Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Indahnya Merayakan Idul Fitri di Dukuh Sambungkasih, Ketika Maaf Menjadi Bahasa Universal

Zaenal Muttaqin Editor : Rudi Hendrik - Ahad, 30 Maret 2025 - 18:33 WIB

Ahad, 30 Maret 2025 - 18:33 WIB

81 Views

Pemuka kampung berdiri bersama warga, secara bergantian saling salaman dan berangkulan meminta dan memaafkan (Foto: Zaenal/MINA)

DI SUDUT Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, tersembunyi sebuah kampung yang merawat tradisi Idul Fitri dengan kehangatan yang menggetarkan jiwa: Dukuh Sambungkasih, Desa Manggis, Kecamatan Sirampog.

Di sini, Lebaran bukan sekadar perayaan kemenangan setelah sebulan berpuasa, melainkan momen di mana nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan dirajut dalam ritual saling memaafkan yang tulus.

Di balik desiran angin pagi yang sejuk dan hamparan sawah yang menguning, tersimpan kisah tentang bagaimana sebuah komunitas kecil mengajarkan dunia tentang arti memaafkan, tanpa syarat, tanpa menunggu permintaan.

Subuh yang Membisikkan Kedamaian

Baca Juga: Perlawanan Tanpa Senjata, Boikot Global Hancurkan Bisnis Afiliasi Zionis

Pagi hari raya di Dukuh Sambungkasih dimulai dengan senyum matahari yang menyapa lereng perbukitan. Udara sejuk pagi itu dipecah oleh lantangnya takbir yang menggema dari pengeras suara musala, mengajak warga berkumpul di lapangan terbuka.

Tidak ada kemegahan gedung atau panggung mewah; hanya hamparan rumput hijau yang menjadi “karpet” alami bagi ratusan jamaah.

Anak-anak berlarian dengan baju baru, sementara para orang tua duduk bersila, menunggu shalat Id dimulai. Suasana khidmat itu seolah menyatukan langit, bumi, dan hati manusia dalam satu harmoni.

Usai shalat, khutbah Id disampaikan dengan bahasa sederhana, mengingatkan tentang esensi taqwa: menjadi manusia yang mampu menahan amarah, memaafkan, dan berbuat baik. Namun, pesan itu tidak berhenti di kata-kata. Begitu khutbah usai, sesuatu yang magis terjadi.

Baca Juga: Adab Sebelum Berdakwah, Membangun Pengaruh dengan Keindahan Akhlak

Ritual Saling Merangkul, Maaf yang Mengalir Tanpa Kata

Para lelaki, mulai dari anak remaja hingga kakek-kakek berdiri, berpindah dari satu orang ke orang lain.

Mereka saling menyalami, berangkul, dan berbisik: “Minal aidin wal faizin, taqabalallahu minna wa minkum. Mohon maaf lahir dan batin.”

Kalimat itu diucapkan pada setiap orang, bahkan pada mereka yang mungkin belum pernah sekalipun berselisih.

Baca Juga: Menggapai Keberkahan Hidup dengan Berjama’ah

Di sudut lain, kaum perempuan melakukan hal serupa. Raut wajah mereka kerap basah oleh air mata, karena di sini, memaafkan bukan formalitas, melainkan pembebasan jiwa.

“Di kampung ini, kita tidak perlu menunggu orang lain meminta maaf. Justru, kitalah yang harus aktif meminta dan memberi maaf, meski merasa tidak bersalah,” tutur Muttaqin, sesepuh kampung. “Siapa tahu, tanpa sengaja, langkah kita pernah menginjak rumput di hatinya.”

Berjalan Menyusuri Jejak Silaturahmi 

Usai ritual di lapangan, warga tidak langsung pulang. Mereka menyambangi rumah-rumah tetangga, satu per satu. Dari gubuk sederhana hingga rumah tembok, semua dikunjungi.

Baca Juga: Menikah Itu Ibadah, Bukan Ajang Pamer Mahar

“Maafkan kami jika selama ini ada salah,” ucap setiap tamu saat berpapasan dengan tuan rumah. Kunjungan ini singkat, tetapi bermakna.

Di kampung yang dihuni sekitar 200 kepala keluarga ini, tradisi ini memastikan tidak ada satu pun yang terlewat. Bahkan, bagi yang sedang berselisih, hari ini adalah hari gencatan senjata.

Seorang ibu paruh baya, Bu Siti, bercerita: “Tahun lalu, saya dan Bu Rini sempat tidak bicara karena masalah sepele. Tapi saat Lebaran, dia datang ke rumah. Kami berpelukan, menangis. Sekarang, kami seperti saudara.”

Memaafkan adalah Gerakan Aktif

Baca Juga: Bukan Soal Harga, Tapi Barakah, Mengapa Mahar Tak Perlu Mahal

Tradisi ini bukan sekadar adat, melainkan interpretasi hidup dari Surah Ali Imran ayat 134: “(Orang yang bertakwa adalah) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.”

Kata “memaafkan” dalam ayat ini menggunakan bentuk kata kerja aktif (al-‘afina), yang menegaskan bahwa memaafkan adalah aksi, bukan reaksi.

Di Dukuh Sambungkasih, makna ini dihidupi. Memaafkan bukan karena diminta, tapi karena kesadaran bahwa setiap manusia pasti punya khilaf.

Ketika Kampung Kecil Mengajari Dunia

Baca Juga: Dari Bandung untuk Palestina, Langkah Solidaritas yang Menggetarkan Jiwa

Di era di media sosial kerap dipenuhi caci dan debat, Dukuh Sambungkasih memberikan teladan: bagaimana jika setiap kesalahan direspons dengan maaf, bukan dendam? Jika setiap orang berinisiatif merendahkan ego, alih-alih menunggu permintaan maaf?

Bagi warga sini, Idul Fitri adalah refleksi. “Kami mungkin miskin secara materi, tapi kaya akan kebahagiaan karena tidak ada beban di hati,” kata Mas Arif, pemuda kampung.

Sambungkasih, Tempat di Mana Maaf Menjadi Sungai yang Mengalir

Malam hari, ketika lampu-lampu rumah mulai dinyalakan, Dukuh Sambungkasih kembali sunyi.

Baca Juga: Menikah di Bulan Syawal: Tradisi, Sejarah dan Maknanya dalam Islam

Namun, kehangatannya tetap tertinggal. Di kampung ini, Lebaran bukan tentang ketupat atau baju baru, melainkan tentang membersihkan hati, merajut kembali ikatan yang mungkin renggang.

Mereka mengajarkan: memaafkan itu seperti angin yang membersihkan debu di sudut-sudut rumah.

Tidak perlu menunggu debu itu menumpuk. Setiap hari, setiap saat, kita bisa menyapunya. Dan Idul Fitri adalah saat di mana seluruh kampung bersama-sama mengayunkan sapu itu, hingga tak tersisa sedikit pun kotoran di hati.

Di Dukuh Sambungkasih, maaf bukanlah kata, melainkan tindakan. Bukan permintaan, melainkan pemberian. Di sanalah indahnya Idul Fitri, sebuah perayaan yang mengubah kampung kecil menjadi surga, tempat manusia belajar menjadi malaikat bagi sesamanya.

Baca Juga: Hancurnya Ukhuwah Akibat Meninggalkan Jama’ah

Taqabalallahu minna wa minkum. Selamat Hari Raya, semoga kita semua bisa menjadi pemaaf, seperti ajaran Dukuh Sambungkasih. []

Mi’raj News Agency (MINA) 

Baca Juga: Mengapa Islam Mewajibkan Umatnya untuk Berjamaah?

Rekomendasi untuk Anda