Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA
Di tahun perang Khaibarlah ia datang kepada Rasulullah SAW untuk baiat. Semenjak ia menaruh tangan kanannya di tangan kanan Rasul (berbaiat), maka tangan kanannya itu mendapat penghormatan besar, hingga bersumpahlah ia pada dirinya tidak akan menggunakannya kecuali untuk perbuatan utama dan mulia.
Ini pertanda merupakan suatu bukti jelas bahwa pemiliknya mempunyai perasaan yang amat halus. Namanya Imran bin Hushain radhiyallahu anhu. Ia merupakan gambaran yang tepat bagi kejujuran, sifat zuhud dan keshalehan serta mati-matian dalam mencintai Allah dan menati-Nya. Walaupun ia mendapat taufik dan petunjuk Allah yang tidak terkira, tetapi ia sering menangis mencucurkan air mata. Ia selalu meratap, “Wahai, kenapa aku tidak menjadi debu yang diterbangkan angin saja!”
Orang-orang itu takut kepada Allah bukan karena banyak melakukan dosa, bukan. Setelah menganut Islam, boleh dikata sedikit sekali dosa mereka. Mereka takut dan cemas karena menilai keagungan dan kebesaran-Nya, bagaimanapun mereka beribadat rukuk dan sujud, tetapi ibadahnya, dan syukurnya itu belumlah memadai nikmat yang mereka telah terima.
Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat
Pernah suatu saat beberapa orang shahabat menanyakan pada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, kenapa kami ini? Bila kami sedang berada di sisimu, hati kami menjadi lunak hingga tidak menginginkan dunia lagi dan seolah-olah akhirat itu kami lihat dengan mata kepala?
Tetapi bila kami meninggalkanmu dan kami berada di lingkungan keluarga, anak-anak dan dunia kami, maka kami pun telah lupa diri?”
Rasulullah SAW menjawab, “Demi Allah, Yang nyawaku berada dalam tangan-Nya! Seandainya kalian selalu berada dalam suasana seperti di sisiku, tentulah malaikat akan menampakkan dirinya menyalami kamu! Tetapi, yah yang demikian itu hanya sewaktu-waktu!”
Ungkapan Nabi SAW itu terdengar oleh Imran bin Hushain, maka timbullah keinginannya, dan seolah-olah ia bersumpah pada dirinya tidak akan berbenti dan tinggal diam, sebelum mencapai tujuan mulia tersebut, bahkan walau terpaksa menebusnya dengan nyawanya sekalipun.
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Seolah-olah ia tidak puas dengan kehidupan sewaktu-waktu itu, tetapi ia menginginkan suatu kehidupan yang utuh dan padu, terus-menerus dan tiada henti-hentinya, memusatkan perhatian dan berhubungan selalu dengan Allah Rabbul’alamin.
Mengajar penduduk Bashrah
Di masa pemerintahan Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab, Imran dikirim oleh khalifah ke Bashrah untuk mengajari penduduk dan membimbing mereka mendalami Islam. Di Bashrah ia melabuhkan tirainya, maka banyak penduduk mulai mengenalnya dan mereka pun berdatangan mengambil berkah dan meniru teladan ketaqwaannya.
Berkata Hasan Basri dan Ibnu Sirin, “Tidak seorang pun di antara shahabat-shahabat Rasul SAW yang datang ke Bashrah, lebih utama dari Imran bin Hushain.”
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
Dalam beribadah dan hubungannya dengan Allah, Imran tak sudi diganggu oleh siapapun. la menghabiskan waktu dan seolah-olah tenggelam dalam ibadah, hingga seakan-akan ia bukan penduduk bumi yang didiaminya ini. Sungguh, seolah-olah ia adalah Malaikat, yang hidup di lingkungan Malaikat, bergaul dan berbicara dengannya, bertemu muka dan bersalaman dengannya.
Tatkala terjadi pertentangan tajam di antara kaum Muslimin, antara golongan Ali dan Muawiyah, tidak saja Imran bersikap tidak memihak, bahkan juga ia meneriakkan kepada umat agar tidak campur tangan dalam perang tersebut, dan agar membela serta mempertahankan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Katanya pada mereka, “Aku lebih suka menjadi pengembala rusa di puncak bukit sampai aku meninggal, daripada melepas anak panah ke salah satu pihak, biar meleset atau tidak.”
Kepada orang-orang Islam yang ditemuinya, diamanatkannya, “Tetaplah tinggal di mesjidmu. Dan jika ada yang memasuki mesjidmu, tinggallah di rumahmu! Dan jika ada lagi yang masuk hendak merampas harta atau nyawamu, maka bunuhlah dia!”
Keimanan Imran bin Hushain membuktikan hasil gemilang. Ketika ia mengidap suatu penyakit yang selalu mengganggunya selama 30 tahun, tak pernah ia merasa kecewa atau mengeluh. Bahkan tak henti-hentinya ia beribadah kepada-Nya, baik di waktu berdiri, di waktu duduk dan berbaring.
Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya
Ketika para shahabatnya dan orang-orang yang menjenguknya datang dan menghibur hatinya terhadap penyakitnya itu, ia tersenyum sambil berkata, “Sesungguhnya barang yang paling kusukai, ialah apa yang paling disukai Allah.” Dan sewaktu ia hendak meninggal, wasiatnya kepada kaum kerabatnya dan para shahabatnya, ialah, “Jika kalian telah kembali dari pemakamanku, maka sembelihlah hewan dan adakanlah jamuan!”
Memang, sepatutnyalah mereka menyembelih hewan dan mengadakan jamuan. Karena kematian seorang Mukmin seperti Imran bin Hushain bukanlah merupakan kematian yang sesungguhnya. Itu tidak lain dari pesta besar dan mulia, di mana suatu ruh yang tinggi yang ridla dan diridlai-Nya diarak ke dalam surga, yang besarnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang taqwa.(A/RS3/P2)
(Sumber: Buku 60 Karakteristik Sahabat Rasulullah SAW)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia