Oleh Bahron Ansori, jurnalis MINA
Ulama adalah teladan, pewaris para nabi. Karena itu banyak keteladanan dari para ulama yang bisa diambil oleh setiap muslim untuk dijadikan teladan dalam mengisi kehidupannya.
Allah SWT menyebut ulama sebagai kelompok manusia yang paling punya rasa takut hanya kepada-Nya. Seperti disebut dalam Qur’an surat Fathir ayat 28,
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
“Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun.”
Allah juga menjanjikan akan mengangkat derajat kaum alim ini lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok manusia yang lain. Seperti difirmankan oleh Allah Ta’ala dalam Qur’an surat Al Mujadilah ayat 11,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Bukan hanya Allah yang memuji para ulama lewat al Qur’an, tapi juga Nabi SAW memuji para ulama dalam sabda-sabdanya yang mulia. Antara lain berikut ini.
«إِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ»
“Sesungguhnya perumpamaan orang alim dibandingkan ahli ibadah laksana keunggulan bulan pada malam purnama di atas seluruh bintang, dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi…” (HR. Abu Daud).
Ulama yang taat pada Allah kelak juga diberikan ‘fasilitas’ istimewa di Hari Kiamat, bisa memberikan syafaat. Nabi SAW bersabda,
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
« يَشْفَعُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَلاَثَةٌ الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْعُلَمَاءُ ثُمَّ الشُّهَدَاءُ »
“Yang memberikan syafaat pada Hari Kiamat ada tiga golongan; para nabi lalu ulama kemudian syuhada.” (HR. Ibnu Majah).
Begitulah di antara keistimewaan para ulama dibanding manusia lainnya. Jadi, bukan tanpa alasan mengapa Allah dan Rasul-Nya memberikan pujian sangat istimewa beserta fasilitas yang luar biasa. Para ulama memiliki keunggulan pribadi melampaui kesalehan manusia umumnya.
Imam Ahmad misalnya dikisahkan tidak pernah melewati qiyamul lail setiap hari dengan beratus rakaat. Keberaniannya pun dalam menegakkan kebenaran syariat banyak diceritakan dalam beberapa riwayat.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Beramar maruf nahiy mungkar tak bisa dihentikan dengan sogokan dunia atau pedihnya cemeti dan ancaman mati. Imam Abu Hanifah menyongsong ajalnya di penjara dalam usia lanjut dalam keadaan istiqomah mengucapkan kalimat al-haq di hadapan penguasa zalim. Beliau wafat setelah diracun oleh antek-antek para penguasa zalim.
Karenanya alangkah indah ketika setiap muslim bisa mengikuti jejak para ulama yang mukhlis ini. Karena mereka adalah pewaris para nabi, maka selalu ada bertebaran mutiara-mutiara dalam setiap gerak gerik mereka. Berikut ini adalah lima kebiasaan dahsyat para ulama yang patut dijadikan cermin amal bagi para pengemban dakwah.
Pertama, pemburu ilmu. Sudah jelas namanya ulama pasti gemar mencari ilmu. Bukan ulama jika mereka tidak gemar menuntut ilmu. Sebab para ulama benar-benar memahami ilmu adalah pilar utama dalam menegakkan agama Allah di muka bumi ini untuk mendapatkan sukses dunia akhirat.
Imam an-Nawawi berucap, “Siapa yang ingin mendapatkan bagian dunia maka wajib atasnya ilmu, siapa yang ingin mendapatkan akhirat maka wajib atasnya ilmu, dan siapa yang menginginkan keduanya wajib atasnya ilmu.”
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Telusurilah kisah para ulama dan ilmu, maka kita akan tercengang, takjub dan malu pada diri sendiri. Sungguh, kita belum ada apa-apanya dibandingkan himmah (semangat) kuat para ulama dalam memburu ilmu.
