Gurat wajahnya menunjukkan usianya telah menua, namun tidak menghalangi kelincahannya beraktivitas. Jemarinya terlihat lihai meracik bumbu dan mengolah bahan makanan hingga menjadi sajian bercita rasa. Lebih dari 30 tahun, Asrida (57) menjadi juru masak di sebuah rumah makan Padang sebagai usaha mencari nafkah keluarga.
Menjadi janda dengan empat anak tentunya tidak mudah bagi wanita Minang ini. Terlebih sejak suaminya meninggal 19 tahun silam, tepatnya saat anak bungsunya berusia 6 bulan, Asrida menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga. Dia harus membanting tulang untuk menjaga asap dapurnya agar terus mengepul.
“Dari bantu masak di rumah makan, biasanya digaji 175 ribu tiap minggunya,” jelas Asrida.
Asrida tinggal di pondok sederhana peninggalan orang tua di Jorong Tiga Batur, Nagari Sungai Tarab, Tanah Datar, Sumatera Barat. Di rumah kayu berukuran sekitar 4×6 meter dan beratapkan seng inilah Asrida membesarkan keempat anaknya dengan penuh perjuangan.
Baca Juga: Wamenag Sampaikan Komitmen Tingkatkan Kesejahteraan Guru dan Perbaiki Infrastruktur Pendidikan
Asrida tidak pernah patah arang menjalani hidup dalam himpitan kemiskinan. Wanita berjilbab ini berusaha tegar membesarkan anak dengan penuh kasih sayang. Meskipun dengan susah payah, dia berhasil menyekolahkan semua anaknya. Hanya saja, tidak semuanya bisa mengenyam pendidikan hingga tingkat lanjut.
“Anak pertama lulusan SD, kedua SMP, ketiga SMA sekarang sudah keja dan berkeluarga. Alhamdulillah ini si bungsu bisa lanjut kuliah di UGM,” ungkapnya penuh suka cita
Tak pernah terbayangkan oleh Asrida salah satu anaknya bisa mengenyam pendidikan hingga bangku perguruan tinggi. Putera bungsunya, Deki Putra Ananda, diterima di Program Studi Elektronika dan Instrumentasi (ELINS) FMIPA UGM melalui jalur SNMPTN Undangan. Deki mendapatkan beasiswa Bidikmisi sehingga dibebaskan dari biaya kuliah hingga delapan semester. Program bidikmisi ditujukan bagi pelajar berprestasi dari keluarga kurang mampu.
“Bersyukur sekali akhirnya apa yang diimpikan Deki untuk lanjut kuliah bisa terwujud. Soalnya sejak kecil sudah ingin kuliah, tapi waktu itu saya tidak memperbolehkan karena berat, biayanya banyak saya tidak sanggup,” paparnya dengan mata berkaca-kaca.
Baca Juga: Hari Guru, Kemenag Upayakan Sertifikasi Guru Tuntas dalam Dua Tahun
Melihat semangat dan kegigihan putera bungsunya dalam menggapai cita akhirnya meluluhkan hati Asrida. Dia pun merestui setiap langkah dan usaha Deki dalam mengejar mimpinya.
“Anaknya tekun belajar, dari SD sampai SMA selalu mendapat beasiswa sehingga meringankan beban keluarga,” katanya.
Bahkan saat duduk di kelas 3 SMA, Asrida sudah tidak pernah lagi mengeluarkan biaya untuk menghidupi puteranya itu. Deki menjadi salah satu anak asuh dari gurunya di SMA 1 Batusangkar, Tanah Datar.
“Tinggal di asrama sekolah dan biaya hidup semuanya ditanggung sekolah. Pulang kadang 1 bulan sekali, baru saya kasih uang saku 20 ribu,” ungkapnya.
Baca Juga: Program 100 Hari Kerja, Menteri Abdul Mu’ti Prioritaskan Kenaikan Gaji, Kesejahteraan Guru
Melepas Deki untuk mengejar mimpi di UGM tentunya tidaklah mudah bagi Asrida. Terselip rasa was-was dibenaknya bagaimana puteranya bisa bertahan di tanah perantauan. Namun, demi kebahagiaan dan masa depan yang lebih baik dia pun merelakan Deki untuk berangkat ke Yogyakarta.
“Semoga bisa lancar kuliahnya dan kelak bisa sukses serta mengangkat derajat keluarga,” harap Asrida.
Ingin Menjadi Insinyur
Hidup dalam keadaan pas-pasan, bahkan serba kekurangan, tak lantas menyurutkan semangat Deki dalam menggapai cita-cita. Justru keadaan tersebut menjadi pemicu bagi Deki untuk giat belajar dan berprestasi di sekolah. Hasilnya, sejak SD hingga SMA dia selalu masuk dalam posisi 4 besar di kelas.
Baca Juga: Delegasi Indonesia Raih Peringkat III MTQ Internasional di Malaysia
Ketika masih sekolah di SMA, Deki hanya diberikan uang saku pas-pasan untuk biaya ojek pulang pergi ke sekolah. Sementara untuk kebutuhan lainnya, Deki tidak pernah meminta banyak ke ibunya.
Pria kelahiran 15 Juni 1998 ini memiliki impian suatu saat kelak bisa menjadi insinyur kebanggaan Indonesia. Dia ingin meniru jejak BJ Habibie, sosok yang begitu menginspirasinya. Oleh sebab itu, dia memutuskan mengambil jurusan ELINS di UGM dengan harapan bisa menghantarkannya meraih cita-cita menjadi insinyur yang mampu mengharumkan nama bangsa.
“Bapak Habibie merupakan sosok idola saya. Kalau Pak Habibie dari ITB, maka saya ingin menjadi penerus Habibie dari UGM,” tuturnya.(T/R05/RS3)
(Sumber: Laman resmi UGM)
Baca Juga: Matahari Tepat di Katulistiwa 22 September
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Roma Sitio Raih Gelar Doktor dari Riset Jeruk Nipis