Depok, MINA – Ahli Hak Asasi Manusia (HAM) dari Universitas Indonesia (UI) Heru Susetyo mengatakan seharusnya Indonesia bisa berperan lebih besar dalam membantu konflik Uighur di Xianjing, Cina melalui diplomasi seperti yang dilakukan Indonesia kepada Rohingya.
Maka dari itu Heru meminta pemerintah Indonesia dapat mengusulkan pembentukan misi pencari fakta internasional independen dan kredibel guna menyelidiki pelanggaran HAM terhadap muslim Uighur.
Hal itu diungkapkannya pada diskusi dengan tema “Sebuah Upaya Meramu Titik Temu” yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam (LKIHI) FHUI dan Lembaga Dakwah Serambi UI, di Falakultas Hukum UI, Depok, Jumat (11/1).
“Konflik di Uighur mirip dengan yang terjadi di Rohingya. Tapi kalau di Rohingya datanya jelas. Sedangkan Uighur tidak jelas,” katanya.
Baca Juga: Diboikot, Starbucks Tutup 50 Gerai di Malaysia
Ia juga mengatakan Indonesia yang baru saja menjadi anggota tidak tetap di Dewan Keamanan (DK) PBB memiliki pengaruh yang cukup kuat untuk mengajukan diplomasi ke DK PBB terkait isu pelanggaran HAM yang terjadi di Xinjiang itu.
Kini Indonesia memiliki peran dan tugas untuk menjaga keamanan dan perdamaian internasional. Artinya, Indonesia bisa memanfaatkan kursi anggota tidak tetap itu untuk mencegah perang meluas dan terus terjadi.
Namun Heru juga mengatakan, tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia yang merupakan anggota terbesar ASEAN saat ini berada pada posisi yang sulit karena memiliki kerja sama dagang dengan Cina.
“Indonesia akan sulit untuk bisa tegas karena memiliki ketergantungan yang besar terhadap Cina. Posisi Indonesia juga sulit bagi karena Cina telah banyak membantu terkait konflik yang terjadi di Papua beberapa tahun silam,” ujarnya.
Baca Juga: Kota New Delhi Diselimuti Asap Beracun, Sekolah Diliburkan
Terkait dengan Undang-Undang (UU) Cina yang diduga membatasi aktivitas ibadah Muslim Uighur, Heru memberikan pendapat bahwa UU itu sebenarnya tidak secara eksplisit membuat aturan untuk pelarangan ibadah, namun dampaknya dapat berpengaruh pada keyakinan beragama.
UU tersebut membuat kebijakan re-edukasi atau pelatihan yang berlaku bagi siapa saja warga suku Uighur yang dianggap bersikap separatis.
“Otomatis agama kena, karena kalau kita disuruh setia sama komunis berarti kan kita meninggalkan agama. Tapi bahasa mereka diplomatis. Kalian taat pada komunis, sumpah setia pada presiden. Kalau begitu kan sama dengan sudah meninggalkan Islam, tapi dengan bahasa yang diplomatis,” ujarnya.(L/Mufi/R01)
Baca Juga: Ratusan Ribu Orang Mengungsi saat Topan Super Man-yi Menuju Filipina
Mi’raj News Agency (MINA)