Perhatikan apa yang diceritakan seorang alim bernama Ibnu Thahir al-Maqdisy? Katanya, “Aku dua kali kencing darah dalam menuntut ilmu hadits, sekali di Baghdad dan sekali di Mekkah. Aku berjalan bertelanjang kaki di panas terik matahari dan tidak berkendaraan dalam menuntut ilmu hadits sambil memanggul kitab-kitab di punggungku.”
Mengantuk di majlis ilmu? Di halaqoh? Ini resep Ibnu Jahm; Ia justru membaca buku manakala merasakan kantuk, dan itu kemudian menghilangkan rasa kantuknya sama sekali.
Sungguh berbanding terbalik dengan kebanyakan kita hari ini. Kita ingin di mata Allah, Nabi SAW dan kaum muslimin dikenang sebagai pengemban dakwah, tapi tak mau menanggung kepayahan dalam mencari ilmu. Mudah mencari dalih agar tidak hadir dalam majlis-majlis ilmu, dan sebaliknya malah bersemangat tidak hadir bila memang tidak diwajibkan pada majlis-majlis ilmu. Jauuuuh dari habit para ulama.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Malu juga diri kita mengaku pengemban dakwah tapi pelit mengeluarkan uang untuk meraih ilmu. Malas membeli buku, enggan keluar uang untuk ongkos berangkat ke majlis ilmu? Tahukah, Anda, ada seorang alim bernama Al-Hafidz Abul ‘Alaa a-Hamadzaaniy menjual rumahnya seharga 60 dinar hanya untuk untuk membeli kitab-kitab Ibnul Jawaaliiqy.
Kedua, giat dalam beribadah. Para ulama itu ahli ibadah, wajib maupun sunnah. Bagaimana dengan kita yang katanya seorang dai tapi masih malas mengerjakan ibadah wajib dan melalaikan amalan sunnah. Padahal berdakwah menegakkan dienullah dan senantiasa mengharapkan pertolongan Allah, lalu bagaimana bisa mendapatkan semua itu bila sebaliknya justru jauh dari Allah?
Para ulama adalah sosok yang begitu lekat dengan amal ibadah, baik yang fardhu maupun yang sunnah. Misalnya dalam kewajiban yang sederhana, shalat berjamaah. Seorang ulama bernama Said bin Abdul Aziz selalu menangis jika ketinggalan shalat berjama’ah.
Sa’id ibn al-Musayyab selama empat puluh tahun selalu mengerjakan shalat di masjid. Al-A’masy selama hampir 70 tahun tidak pernah tertinggal takbiratul ihram ketika shalat berjamaah. Bagaimana dengan para pengemban dakwah?
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Amal para ulama adalah amal yang berkualitas, bukan amal gampangan. Saib bin Yazid mengatakan, “Umar bin al-Khaththab memerintahkan Ubay bin Ka’b dan Tamim Ad Dariy qiyam (Ramadhan) untuk orang-orang dengan sebelas rakaat.”
Saib berkata, “al-Qari (imam) membaca ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar.”
Ketiga, tidak pernah bersekutu atau mendukung kemungkaran. Ulama bukanlah orang yang bersembunyi di balik kitab atau majlis mereka dalam menyuarakan kebenaran. Ulama bahkan sosok yang berada di garda terdepan menyuarakan kebenaran dan menantang kemungkaran. Hal itu mereka lakukan tidak secara sembunyi-sembunyi, tapi justru terbuka di hadapan umat.
Mereka memahami kewajiban taat pada para khalifah, tetapi mereka juga tidak sungkan mengeritik secara terbuka para pemimpin. Seperti yang dilakukan Imam Ahmad bin Hanbal mengoreksi kekeliruan Khalifah al-Ma’mun yang mengadopsi pendapat Mu’tazilah dalam masalah akidah. Menyatakan al-Qur’an adalah mahluk. Maka Imam Ahmad dan sejumlah ulama berdiri menentang pendapat tersebut, meski harus menanggung resiko dipenjara dan disiksa.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Abu Hanifah pernah menolak jabatan yang ditawarkan Abu Ja’far al-Manshur dan menolak uang 10 ribu dirham yang akan diberikan kepadanya. Kemudian ia ditanya oleh seseorang, “Apa yang Anda berikan kepada keluarga Anda, padahal Anda telah berkeluarga.” Beliau menjawab, ”Keluargaku kuserahkan kepada Allah. Sebulan aku cukup hidup dengan 2 dirham saja.”
Akibat penolakannya itu ia dipenjara dan disiksa, padahal usianya sudah lanjut. Namun, ia memilih penjara ketimbang melumuri diri dengan kemungkaran.
Keempat, rendah hati di hadapan kebenaran. Suatu ketika Imam Abu Hanifah menasihati seorang anak kecil yang sedang bermain tanah, “Hati-hati nak, nanti engkau bisa tergelincir.”
Namun, si anak yang tahu ia berhadapan dengan Imam Abu Hanifah justru balas memberikan nasihat yang tajam kepadanya,
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan
إِيَّاكَ أَنْتَ مِنَ السُّقُوط، لِأَنَّ سُقُوطَ الْعَالِمِ سُقُوطُ الْعَالَمِ
“Andalah yang harus berhati-hati dari kejatuhan, karena jatuhnya seorang alim adalah kejatuhan bagi dunia!”
Semenjak mendapatkan nasihat dari anak tersebut Imam Abu Hanifah dikabarkan selalu berhati-hati bila memberikan fatwa. Allahuakbar…betapa rendah hatinya Imam Abu Hanifah ini. Tidak merasa sombong ketika dinasehati anak kecil sekalipun. Bagaimana dengan para pengemban dakwah hari ini?
Ulama adalah hamba Allah yang sangat paham bahwa tinggi hati adalah musuh ilmu dan kebenaran, seperti air bermusuhan dengan dataran tinggi tak mungkin air menuju ke sana. Begitulah para ulama, berhati rendah meski harus menerima kebenaran meski dari seorang anak kecil.
Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina
Kelima, rasa takutnya hanya kepada Allah. Seperti yang disifatkan Allah pada mereka, ulama adalah “manusia yang paling takut hanya kepada Allah.” Banyak kisah mereka yang mudah menangis bila mengingat kematian, surga dan neraka dan kebesaran Allah SWT.
Di antara mereka ada yang lebih suka amal menangis ketimbang berinfak. Misalnya Ka’ab bin al-Ahbar berkata, ”Sesungguhnya mengalirnya air mataku sehingga membasahi kedua pipiku karena takut kepada Allah itu lebih aku sukai daripada aku berinfak emas yang besarnya seukuran tubuhku.”
Para ulama bisa menangis kapan saja dan dimana saja bila sudah mengingat Allah SWT, surga dan neraka. Abu Musa al-Asya’ri radhyallahu’anhu suatu ketika memberikan khutbah di Bashrah, dan di dalam khutbahnya dia bercerita tentang neraka. Maka beliau pun menangis sampai-sampai air matanya membasahi mimbar. Dan pada hari itu orang-orang (yang mendengarkan) pun menangis dengan tangisan yang amat dalam.
Masya Allah, ini baru sekelumit karakter para ulama. Belum lagi soal hidup sederhana, pemurah, ramah, bersahabat, menghormati yang lebih tua, dsb. Mari miliki sifat-sifat ulama, agar Allah mudahkan turunnya pertolongan kepada kita dan dakwah yang tengah diemban ini. Miliki keyakinan seperti keyakinan para ulama bahwa tak ada yang bisa memberikan pertolongan melainkan hanya Allah. Allah-lah akhir tujuan hidup kita. Dialah tempat meminta segala kebaikan dan kebahagiaan, wallahua’lam.(A/RS3/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)