mudah karena harganya murah, dijual perbatang dan dapat dibeli di mana-mana.(L/R1/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Kunjungi Rasil, Radio Nurul Iman Yaman Bahas Pengelolaan Radio