Jakarta, MINA – Pemerintah Indonesia membantah kabar yang menyebut negara mayoritas Muslim ini akan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel sebagai salah satu syarat untuk menjadi anggota OECD (Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan).
Pemerintah, melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal menegaskan, hingga saat ini tidak ada rencana untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
“Saya tegaskan hingga saat ini tidak ada rencana untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel, terlebih di tengah situasi kekejaman Israel di Gaza saat ini. Posisi Indonesia tidak berubah dan tetap kokoh mendukung kemerdekaan Palestina dalam kerangka solusi dua negara,” ujar Iqbal dalam keterangan tertulis, Kamis (11/4).
Dia menekankan, Indonesia akan selalu konsisten berada di garis terdepan membela hak-hak bangsa Palestina.
Baca Juga: Selamat dari Longsor Maut, Subur Kehilangan Keluarga
Bantahan itu sekaligus menepis kabar yang dimuat oleh surat kabar Israel, Yediot Ahronot, bahwa Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann dua pekan lalu sudah menyurati Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz.
Dalam surat itu dikatakan bahwa Indonesia setuju membuka hubungan resmi dengan Israel agar bisa diterima bergabung dengan OECD.
Israel memang menolak rencana Indonesia masuk OECD karena negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar sejagat ini tidak mau mengakui Israel sampai Palestina merdeka dan berdaulat.
Iqbal menjelaskan bahwa proses Indonesia untuk menjadi anggota OECD membutuhkan waktu cukup lama. Peta jalan akan diadopsi Mei mendatang berisi banyak sekali yang harus dipersiapkan oleh Indonesia.
Baca Juga: Terakreditas A, MER-C Training Center Komitmen Gelar Pelatihan Berkualitas
Menurutnya, waktu yang diperlukan setiap negara untuk menyelesaikan proses keanggotaan penuh di OECD berbeda-beda bergantung pada kesiapan masing-masing. Dia menyebutkan beberapa negara memerlukan waktu tiga tahun, sebagian lagi lebih dari lima tahun untuk dapat diterima masuk OECD.
Menanggapi hal tersebut, pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah mengatakan Indonesia sudah memiliki keanggotaan yang lebih bermanfaat dari segi ekonomi ketimbang bergabung dengan OECD, seperti ASEAN, MIKTA, kemitraan komprehensif dengan beragam negara, dan APEC.
Dia menambahkan, Indonesia jangan sampai terpancing oleh provokasi terkait isu Palestina-Israel.
“Saya pikir Indonesia nggak perlu masuk (OECD) dan kita jangan terpancing untuk masuk atau untuk menanggapi hal itu. Karena kombinasi ASEAN, APEC, ASEAN Community plus MIKTA, plus kemitraan ekonomi kawasan, plus perjanjian bisnis seperti Zona Perdagangan Bebas ASEAN-China, itu sudah jauh di atas OECD,” ujarnya, mengutip VOA Indonesia.
Baca Juga: Tiba di Inggris, Presiden Prabowo Hadiri Undangan Raja Charles III
Menurut Rezasyah, kalau salah satu syarat menjadi anggota OECD adalah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, pemerintah Indonesia tidak akan berani mengambil risiko. Dia menyarankan agar pemerintah mundur dari rencana bergabung dengan OECD.
Dia mengatakan OECD lah yang membutuhkan Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar di kawasan Asia Tenggara, kemdian diprediksi menjadi ekonomi terbesar nomor tujuh di dunia.
“ASEAN Free Trade Area digabungkan dengan MIKTA digabungkan lagi dengan regional economy comprehensive partnership angkanya sudah jauh di atas OECD,” tambahnya.
Jika sampai terjebak dengan isu relasi resmi dengan Israel, lanjut Rezasyah, pemerintah Presiden Joko Widodo bisa kelabakan. Dalam kondisi sekarang, berbicara hubungan dengan Israel saja bisa merepotkan pemerintah secara luar biasa.
Baca Juga: Syubban Jambi Kibarkan Bendera Palestina di Puncak Gunung Dempo
Dia menilai masyarakat Indonesia itu sadar sehingga pemerintah tidak boleh main-main untuk membuka hubungan resmi dengan Israel, karena dampaknya akan sangat besar sekali. Apalagi sejak 7 Oktober tahun lalu, Israel terus membombardir Jalur Gaza. (R/Ai/RI-1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ulama Palestina: Ujian Pertama untuk Bebaskan Al-Aqsa adalah Shubuh Berjamaah