Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

INSIDEN TOLIKARA, MEMBUKA MATA MENEBAR PEDULI

IT MINA - Senin, 27 Juli 2015 - 16:44 WIB

Senin, 27 Juli 2015 - 16:44 WIB

680 Views

Foto: Bimas.Kemenag.
Foto: Bimas.Kemenag.

Foto: Bimas.Kemenag.

Oleh: Fuad Nasar, Wakil Sekretaris BAZNAS

Sebuah kabupaten di Provinsi Papua yaitu Kabupaten Tolikara yang sebelumnya jarang disebut, tiba-tiba menjadi headlines berita di media cetak, elektronik dan media sosial. Pada Idul Fitri 1 Syawal 1436 H – 17 Juli 2015 umat Islam yang sedang melaksanakan shalat hari raya di Distrik Karubaga, Tolikara, diserang oleh sekelompok massa agama lain. Insiden menimbulkan bentrok fisik antara massa penyerang dengan aparat keamanan yang memicu  pembakaran kios pedagang, masjid serta rumah penduduk di sekitar lapangan tempat shalat Idul Fitri.

Simpang-siur berita media soal pembakaran masjid atau mushalla, terjawab dengan laporan anggota Tim Pencari Fakta dari Komite Umat Untuk Tolikara (KOMAT) bahwa yang terbakar memang masjid. Sesuai kondisi setempat untuk kemudahan perizinan dan keamanan dakwah tidak disebut masjid, melainkan mushalla. Tetapi dalam status wakaf dan papan nama tertulis Masjid Baitul Muttaqin.     Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menyatakan sikap mengutuk kejadian tersebut dan menghimbau masyarakat untuk tidak terpancing dan terprovokasi serta mengharapkan masyarakat bisa menahan diri dan menunggu proses penyelidikan kasus ini hingga selesai. MUI meminta media memberitakan insiden Tolikara sesuai fakta.

Pasca insiden Tolikara banyak pejabat yang mengeluarkan pernyataan beda-beda karena tidak berangkat dari persepsi yang sama. Suara aktivis pegiat HAM (Hak Asasi Manusia) dan sorotan dunia internasional tidak heboh, mungkin karena yang jadi korban adalah umat Islam yang bisa membela diri. Dalam kaitan ini perlu diantisipasi campur tangan asing dan gerakan separatis Papua Merdeka. Mengutip kata Prof. Dr. Mahfud MD, “Peristiwa Tolikara menghadapkan kita pada dilemma. Kasusnya sendiri jelas, tapi secara politik sulit diselesaikan secara apa adanya karena bisa makin rumit.” Papua merupakan pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland di Denmark dan memiliki kekayaan sumber daya alam berlimpah.

Baca Juga: [WAWANCARA EKSKLUSIF] Ketua Pusat Kebudayaan Al-Quds Apresiasi Bulan Solidaritas Palestina

Islam bukan agama yang baru di Pulau Papua, yang dulu Irian Barat dan kemudian Irian Jaya. Islam telah hadir di Papua sejak abad XV M, sedangkan Kristen masuk ke Papua pertengahan abad XIX. Data sejarah menunjukkan umat Islam merupakan pendatang awal sebelum kehadiran missionaris pertama kali tahun 1855. Di masa kolonial Belanda ketika Papua masuk wilayah Kesultanan Ternate, telah ada Raja Papua yang beragama Islam. Tetapi belakangan, kesan yang dimunculkan ialah keberadaan Muslim di Papua seolah identik dengan pendatang.

Pelajaran dari insiden Tolikara, pertama-tama ialah menyangkut toleransi dan kerukunan beragama. Saya membaca pernyataan pimpinan Pemuda Muhammadiyah, Lukman Harun (alm), di awal Orde Baru mengatakan, “Janganlah hanya umat Islam saja yang disuruh toleran, sekarang kalau orang bicara tentang toleransi seolah-olah hanya ditujukan pada umat Islam.” Toleransi dan kerukunan harus dibangun “timbal balik” di antara semua umat beragama. Toleransi yang dalam Islam disebut tasamuh, seperti dulu dipraktikkan Nabi Muhammad, bukan dalam arti harus membenarkan atau mesti mengakui kebenaran agama lain, tetapi tasamuh dalam pengertian membiarkan dan tidak saling mengganggu.

Permasalahan yang terjadi antarumat beragama harus disikapi dalam kerangka berpikir berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Saya mencatat ucapan pakar hukum tata negara Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra saat pertemuan di kantornya belum lama ini, yang juga dihadiri Ketua Komnas HAM Prof. Dr. Hafid Abbas. Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan mantan Menteri Sekretaris itu mengungkapkan latar belakang kenapa otonomi daerah di kabupaten/kota, adalah untuk keselamatan Indonesia. Otonomi daerah di tingkat II didasarkan pertimbangan supaya Indonesia tidak lepas satu-satu. “Jadi, bukan untuk menciptakan “raja-raja kecil” di daerah atau menyuburkan primordialisme sempit. Peraturan Daerah yang diskriminatif terhadap agama dan umat Islam yang “minoritas” di Tolikara adalah bertentangan dengan Pancasila dan kemerdekaan menjalankan ibadat yang dijamin dalam UUD 1945,” katanya menegaskan.

