Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam diskusi buku “Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam”, Selasa 1 Juni 2021, ada seorang peserta bertanya: “Apakah Indonesia bisa dikatakan negara Islam?” Saya menjawab pertanyaan itu, bahwa dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Jadi, jelas bahwa Pemerintah Negara Indonesia berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab dan seterusnya. Bagi umat Islam Indonesia, makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah jelas, yaitu bermakna Tauhid dalam ajaran Islam. Makna ini pernah ditegaskan oleh Rois ‘Am NU KH Achmad Siddiq.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Dalam satu makalahnya yang berjudul “Hubungan Agama dan Pancasila” yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, KH Achmad Siddiq, menyatakan: “Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula.
Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.”
Setahun sebelumnya, Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabi’ulawwal 1404 H/21 Desember 1983 menetapkan sejumlah keputusan: (1) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).
Dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada pertemuan dengan Wanhankamnas, 25 Agustus 1976, Prof. Hamka menjelaskan tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa: “Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara Preambul dengan materi undang-undang.” (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hal. 224).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Seperti diketahui, pada 18 Agustus 1945, Bung Hatta mengajak sejumlah tokoh Islam untuk merelakan dihapusnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang berbunyi: “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Menurut Bung Hatta, ada ultimatum dari pihak Kristen Indonesia Timur, jika tujuh kata itu tidak dihapus, maka mereka akan menolak untuk bergabung dengan Indonesia merdeka. Ultimatum ini dipandang serius sehingga untuk menyelamatkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, para tokoh Islam yang berunding saat itu merelakan dicoretnya tujuh kata, dan diganti dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Inilah yang pernah dikatakan oleh Menteri Agama Alamsyah Ratuprawiranegara, bahwa Pancasila merupakan hadiah terbesar umat Islam untuk bangsa Indonesia. Dan memang, tujuh kata itu dikembalikan lagi oleh Bung Karno, dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Karena itu, jika ditelaah secara cermat dan jujur, berdasarkan proses penyusunan Pancasila itu sendiri, sebenarnya lebih masuk akal jika pemahaman Ketuhanan Yang Maha Esa lebih merujuk kepada konsep Ketuhanan dalam Islam, yaitu konsep Tauhid. Sebab, rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu memang datang dari para tokoh Islam, seperti KH Wachid Hasyim (NU), Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), dan sebagainya.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Pancasila yang resmi berlaku saat ini adalah rumusan Pancasila hasil sidang PPKI 18 Agustus 1945 yang kemudian diperkuat lagi dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dalam sejarah Indonesia, ada lima jenis rumusan Pancasila yang pernah diterapkan secara resmi. Pertama, rumusan Piagam Jakarta (yang sila pertama berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya). Kedua, rumusan pembukaan UUD 1945 (yang sila pertama berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa). Ketiga, rumusan versi Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), yaitu: (1). Ketuhanan Yang Maha Esa, (2). Perikemanusiaan. (3). Kebangsaan (4) Kerakyatan dan (5) Keadilan Sosial. Rumusan ini berlaku 27 Desember 1949. Keempat, rumusan UUDS 1950 yang isinya sama dengan rumusan UUD RIS. Dan kelima, rumusan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang isinya sama dengan rumusan 18 Agustus 1945, tetapi ada penegasan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Tahun 1976, pemerintah RI membentuk Panitia Lima yang menerbitkan buku Uraian Pancasila. Anggota Panitia Lima ialah: Mohammad Hatta, Prof. H.A. Subardjo Djoyoadisuryo SH, Mr. Alex Andries Maramis, Prof. Sunario SH, dan Prof. Abdoel Gafar Pringgodigdo SH. Dalam uraiannya tentang kedudukan sila pertama, Panitia Lima merumuskan:
“Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik, sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktik hidup dari dasar yang memimpin tadi.” (Lihat, Muhammad Hatta, Pengertian Pancasila, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989).
Adalah menarik rumusan Tim Lima pimpinan Bung Harta tersebut, yang menyatakan, bahwa “Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik…”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Pemaknaan seperti ini tentu bukanlah sembarangan, jika Ketuhanan Yang Maha Esa dimaknai sebagai konsep tauhid. Sebab, itu berarti, sama saja dengan menyatakan, bahwa tauhid Islam menjadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan Indonesia.
Penafsiran semacam ini, bagi para tokoh Islam, jelas bukan mengada-ada. Jika dilihat sejak penyusunan Piagam Jakarta, sampai sidang PPKI 18 Agustus 1945, dan terakhir Dekrit Presiden 5 Juli 1959, tampak jelas semangat dan visi Ketuhanan Yang Maha Esa memang mengarah kepada konsep tauhid Islam. Itulah yang ditegaskan para ulama NU dalam Munas tahun 1983 di Situbondo Jawa Timur.
Kini, Pekerjaan Rumah umat Islam yang besar adalah mengajarkan sejarah Pancasila dan maknanya secara benar kepada anak-anak sekolah, para santri, dan para mahasiswa muslim. Khususnya yang sedang menimba ilmu di lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Masalahnya, hingga kini, problema serius adalah di mana kita bisa melahirkan guru-guru Pendidikan Pancasila yang berwawasan kebangsaan Islami dan berakhlak mulia? Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 1 Juni 2021). (A/R4/P1)
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang