Jakarta, MINA – Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) memperingatkan bahwa Indonesia sedang menghadapi krisis literasi yang serius, meskipun tingkat melek huruf nasional tergolong tinggi. Krisis tersebut dipicu oleh rendahnya kebiasaan membaca, keterbatasan akses buku, serta maraknya pembajakan.
Peringatan itu disampaikan dalam diskusi publik bertajuk “Buku Terbuka, Pikiran Tertutup: Apakah Bangsa Ini Takut Berpengetahuan?” yang digelar di Jakarta, Selasa (21/5), dalam rangka HUT ke-75 Ikapi dan Hari Buku Nasional.
Kegiatan tersebut juga menjadi bagian awal menuju penyelenggaraan Indonesia International Book Fair (IIBF) 2025.
Ketua Umum Ikapi, Arys Hilman Nugraha, mengatakan bahwa Indonesia bukan kekurangan kemampuan baca, tetapi kekurangan kemauan untuk membaca.
Baca Juga: Kepala Perpusnas Soroti Tanggung Jawab Kolektif Literasi Bangsa
“Reading society belum pernah terbentuk. Kita adalah bangsa yang bisa membaca, tapi tidak membaca,” ujarnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan 96,5 persen penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas sudah melek huruf. Namun, sebagian besar masyarakat hanya mampu memahami kalimat pendek dan sederhana.
Menurut Arys, kondisi tersebut mencerminkan fenomena aliterasi, yaitu kemampuan membaca tanpa disertai kebiasaan membaca yang konsisten.
“Anak-anak berebut buku kalau dibagikan. Artinya minat ada, tapi akses terbatas dan tidak dibudayakan secara sistemik,” tambahnya.
Baca Juga: Prabowo: Indonesia Berpotensi Jadi Penyuplai Energi Dunia
Pembajakan dan Akses Buku Jadi Masalah Utama
Ikapi juga menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap pembajakan buku. Para penulis dan penerbit disebut sering kali berjuang sendiri menghadapi distribusi ilegal, baik cetak maupun digital.
“Delik aduan membuat penegakan hukum terhadap pembajakan tidak efektif. Ini merugikan secara ekonomi dan moral,” ujar Arys.
Ia juga mengkritik Undang-Undang No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan yang dianggap bias terhadap sektor hulu, seperti penerbit dan penulis.
Dalam forum tersebut, Arys menyambut baik ketertarikan Presiden Prabowo Subianto pada buku, namun mengingatkan bahwa hal itu harus diiringi kebijakan nyata.
Baca Juga: Dampak Erupsi Lewotobi, Tantangan Belajar dan Kesehatan Warga
“Kecintaan Presiden terhadap buku harus diikuti dengan keberpihakan terhadap industri perbukuan nasional. Jangan biarkan toko buku sepi dan penulis gelisah karena royalti rendah,” katanya.
Selain Arys, diskusi menghadirkan narasumber lain seperti Supriyatno (Kepala Pusat Perbukuan Kemendikbudristek), penulis Maman Suherman, serta penulis muda J.S. Khairen, dengan moderator Nathalie Indry dari tim IIBF 2025.
Dalam momentum HUT ke-75, Ikapi menyerukan agar pemerintah membuka diri terhadap pembenahan menyeluruh sistem perbukuan nasional. Salah satu yang disoroti adalah penolakan terhadap praktik pengadaan buku desa dari APBN yang tidak melibatkan penerbit nasional.
“Buku sudah terbuka, kini saatnya pikiran juga ikut terbuka,” tutup Arys.
Baca Juga: BMKG: Gelombang Tinggi Ancam Pesisir Jawa Tengah
Didirikan pada 17 Mei 1950, Ikapi merupakan asosiasi penerbit tertua di Indonesia, saat ini beranggotakan lebih dari 2.700 penerbit di 34 provinsi. Ikapi juga aktif dalam promosi internasional hak cipta buku Indonesia, termasuk dalam perhelatan Frankfurt Book Fair dan IIBF.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: DD Perkuat Distribusi Qurban Lewat Sentral Ternak Lampung