Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan pada hari Ahad, 17 Maret 2024, bahwa pasukannya akan tetap melakukan penyerangan darat ke Rafah, bagian paling selatan Jalur Gaza, yang berbatasan langsung dengan Mesir.
Tekanan internasional, termasuk dari Presiden Amerika Serikat Joe Biden sekalipun, tidak dihiraukan. Tekanan AS di antaranya adalah menunda pemberian bantuan senjata ke Israel, dan memperingatkan dampak eskalasi global jika sampai serangan darat ke Rafah terjadi.
Joe Biden yang mendukung Israel selama perang, mengatakan invasi Israel ke Rafah akan menjadi “garis merah” tanpa adanya rencana perlindungan sipil.
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken yang sudah bolak-balik enam kali dalam setahun ini ke Timur Tengah, mengatakan, Washington menginginkan rencana yang jelas dan dapat diterapkan di Rafah untuk memastikan warga sipil terhindar dari bahaya.
“Sebesar apa pun tekanan itu, kami tidak akan menghentikan semua tujuan perang ini, yaitu untuk melenyapkan Hamas, melepaskan semua sandera kami, dan memastikan bahwa Gaza tidak lagi menjadi ancaman bagi Israel,” kata Netanyahu pada sebuah rapat kabinet pemerintahnya.
Kantor Netanyahu menyatakan telah menyetujui rencana militer untuk melakukan operasi darat di Rafah, meskipun belum ada tanggal waktu yang ditentukan.
Mengapa Netanyahu ngotot untuk melakukan serangan darat ke Rafah, dan hendak menguasai kantong terakhir dari tempat jutaan pengungsi warga Palestina tersebut? Berikut 7 (tujuh) alasannya:
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Petinggi Israel hendak menghabisi kekuatan pejuang bersenjata Gerakan Perlawanan Hamas, yang saat ini menurut Israel, beralih atau tersisa di Kota Rafah.
Menurut militer Israel, sejak pasukannya melakukan invasi ke Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023, operasinya telah membubarkan 18 dari 24 batalyon kelompok bersenjata Hamas.
Israil mengklaim, Hamas masih memiliki 4 batalyon bersenjata di Rafah, sebagai benteng besar terakhir Hamas di Jalur Gaza.
Jumlah personel Batalyon infanteri kurang lebih 700 hingga 1.000 orang. Jadi, diperkirakan pejuang Hamas di Kota Rafah berjumlah antara 2.800-4.000 personil.
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
Israel juga mengklaim, beberapa pejabat senior Hamas mungkin juga bersembunyi di kota Rafah.
Itu semua hanya klaim sepihak, seperti ketika pasukan Israel membombardir fasilitas publik di Gaza bagian utara dan tengah, seperti apartemen perumahan, gedung sekolah, rumah sakit, hingga masjid dan gereja. Padahal yang jadi korban sebagian besar adalah warga sipil, terutama dari kalangan kaum perempuan, anak-anak dan para orang tua lanjut usia.
Namun demikian, walaupun bumi Gaza digambarkan telah rata dengan tanah, para pejuang Hamas dan perlawanan lainnya ternyata tidak pernah berhenti untuk mengadakan perlawanan. Serangan balasan Hamas dan faksi-faksi lainnya, baik dengan peluncuran roket-roket maupun baku tembak jarak dekat, tidak pernah berhenti menyala.
“Palestina tidak akan menyerahkan satu inci pun wilayah Palestina kepada penjajahan, tidak peduli berapa lama waktu akan ditempuh,” begitu prinsip para pejuang Palestina.
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
Pasukan Israel berambisi hendak merebut wilayah strategis Rafah, yang terletak di antara Mesir dan Jalur Gaza. Militer Israel hendak memegang kendali penuh atas Rafah, yang dianggap sebagai titik strategis, yang belum dikuasainya.
Dengan menguasai Rafah, berarti pasukan Israel akan dengan mudah memantau pergerakan orang dan barang dari Jalur Gaza ke luar dan sebaliknya, melalui pintu perlintasan Rafah.
Benjamin Barthe, seorang wartawan Prancis, menyimpulkan Rafah merupakan persimpangan strategis di jantung konflik Israel-Palestina, dan terminal utama antara Gurun Sinai dan Jalur Gaza.
Menurutnya, Rafah merupakan pintu gerbang yang berdiri di persimpangan antar kerajaan, sejak jaman dahulu telah menyaksikan para penakluk datang dan pergi. Mulai dari Firaun Thutmose III, Napoleon Bonaparte dan Jenderal Inggris Edmund Allenby.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Rafah sejak dahulu menjadi perbatasan antara Palestina yang dikuasai Ottoman (Turki Utsmani) dan Mesir yang dikuasai Inggris. Hingga pada tahun 1906, perwakilan dari Inggris dan Ottoman menandatangani perjanjian perbatasan Rafah.
Titik persimpangan Rafah itu dalam perang Arab-Israel pertama tahun 1948, adalah wilayah pertahanan terakhir melawan pasukan Zionis Israel.
Di bawah tekanan dari London dan Washington, David Ben-Gurion, bapak pendiri ‘Negara Yahudi’, memutuskan untuk tidak menyerang wilayah yang dipertahankan oleh Mesir itu.
- Israel hendak mengendalikan bantuan kemanusiaan
Dengan menguasai Rafah, berarti pasukan Israel sekaligus akan dengan mudah mengendalikan bantuan dari luar Palestina yang hendak masuk ke Jalur Gaza.
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
Selama ini bantuan kemanusiaan melalui gerbang Rafah dalam otoritas Mesir di wilayah Mesir, masuk melalui Kota Rafah sebelum ke Kota Gaza (bagian tengah) dan Gaza bagian utara.
Rafah telah menjadi titik masuk bagi hampir seperempat bantuan yang masuk ke Jalur Gaza sebelum operasi Israel.
Sebelum perang Gaza, sekitar 170.000 orang tinggal di Rafah. Serangan yang gencar di wilayah Gaza bagian utara dan tengah mendorong ratusan ribu orang mencari perlindungan Rafah, bagian selatan Gaza. Organisasi kemanusiaan memperkirakan jumlah penghuni di Rafah kini mencapai antara 1,2 hingga 1,5 juta orang.
Israel hendak melanjutkan genosida, menghabisi seluruh warga Palestina di Jalur Gaza tanpa ada gencatan senjata permanen, dan karennya perang di Gaza akan terus berlanjut.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Catatan Aqsa Working Group (AWG) per Kamis, tanggal 16 Mei 2024, menyebutkan hari ke-222 perang Gaza menyebabkan: 35.233 warga Palestina syahid, 79.141 lainnya terluka, terjadi 3.136 pembantaian, dengan di antaranya 15.103 anak-anak dan 9.961 wanita gugur, serta 10.000 warga lainnya hilang.
Ini menjadi semacam Hari Nakbah Jilid II, setelah sebelumnya Nakbah Jilid I tanggal 15 Mei 1948, sehari setelah deklarasi sepihak ‘Negara Israel’ di tanah jajahan, Palestina.
- Israel Hendak menghancurkan Jalur Gaza keseluruhan
Pada akhirnya, Israel hendak menghancurkan Jalur Gaza secara keseluruhan.
Israel tampaknya dibutakan oleh pengumuman Hamas bahwa gerakan perlawanan di Jalur Gaza itu telah menyetujui proposal gencatan senjata yang dimmediasi Qatar dan Mesir. Namun pemerintah Israel menolak proposal itu dengan alsan tidak sesuai dengan keinginannya.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Pasukan militer Israel ternyata memang bernafsu ingin mengambil alih Rafah, wilayah Palestina di perbatasan Mesir dan Gaza.
Menurut catatan Euro-Med Human Rights Monitor militer Israel telah menjatuhkan lebih dari 25.000 ton bahan peledak di Jalur Gaza sejak dimulainya perang skala besar pada 7 Oktober 2023.
Menurut organisasi hak asasi manusia yang berbasis di Jenewa, tentara Israel telah mengakui mengebom lebih dari 12.000 sasaran di Jalur Gaza, dengan rekor jumlah bom yang melebihi 10 kilogram bahan peledak per individu.
Euro-Med menyoroti bahwa berat bom nuklir yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki di Jepang pada akhir Perang Dunia II pada Agustus 1945 diperkirakan sekitar 15.000 ton bahan peledak. Ini artinya, bom yang dijatuhkan di Gaza hampir dua kali lipat dibandingkan bom Hiroshima-Nagasaki.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Catatan menyebutkan, wilayah kota di Jepang adalah 900 kilometer persegi, sedangkan wilayah Gaza tidak melebihi 360 kilometer persegi. Belum lagi penggunaan bom cluster dan fosfor, yang merupakan zat beracun yang bereaksi cepat terhadap oksigen dan menyebabkan kerusakan parah.
Petinggi Israel sudah tidak peduli lagi dengan Konvensi Den Haag tahun 1899 dan 1907 serta Konvensi Jenewa tahun 1949 yang mengatur hak asasi manusia pada masa perang untuk mencegah dampak mematikan terhadap kesehatan dari senjata yang dilarang oleh hukum internasional, karena berpotensi menyebabkan genosida.
“Serangan atau pemboman, dengan cara apa pun, terhadap kota, desa, tempat tinggal, atau bangunan yang tidak dijaga adalah dilarang,” menurut Pasal 25 Peraturan Den Haag yang berkaitan dengan hukum dan kebiasaan perang darat melarangnya.
