Oleh: Rendy Setiawan/Jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Manusia ditakdirkan hidup sebagai makhluk sosial. Dengan status tersebut, tentu tak ada manusia yang mampu untuk menjalani kehidupan sendiri. Sendiri itu kaku, dingin, gelap, mencekam dan berat, baik dalam pengertian fisik maupun kejiwaan.
Kita mengulang sejenak beberapa kisah dari masa lalu untuk menyegarkan kembali ingatan kita bahwa apabila kita perhatikan, sejak Nabi Adam alaihis salam hingga Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam, maka tak satupun kita temui dari mereka yang hidup sendiri, mereka senatiasa berjamaah, baik saat berdakwah terlebih lagi dalam jihad sekalipun. Mereka selalu bersama orang lain, keluarga dan sahabat dekatnya.
Ketika Nabi Adam alaihis salam diturunkan ke muka bumi, ia ditemani istrinya, Hawa. Begitu juga Nabi Ibrahim hidup ditemani dua putranya, Ismail dan Ishaq. Nabi Musa alaihis salam ketika diutus menjadi nabi, ia juga bersama saudaranya, Harun. Nabi Isa alaihis salam selalu didamping pengikut setianya yang dikenal dengan Hawariyun.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Begitu juga Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam ketika keluar dari kesendiriannya (‘Uzlah) di Gua Hira’, ia segera mendatangi istri tercintanya, Khadijah radhiyallahu ‘anha. Maka wajar bila Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam menyatakan bahwa berjamaah lebih baik dari pada sendiri.
Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Berdua lebih baik daripada sendiri, bertiga lebih baik daripada berdua, berempat lebih baik daripada bertiga, maka hendaklah kalian tetap bersama berjamaah, karena sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku kecuali atas sebuah petunjuk (hidayah).” (HR. Ahmad)
Dalam sebuah kisah diceritakan, suatu ketika Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu dalam salah satu isi khutbahnya pernah berkata,“Siapa di antara kalian menginginkan kenikmatan surga, hendaklah ia senantiasa komitmen dengan Jamaah.”
Dalam kesempatan yang lain, Umar juga berkata, “Tiada Islam tanpa jamaah, tiada Jamaah tanpa imamah, tiada imamah tanpa taat dan tiada taat tanpa baiat.”
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Begitu pentingya hidup berjamaah sampai-sampai Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam tetap memerintahkan kaum Muslimin untuk terus hidup berjamaah walau dalam keadaan bagaimanapun. Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,“Siapa melihat ketidakberesan yang menjengkelkan pada pemimpinnya maka hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya siapa yang memisahkan diri dari Jamaah walau sejengkal pun kemudian dia mati, maka matinya dalam keadaan jahiliyah.” (HR Muslim)
Islam dan Jama’ah
Islam hadir ke dunia pada saat masyarakatnya hidup dalam keadaan gelap gulita, berpecah belah, tak tentu arah kehidupannya, roda berputar tanpa ada yang mengendalikan. Pada waktu bersamaan, akhlak dan budi pekerti merosot pada tingkat paling dasar, ini semua terjadi karena belum adanya rahmat dan cahaya dari Allah yakni dengan datangnya Islam yang diikat dalam bingkai Jamaah.
Islam dan jamaah adalah dua kata yang tidak bisa dipisahkan, karena kedua kata ini saling melengkapi satu sama lainnya, sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memerintah manusia untuk senantiasa hidup berjamaah, tidak bergolong-golong, berpecah belah (berfirqah-firqah).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Allah berfirman dalam Surah Ali-Imran ayat 103.
وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعً۬ا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ…
Artinya:“Dan berpegang teguhlah kalian pada tali Allah seraya berjamaah dan janganlah kalian berfirqah-firqah…” (Qs. Ali-Imran [3] :103)
Menurut Al-Hafidz Imam Al-Qurthuby ketika menafsirkan ayat ini, ia mengatakan, yang dimaksud dengan “jamian” pada ayat tersebut adalah bersama-sama, bersatu padu (berjama’ah). Hal ini menunjukan bahwa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam diutus untuk menyatukan umat manusia.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Islam sampai saat ini berkembang begitu pesat. Dengan berjamaah, Islam berdiri kokoh menaungi dunia dengan kedamaian. Akan tetapi ketika hidup berjamaah dengan satu kepemimpinan mulai ditinggalkan, Islam lambat laun terjun bebas kepada titik terendahnya dan pada akhirnya dilecehkan oleh orang-orang kafir, itulah salah sebab yang ditimbulkan bila Islam dan Jamaah dipisahkan.
Selain banyaknya wilayah yang terpisah-pisah, berbagai kelompok aliran juga berkembang. Ada aliran yang muncul dari kefrustrasian terhadap rusaknya masyarakat sehingga mengambil sikap menarik diri dari panggung duniawi. Ada aliran yang tumbuh dari sikap kecongkakan terhadap harga diri kelompok (Ashobiyyah), baik dikaitkan dengan keturunan maupun pemikiran keagamaan.
Menghadapi berbagai keruwetan tersebut, sebagai seorang muslim, sikap yang harus diambil adalah tidak mencabut diri dari masyarakatnya, lalu menyepi dan menyendiri. Justru ia harus menggalang kekuatan dakwah dengan terus-menerus membangun kesadaran umat untuk kembali kepada sumber nilai Islam, Al-Qur’an dan Al-Hadis meskipun harus didapatkan dengan cara merintis dan merintih.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Dikarenakan Jamaah merupakan jalan keluar dalam menghadapi berbagai masalah dalam masyarakat, maka kewajiban hidup berjamaah tetap harus melekat pada setiap muslim yang hidup di wilayah non-Muslim sekalipun.
Begitulah kenyataan umat ini, masih banyak orang shalih di antara mereka, tapi semuanya seperti daun-daun kering yang berhamburan, tidak terhimpun dalam sebuah wadah yang bernama Jamaah. Barang kali banyak orang hebat di antara mereka, tapi kehebatan itu hilang diterpa masa, seperti sebuah daun yang jatuh dari pohonnya, ia terbang tanpa arah hingga terjerembab ke tanah. Atau seperti gundukan pasir yang sewaktu-waktu akan beterbangan saat badai datang menerpa. Banyak potensi yang tersimpan pada individu-individu muslim, tapi semuanya berserakan, tak menyatu dalam satu Jamaah.
Jalan panjang kebangkitan umat seperti yang diprediksikan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam harus dimulai dari sekarang. Caranya, himpun dedaunan yang berhamburan di tanah itu, anyamlan jalinan cinta, satukan kerja dalam satu simpul harmoni. Dengan demikian, hal semacam ini bisa diharapkan menjadi sebuah pohon peradaban yang teduh untuk menaungi segala aspek dibawahnya.
Jamaah adalah salah satu cara paling tepat untuk menyederhanakan perbedaan-perbedaan pada individu muslim. Dalam ikatan satu Jamaah, individu-individu yang memiliki kesamaan visi misi disatukan dalam sebuah simpul kesatuan. Meskipun banyak jamaah, tetap jauh lebih baik daripada tidak ada sama sekali.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Ada sebuah ungkapan sederhana, “Memetakan orang banyak melalui pengelompokan atau simpul-simpulnya jauh lebih mudah, ketimbang harus memetakan mereka sebagai individu.”
Memang, nyatanya itu bukan pekerjaan mudah. Ternyata, cinta tak gampang ditumbuhkan. Orang hebat tak selalu bersedia menyatu dengan orang hebat lain. Mungkin benar ungkapan yang mengatakan, “Seorang prajurit bodoh, kadang-kadang lebih berguna daripada dua jenderal yang hebat. Wallahu’alam. (P011/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang