DALAM kehidupan manusia, agama memegang peranan sentral yang tidak tergantikan. Ia tidak hanya menjawab kebutuhan spiritual, tetapi juga menyentuh sisi rasional dan moral manusia.
Pertanyaannya, di tengah banyaknya agama dan keyakinan yang dianut umat manusia, bagaimana kita bisa mengetahui agama mana yang benar? Apakah semua agama sama? Apakah kebenaran agama bersifat relatif? Ataukah ada kriteria-kriteria obyektif yang bisa dipakai untuk menilai keabsahan suatu agama?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mengawali pencarian kebenaran dalam kajian perbandingan agama dan ilmu kalam.
Agama dan Fitrah Manusia
Baca Juga: Tips Mengatasi Kesedihan, Ini Panduan Spiritual dari Para Ulama
Para ulama dan ahli perbandingan agama menyepakati bahwa agama yang benar harus sesuai dengan fitrah manusia. Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ al-Fatawa menegaskan, “Setiap agama yang menyelisihi fitrah manusia dan akal sehat, maka ia bukan dari Allah.” Artinya, agama yang benar harus selaras dengan kecenderungan dasar manusia untuk mengenal Tuhan, mencintai kebaikan, dan menolak kezaliman.
Fitrah manusia mengakui adanya Tuhan yang Esa, sebagaimana firman Allah: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.” (QS. Ar-Rum: 30).
Dengan kata lain, agama yang benar bukanlah hasil rekayasa budaya atau ciptaan manusia, tetapi wahyu (pesan dari Tuhan) yang mengokohkan kebenaran fitrah tersebut.
Memiliki Sumber Ilahiah yang Terjaga
Salah satu kriteria utama agama yang benar adalah memiliki kitab suci yang terjaga keasliannya. Dalam pandangan ilmiah dan sejarah, hanya Al-Qur’an yang terbukti terjaga keasliannya dari awal turunnya hingga hari ini, tanpa perubahan sedikit pun.
Baca Juga: Persatuan sebagai Solusi Masalah Palestina
Dr. Maurice Bucaille, seorang ilmuwan dan penulis buku The Bible, The Qur’an and Science, mengatakan, “Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang terjaga keasliannya secara tekstual dan tidak bertentangan dengan sains modern.”
Sementara itu, agama-agama lain memiliki kitab-kitab yang ditulis bertahap dalam waktu ratusan hingga ribuan tahun, dengan banyak versi. Agama yang benar tidak boleh dibangun atas teks yang telah rusak, ambigu, atau bertentangan satu sama lainnya.
Mengajarkan Tauhid yang Murni
Tauhid atau pengesaan Tuhan adalah prinsip pokok dalam semua agama samawi yang belum mengalami penyimpangan. Para teolog seperti Dr. Zakir Naik dan Dr. Shabir Ally berulang kali menegaskan bahwa konsep ketuhanan dalam Islam bersih dari unsur syirik (kemusyrikan), antropomorfisme (penyerupaan Tuhan dengan manusia), dan politeisme.
Baca Juga: Kemenangan Iran atas Zionis Israel
Tauhid bukan hanya sekadar keyakinan bahwa Tuhan itu satu, tetapi juga meliputi keyakinan bahwa hanya Tuhan yang berhak disembah, hanya kepada-Nya tempat bergantung, dan bahwa tidak ada satu pun makhluk yang setara, menyerupai, atau menjadi sekutu-Nya dalam kekuasaan dan sifat-sifat ketuhanan.
Dalam Islam, tauhid dibagi menjadi tiga aspek penting: Tauhid Rububiyyah (meyakini hanya Allah yang mencipta, mengatur dan menguasai alam semesta), Tauhid Uluhiyyah (mengikhlaskan seluruh bentuk ibadah hanya kepada Allah), dan Tauhid Asma wa Sifat (meyakini nama dan sifat Allah sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits tanpa menyerupakan, menafikan, atau memisahkan sifat-sifat-Nya).
Tauhid membentuk kesadaran bahwa setiap manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab langsung kepada Tuhan yang Maha Esa, bukan kepada lembaga-lembaga keagamaan atau seseorang yang mengklaim bisa menghapuskan dosa.
Tauhid melahirkan masyarakat yang bebas dari penghambaan kepada sesama manusia. Inilah mengapa tauhid bukan hanya ajaran teologis, tetapi juga revolusi sosial yang membebaskan manusia dari dominasi manusia lainnya, baik dalam aspek politik, ekonomi, maupun spiritual.
Baca Juga: Jihad Itu Lokomotif Perubahan Seorang Muslim
Memberikan Panduan Hidup yang Komprehensif
Agama yang benar bukan hanya bicara soal akhirat, tetapi juga menata kehidupan dunia secara menyeluruh: dari ibadah, akhlak, keluarga, politik, ekonomi, hingga hubungan antarbangsa.
Al-Qur’an menyatakan bahwa Islam adalah “rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al-Anbiya: 107), menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mengurusi urusan spiritual semata.
Menurut Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, agama yang benar adalah yang menyatukan antara syariat (hukum), hakikat (makna batin), dan akhlak (perilaku dalam pergaulan sesama manusia).
Baca Juga: Sedekah Sebelum Terlambat: Tadabbur Qur’an Surat Al-Munafiqun Ayat 10
Islam memberikan solusi bagi problematika manusia baik yang bersifat individual maupun sosial.
Memiliki Figur Pembawa Risalah yang Otoritatif
Ciri agama yang benar juga dapat dilihat dari sosok pembawa risalahnya. Nabi Muhammad ﷺ, dalam pandangan sejarah dan perbandingan agama, adalah satu-satunya figur yang ajarannya terdokumentasi lengkap, kehidupannya terang benderang, dan konsistensinya diakui oleh kawan dan lawan. Karen Armstrong, penulis dan peneliti agama Barat, menyebut beliau sebagai “pemimpin spiritual dan sosial yang sukses.”
Dalam Islam, kerasulan Nabi Muhammad dibuktikan dengan mukjizat Al-Qur’an, keberhasilan dakwah, serta nubuat-nubuat dari kitab-kitab sebelumnya.
Baca Juga: Nuklir, Mudharat dan Manfaatnya dalam Perspektif Al-Qur’an
Agama yang benar harus dibawa oleh seorang utusan Tuhan, bukan oleh pendeta, raja, filsuf, atau guru spiritual. Keabsahan agama tergantung pada keabsahan pembawanya.
Konsisten dan Tidak Kontradiktif
Agama yang benar tidak bertentangan dengan logika sehat, tidak mengandung kontradiksi ajaran, dan mampu menjelaskan realitas secara konsisten. Allah berfirman:
“Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an? Sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati banyak pertentangan di dalamnya.” (QS. An-Nisa: 82).
Kontradiksi yang banyak dijumpai dalam teks-teks agama lain—terutama dalam versi-versi Injil—menjadi bukti bahwa ajaran tersebut telah mengalami distorsi. Dalam studi perbandingan agama, ini disebut sebagai textual corruption (kerusakan teks).
Baca Juga: Peran Orangtua dan Umara dalam Pembebasan Al-Aqsa dan Palestina
Diterima Akal Sehat dan Ilmu Pengetahuan
Agama yang benar tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Bahkan, ia harus mendorong kemajuan ilmu dan akal. Banyak ilmuwan Muslim awal seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Al-Khawarizmi adalah bukti bahwa Islam selaras dengan ilmu dan teknologi. Al-Qur’an bahkan mengajak manusia untuk berpikir dan meneliti, sebagaimana dalam banyak ayat yang menggunakan kata “afala tatafakkarun” (tidakkah kalian berpikir?).
Menurut Dr. Gary Miller, mantan pendeta Kristen yang masuk Islam, Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang secara terbuka menantang pembacanya untuk membuktikan kebenarannya secara ilmiah dan logis.
Mendorong Perdamaian dan Keadilan
Baca Juga: Hijrah Rasulullah sebagai Langkah Strategis Menuju Pembebasan Masjid Al-Aqsa dan Palestina
Agama yang benar membawa kedamaian dan keadilan, bukan kekacauan. Agama yang menghalalkan diskriminasi, penindasan, atau kekerasan atas nama Tuhan adalah agama yang telah menyimpang. Islam, dalam ajarannya yang orisinal, mengedepankan keadilan:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat ihsan…” (QS. An-Nahl: 90).
Para ulama seperti Syaikh Yusuf al-Qaradawi dan Prof. Hamid Fahmi Zarkasyi juga menekankan bahwa agama yang benar adalah yang membela hak asasi manusia dan memuliakan martabat kemanusiaan, bukan justru mencabutnya.
Menyentuh Kalbu dan Menenangkan Jiwa
Ciri terakhir dari agama yang benar adalah mampu menghadirkan ketenangan batin. Seorang pemikir seperti Syed Naquib al-Attas mengatakan bahwa tujuan utama agama adalah “pembebasan jiwa manusia dari kehinaan dunia menuju cahaya Tuhan.” Islam menjanjikan ketenangan itu:
Baca Juga: Berjama’ah Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa dan Palestina
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Banyak mualaf dari berbagai latar belakang menyatakan bahwa Islam memberi mereka arah, tujuan hidup, dan ketenangan jiwa yang tidak mereka temukan dalam agama sebelumnya.
Penutup yang Mengesankan
Di tengah kebingungan spiritual dan relativisme agama yang melanda dunia modern, mencari kebenaran agama menjadi tugas setiap jiwa yang haus akan makna. Agama yang benar bukan sekadar sebagai warisan, melainkan hasil pencarian jujur, pemikiran mendalam, dan kerendahan hati di hadapan kebenaran yang absolut.
Baca Juga: Iman, Jihad, dan Hijrah: Tiga Pilar Tegaknya Kalimatullah
Islam, dengan tauhidnya yang murni, wahyunya yang terjaga, logikanya yang kuat, serta pengaruhnya yang mendalam dalam kehidupan manusia, hadir sebagai jawaban atas kegelisahan manusia sepanjang zaman.
Sebagaimana pepatah Arab mengatakan, “Al-haqqu yazharu wa in lam yurid an-nasu” – kebenaran pasti akan tampak, meskipun banyak manusia enggan menerimanya.
Maka, berbahagialah mereka yang menemukan dan memeluk agama yang benar sebelum maut menjemput, karena di sanalah letak keselamatan hakiki. []
Mi’raj News Agency (MINA)