Sementara itu, Pasal 53 Konvensi Jenewa Keempat menyatakan bahwa “Setiap penghancuran yang dilakukan oleh Kekuasaan Pendudukan atas harta benda nyata atau milik pribadi yang dimiliki secara individu atau bersama-sama milik perorangan, atau milik Negara, atau milik penguasa publik lainnya, atau milik organisasi-organisasi sosial atau koperasi, adalah dilarang, kecuali jika penghancuran tersebut benar-benar diperlukan karena operasi militer.”
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam, tak Ada Jejak Yahudi Sedikit Pun
Pelanggaran terhadap Pasal 147 Konvensi Jenewa Keempat dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap Hukum Konflik Bersenjata, dan oleh karena itu merupakan kejahatan perang.
- Netanyahu ingin mempertahankan kekuasan politiknya
Menurut analisis, seperti diungkap Al Jazeera, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sangat bernafsu hendak melanjutkan perang di Gaza, karena ingin melanjutkan ambisi politiknya berkuasa di pemerintahan.
Menurut pengamat, gencatan senjata permanen akan menyebabkan runtuhnya koalisi sayap kanan, pendukung utamanya di pemerintahan dan parlemen Israel.
Menteri Keamanan Nasional sayap kanan Israel Itamar Ben-Gvir, dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, dilaporkan mengancam akan meninggalkan dan meruntuhkan koalisi Netanyahu jika Israel menyetujui kesepakatan dan gencatan senjata.
- Israel ingin kuasai potensi minyak dan gas bumi Gaza
Serangan pembersihan Jalur Gaza ternyata memang bukan sekedar serangan biasa atau hanya ingin mengalahkan para pejuang Hamas. Namun juga pengusiran Nakba Jilid II setelah tahun 1948, pembersihan etnis (Ethnic Cleansing), hingga genosida keseluruhan.
Lebih dari itu, dalam jangka panjang, rezim zionis Israel memiliki kepentingan lain di balik kekerasan ini, yaitu penguasaan atas potensi cadangan minyak dan gas alam di dalam perut bumi dan lepas pantai Gaza.
Hal ini seperti dikatakan Dr. Shereen Talaat, Pendiri dan Direktur MENAFem Movement for Economic, Development, and Ecological Justice, bahwa “Genosida ini bukan tentang klaim Israel untuk melindungi dirinya sendiri, tapi genosida ini berkaitan dengan minyak.”
Ia menyebutkan catatan PBB tahun 2019, bahwa baik di lepas pantai maupun di bawah wilayah pendudukan Palestina, diperkirakan terdapat lebih dari 3 miliar barel minyak. Angka tersebut belum termasuk potensi gas di Palestina.
Cekungan Levant, yang terletak di Mediterania, diperkirakan memiliki sekitar 1,7 miliar barel minyak. Sementara lebih dari 1,5 miliar barel diperkirakan berada di bawah wilayah Tepi Barat yang diduduki.
“Di Timur Tengah, Anda tidak akan pernah bisa membicarakan konflik tanpa adanya kaitan yang erat dengan minyak dan gas,” ujarnya.
Prof. Atif Kubursi, guru besar ekonomi di Universitas McMaster Kanada, mengatakan meskipun Amerika Serikat pernah mendorong Israel untuk mengizinkan warga Palestina memperoleh keuntungan dan membangun sistem energi mandiri dari gas lepas pantai pascaperang, di bawah pendudukan Israel. Namun warga Palestina tidak dapat melakukan pengeboran minyak dan gas. Banyak komunitas di Palestina juga tidak diizinkan untuk menggunakan energi surya.
Terlebih sejak pecahnya perang antara Rusia dan Ukraina pada tahun 2022, negara-negara di kawasan Eropa membutuhkan penyedia energi yang dapat mengisi kesenjangan.
Selama bertahun-tahun, Israel juga sudah mencoba membangun jaringan pipa untuk mengekspor gas ke negara-negara Eropa.
Belum lagi kalau kita kaji lebih jauh, bagaimana rezim Israel hendak membuat proyek Kanal Ben-Gurion, yang akan menerobos jalur kapal dari Laut Merah menuju Laut Mediterania, melalui Jalur Gaza. Proyek ambisius untuk nenandingi Terusan Suez milik Mesir. Di sini tentu saja Mesir tidak akan tinggal diam.
Semua cara-cara kejahatan rezim zionis Israel terhadap Palestina, tidak lain hanyalah untuk mengekalkan penjajahan zionis Israel atas bumi Palestina. Namun, cepat atau lambat, itu semua justru hanya akan menenggelamkan kepongahan dan keserakahan bangsa zionis Israel itu sendiri. []
Mi’raj News Agency (MINA)