Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj News Agency (MINA)
Indonesia darurat narkoba. Status itu sudah dideklarasikan sejak tahun 1971 oleh Presiden Soeharto. Hingga kini 2018, status Indonesia masih darurat narkoba.
Meski Indonesia berstatus darurat narkoba, tapi semakin tahun, perkembangan peredarannya semakin luas, korban dan pemakainya semakin banyak, narkobanya pun semakin melimpah dan bermacam jenis termask jenis-jenis baru.
Baca Juga: Ketua MPR RI Salurkan Bantuan untuk Korban Erupsi Gunung Lewotobi
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Budi Waseso mengakui bahwa pengaruh narkoba sudah menyentuh setiap lini di setiap daerah di Indonesia. Tidak ada satu daerah pun di Indonesia yang terbebas dari pengaruh narkoba.
Dari lingkup provinsi hingga Kota-kabupaten, tidak ada yang bebas dari narkoba. Bahkan tingkat kecamatan hingga RT-RW, tidak ada yang menjamin ada yang bebas dari narkoba.
Kepala BNN pun tidak menjamin lembaga-lembaga pemerintah dan kementerian, termasuk lembaga kepolisian dan TNI, bebas dari pengaruh narkoba.
Indonesia menjadi surga bagi jaringan sindikat narkoba internasional. Setiap tahun, permintaan terhadap barang-barang haram itu terus meningkat.
Baca Juga: HGN 2024, Mendikdasmen Upayakan Kesejahteraan Guru Lewat Sertifikasi
Orang yang tercatat oleh BNN melakukan pemesanan narkoba pada tahun 2014, sebanyak 4,1 juta orang. Sementara di tahun 2016, meningkat menjadi 5,1 juta orang. Permintaan di Indonesia adalah yang terbesar di Asia.
Hingga Juli 2017, hasil penelitian antara BNN dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia Depok menyebutkan, sudah hampir 6 juta orang yang ketergantungan narkotika. Angka ini belum termasuk pengguna ganda, baik pengedar maupun masyarakat yang masih coba-coba.
Semakin banyaknya permintaan konsumen, tentunya samakin banyak produsen dari luar negeri memasok ke Tanah Air.
Sejauh ini, 68 jenis narkoba yang diedarkan di pasar gelap, semuanya memiliki konsumen di Indonesia. Padahal jika dibandingkan negara lain, hanya mengonsumsi 5 hingga 6 jenis narkoba saja.
Baca Juga: Hari Guru, Kemenag Upayakan Sertifikasi Guru Tuntas dalam Dua Tahun
Kondisi Indonesia dalam hal narkoba, benar-benar dalam kondisi mengkhawatirkan. Narkoba sudah menyentuh hampir seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari anak kecil, pekerja, hingga penegak hukum tersandung kasus narkoba. Padahal, mereka adalah generasi muda penerus bangsa. Kalau terus terjadi demikian, tidak dimungkiri kehilangan generasi muda akan terjadi di Indonesia.
Kini pengedar narkoba tidak hanya menggunakan kalangan anak-anak sebagai kurir, tapi juga mereka menargetkan hingga ke level anak TK. Pengedar mencampurkan narkoba ke dalam makanan dan minuman yang dijual untuk anak-anak. Sindikat internasional bisa sampai menargetkan anak kecil karena memang tujuannya merusak negara, yaitu generasi bangsa.
Sekitar 27,32 persen pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Angka tersebut kemungkinan meningkat kembali karena beredarnya sejumlah narkotika jenis baru.
Penggunan narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa lebih disebabkan usia mereka yang labil dan mudah dipengaruhi. Pada umumnya mereka hanya mencoba-coba, tapi akhirnya menjadi pemakai teratur atau aktif lalu kecanduan.
Baca Juga: Meriahkan BSP, LDF Al-Kautsar Unimal Gelar Diskusi Global Leadership
Ternyata, status sebagai negara darurat narkoba tidak membuat peredaran narkoba semakin menyusut dan pengguna narkoba semakin sedikit.
Ada beberapa faktor yang membuat status darurat narkoba seakan abadi di Indonesia.
Pertama, banyaknya jalur tikus di wilayah Indonesia yang dijadikan pintu masuk arus pengiriman narkoba dari luar daerah dan negara. Perbatasan wilayah Indonesia mencapai 99 ribu kilometer, terpanjang kedua di dunia setelah Kanada yang sepanjang 200 ribu kilometer. Gubernur Kalimantan Utara pernah melaporkan kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto bahwa jalur tikus di daerahnya ada 1.400 jalan.
Kedua, produksi narkoba dilakukan di luar negeri. Masalah narkoba ibarat aliran sungai. Di hilir, sudah diberantas, dimusnahkan, dan di-sweeping. Tetapi di hulu, masih ada produksi yang tak tersentuh. Sumber-sumber produksi itu tidak berada di Indonesia.
Baca Juga: Enam Relawan UAR Korwil NTT Lulus Pelatihan Water Rescue
Ketiga, penindakan hukum yang terbilang lemah, bila dibanding negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Di kedua negara itu, pengguna saja bisa digantung, karena undang-undangnya mengatur demikian. Namun di Indonesia, menyelundupkan berton-ton narkoba pun tidak langsung dieksekusi, pelaku masih bisa bekerja di Lapas, bahkan narkoba pun bisa beredar nyaman di sana.
Keempat, 50 persen peredaran narkoba dikendalikan dari Lapas. Meski para bandar dan pengedar narkoba sudah dipenjara, tapi Kepala BNN Budi Waseso mengatakan bahwa sebesar 50 persen dari seluruh praktik peredaran narkoba yang ada di Indonesia dikendalikan dari dalam lembaga pemasyarakatan.
Kelima, permintaan narkoba dari Indonesia begitu luar biasa. Para bandar dan sindikat jaringan narkoba internasional umumnya memiliki perhitungan bahwa berapa pun produksi yang mereka hasilkan, akan habis terserap jika dipasarkan di Indonesia.
Keenam, diduga ada oknum pejabat melindungi bandar narkoba. Dalam beberapa kasus, bandar atau pengedar narkoba dilindungi oleh oknum pejabat, dari pejabat lapas, polisi hingga pejabat di BNN pun. (A/RI-1/P1)
Baca Juga: Syubban Camp, Perkuat Jiwa Kepemimpinan untuk Pembebasan Baitul Maqdis
*** Dari berbagai sumber
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Muasal Slogan ”Al-Aqsa Haqquna”