Allah-300x176.jpg" alt="taat kpd Allah" width="300" height="176" />Oleh Etha Rachmah, Mahasiswi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan Lampung
Sering kali kita berselisih paham tentang suatu pendapat bahkan suatu berita, dan tidak jarang karena selisih paham itu timbullah permusuhan, dari permusuhan maka akan timbul juga suatu hasutan pada orang lain, dan biasanya dari hasutan itu maka akan timbul kelompok baru. Jika sudah timbul kelompok baru itulah yang dikhawatirkan, yaitu perpecahan!
Awal mula hanya berselisih paham, perbedaan pendapat dalam suatu hal, namun itu bisa menyebabkan suatu kelompok baru dan akhirnya terjadilah perpecahan.
Saat ini banyak sekali perbedaan tentang suatu paham. Ada seseorang yang berkata “mengikuti Wali Songo adalah sebuah kesalamatan.” Benarkah begitu? Siapa yang berani menjamin bahwa mengikuti Wali Songo adalah sebuah keselamatan ?
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Apakah tidak keliru orang yang berkata seperti itu ? Wali Songo adalah manusia biasa yang bisa benar juga bisa keliru, berbeda dengan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
Imam Malik bin Anas rahimahullah berakata, “Setiap manusia, siapa pun dia bisa diterima dan bisa ditolak ucapannya, kecuali penghuni kuburan ini, yaitu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.”
Lalu, apakah dengan perkataan Imam Malik itu masih bisa dikatakan bahwa mengikuti Wali Songo adalah sebuah keselamatan? Sedangkan Imam Malik saja berkata seperti itu, perkataan seseorang bisa diterima dan ditolak kecuali penghuni kuburan ini, yaitu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
Utamakan Ucapan Rasulullah
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata: “Tidak halal bagi seseorang mengambil perkataan kami selama ia belum mengetahui dari mana kami mengambilnya.”
Imam Abu Hanifah juga berkata, “Apabila suatu hadits itu shahih, maka itulah madzhabku.”
Imam Malik rahimahullah berkata, “Sesungguhnya aku hanya manusia, terkadang aku benar dan terkadang salah. Maka lihatlah pendapatku, setiap pendapatku yang sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadits maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadits maka tinggalkanlah.”
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Setiap orang pasti terlewat atau luput darinya salah satu Sunnah Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam. Apa pun pendapat yang aku katakan atau prinsip yang aku tetapkan, kemudian ada hadist dari Rasulullah yang ternyata bertentangan dari pendapatku, maka apa yang disabdakan Rasulullah itulah yang diambil. Dan itulah yang menjadi pendapatku.”
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Beliau rahimahullaahu juga berkata, “Setiap yang aku ucapkan, namun ada hadits Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam yang shahih menyelisihi pendapatku, maka hadits Nabi Sallallaahu ‘Alaihi Wasallam itulah yang lebih patut diikuti. Maka janganlah kalian taklid kepadaku.”
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaahu berkata, “Kalian tidak boleh taklid kepadaku, tidak boleh juga taklid kepada Malik, Syafi’i, al-Auza’i, dan ats-Tsauri, tetapi ambillah darimana mereka mengambil.”
Lalu darimana statment mengikuti wali songo adalah sebuah keselamatan?
Allah Subhanahu Wa Ta’ala sangat mencela perkataan di atas dengan firman-Nya :
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
ٱتَّبِعُواْ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكُم مِّن رَّبِّكُمۡ وَلَا تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَۗ قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ ٣
Artinya: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kalian mengambil pelajaran.” (Qs. Al-A’raaf [7] : 3)
Bahkan Allah Azza wa Jalla mengancam bagi siapa saja yang menyelisihi atau menyalahi sunnah atau ajaran Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dengan adzab yang pedih!
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
لَّا تَجۡعَلُواْ دُعَآءَ ٱلرَّسُولِ بَيۡنَكُمۡ كَدُعَآءِ بَعۡضِكُم بَعۡضٗاۚ قَدۡ يَعۡلَمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنكُمۡ لِوَاذٗاۚ فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٦٣
Artinya: “Maka hendaklah (berhati-hati) orang-orang yang menyalahi perintah Rasulullah Sallallaahu ‘Alaihi Wasallam, takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (Qs. An-Nuur [24] : 63)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullaahu ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata, “Menyalahi perintah Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam, yaitu menyalahi jalan hidup beliau, menyalahi manhaj (cara beragama), Sunnah, dan syari’at beliau. Maka seluruh perkataan dan seluruh amal, harus ditimbang dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam.
Apa yang sesuai dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah Sallallaahu ‘Alaihi Wasallam maka akan diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan apa yang tidak sesuai dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam maka akan ditolak oleh Allah Ta’ala. Siapa pun yang melakukan perkataan dan perbuatan itu serta apapun perkataan dan perbuatan itu.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Meskipun ia seorang ulama, atau seorang yang alim, jika perkataan dan perbuatannya menyelisihi perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam, maka ia wajib ditolak dengan dasar hadits, bahwasanya Rasulullah Sallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, (yang artinya): “Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hendaknya berhati-hati orang yang menyelisihi syari’at Rasulullah Sallallaahu ‘Alaihi Wasallam secara lahir dan batin, mereka akan ditimpa fitnah di dalam hatinya berupa kekufuran, kemunafikan, dan bid’ah atau ditimpa dengan fitnah di dunia dengan dibunuh, diberi hukuman hadd, dipenjara atau yang lainnya.”
Karena itu, harusnya yang ia katakan adalah : “Mengikuti Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam adalah sebuah keselamatan.”
Allah Ta’ala berfirman :
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ عَلَيۡهِمۡ حَفِيظٗا ٨٠
Artinya: “Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (Qs. An-Nisaa’ [4] : 80)
قُلۡ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَۖ فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَإِنَّمَا عَلَيۡهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيۡكُم مَّا حُمِّلۡتُمۡۖ وَإِن تُطِيعُوهُ تَهۡتَدُواْۚ وَمَا عَلَى ٱلرَّسُولِ إِلَّا ٱلۡبَلَٰغُ ٱلۡمُبِينُ ٥٤
Artinya: “Dan jika kamu taat kepadanya, (Rasulullah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam) niscaya kamu mendapat petunjuk.” (Qs. An-Nuur [24] : 54)
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Begitulah keterangan-keterangan terkait perkataan, tidak semua perkataan Ulama itu benar, terlebih kita yang hanya manusia biasa. Perkataan yang benar hanyalah peerkataan Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam. Oleh karenanya apabila tentang suatu paham ajaran Islam, begitupun paham lainnya, kita harus lebih teliti lagi dalam menerimanya. Karena, apabila tidak teliti atau tidak hati-hati tidak menutup kemungkinan akan terjadi perpecahan.
Imam Abu Hanifah saja berkata “Tidak halal bagi seseorang mengambil perkataan kami selama ia belum mengetahui dari mana kami mengambilnya”, lalu bagaimana kita bisa percaya begitu saja bahwa apa yang dikatakan oleh ulama adalah 100% benar?
Dari tulisan di atas, kita bisa mengambil pelajaran, bahwasanya kita harus lebih teliti dalam menerima suatu perkataan ataupun kabar. Karena para ulama pun tak luput dari salah, terlebih kita (khususnya penulis) adalah manusia biasa yang dhoif dan tak luput dari salah.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membaca dan yang menyampaikan. Aamiin. (eth/R02)
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)