Pelajaran kedua, insiden Tolikara merupakan tantangan dan ujian terhadap peran dan fungsi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk dan dibiayai pemerintah mulai dari tingkat pusat sampai kabupaten/kota seluruh Indonesia. Tanggungjawab menciptakan kedamaian dan toleransi di Tolikara tidak hanya kewajiban pihak yang menjadi korban, tetapi terlebih pihak yang melakukan tindakan intoleransi terhadap pemeluk agama lain.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan

Pelajaran berikutnya dari kasus Tolikara, mengingatkan umat Islam agar lebih peduli dengan tantangan dan medan dakwah di pedalaman. Papua merupakan medan dakwah yang menarik dan menantang. Saat ini jumlah umat Islam di seluruh Papua mencapai 900.000 jiwa dari total jumlah penduduk sekitar 2,4 juta jiwa atau sekitar 40 persen dari keseluruhan penduduk Papua. Adapun 60 persen sisanya merupakan gabungan pemeluk agama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan penganut kepercayaan Animisme yang kebanyakan penduduk asli di pedalaman.

Dakwah Islam di Papua masih tertinggal dibanding kegiatan missi agama lain, terutama sarana dan fasilitas pendukungnya. Sebagai contoh, missionaris asing memiliki pesawat terbang kecil untuk menjangkau wilayah-wilayah  yang sulit ditempuh dengan jalur darat. Untuk itu kita patut mengapresiasi para juru dakwah di Papua yang iqtiqamah mengibarkan panji-panji risalah Islam di bumi cendrawasih.

Solidaritas umat Islam Indonesia untuk Tolikara tidak cukup sekedar reaktif sesaat. Perjuangan dakwah menegakkan agama Allah dalam barisan yang rapi, solid dan teratur, tidak boleh kendur di tengah tantangan dan ujian dari manapun. Gerakan dakwah harus menyentuh dimensi persoalan yang substantif dan strategis dalam perspektif jangka panjang.

Ormas-ormas Islam patut mengevaluasi gerak dan langkah dalam berdakwah. Kerjasama dan kebersamaan antar-sesama elemen umat Islam harus lebih dikedepankan. Pengalaman yang kerap dijumpai, seperti  pernah dikemukakan oleh mantan Menteri Agama RI almarhum H. Munawir Sjadzali, MA, umat Islam sewaktu menghadapi musuh bersama mereka bersatu dan bahu-membahu, tetapi begitu musuh bersama tumbang mereka mulai bertengkar satu dengan yang lain, sikap permusuhan, saling curiga, perebutan pengaruh serta membiarkan campur-tangan kekuatan-kekuatan luar.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya

Pada 19 Juli 2015 di Jakarta telah terbentuk Komite Umat Untuk Tolikara (KOMAT). Komite beranggotakan sejumlah aktivis Islam dan pengelola zakat. KOMAT bersinergi dengan BAZNAS, Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, Forum Zakat dan lainnya menggerakkan pengumpulan dana untuk membantu pembangunan fisik dan nonfisik di Tolikara. Kebutuhan dana pembangunan Masjid Baitul Muttaqin yang hangus terbakar diperkirakan Rp 15 Milyar. Gerakan kepedulian yang ber-tagline “Damai Tolikara Damai Papua” diharapkan mendorong rehabilitasi Tolikara lebih cepat, di samping bantuan dari pemerintah pusat.

Umat Islam menggalang kekuatan untuk mempertahankan diri melalui pengumpulan dana. Selain Tolikara, sebetulnya masih banyak komunitas Muslim di daerah pedalaman Provinsi Papua dan Papua Barat serta daerah lain yang kekurangan dana untuk pembangunan masjid atau mushalla, sarana pendidikan umat, pelayanan kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat.

Para aktivis Islam yang tergabung dalam KOMAT telah udiensi dengan Menteri Agama, Kapolri dan Panglima TNI. Pada 23 Juli 2015 KOMAT mengeluarkan  Pernyataan Sikap, antara lain: menolak pihak-pihak yang menghambat masuknya bantuan dari lembaga-lembaga kemanusiaan resmi dalam rangka pemulihan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di Tolikara, meminta semua ormas dan elemen masyarakat secara bersama menyalurkan bantuannya secara terkoordinasi melalui BAZNAS dan LAZNAS yang dikoordinasikan oleh FOZ. KOMAT menyatakan, semua pihak perlu mewaspadai kepentingan asing atau pihak lain yang tidak bertanggungjawab terhadap kedaulatan NKRI. TNI dan POLRI harus menindak unsur-unsur atau atribut yang mengarah pada keterlibatan pihak asing.

Kegotong-royongan umat Islam pasca insiden Tolikara merupakan langkah yang positif. Dalam pelaksanaannya sebaiknya berdayakan organisasi Islam setempat yang berhadapan dengan kondisi riil di lapangan. Umat Islam dan penduduk Muslim Papua, apalagi penduduk asli, harus diserahi tanggungjawab untuk membangun kembali masjidnya, membangun pasar serta menata kehidupan sosial budaya dengan kearifan lokal. Lembaga  dari luar cukup berperan dalam pengumpulan dana. Dakwah Islam di tengah  suku bangsa asli  Papua harus melahirkan generasi Muslim terpelajar yang berkemajuan dan sanggup membangun tanah tumpah darahnya.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Kepedulian umat dalam kerangka dakwah tidak boleh berhenti di Tolikara. Hakikat dakwah bukan semata-mata untuk menambah jumlah pemeluk Islam. Dakwah Islam membawa misi memperjuangkan dan mengupayakan peningkatan kualitas hidup manusia di segala bidang dan memperbaiki kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik sesuai pedoman hidup yang digariskan dalam Al Quran dan Sunnah Nabi.

Masalah Tolikara harus ditangani secara serius dan tuntas. Proses hukum harus bisa mengungkap dan mengadili aktor intelektual dan pelaku teror secara adil dan transparan. Kasus ini tidak boleh menjadi preseden buruk yang meruntuhkan sendi-sendi kerukunan antarumat beragama.  Pemerintah sebagai representasi negara harus hadir memberi rasa aman dan ketenangan bagi umat Islam dalam beribadah, khususnya di daerah yang Muslimnya minoritas dan rawan konflik, sebagaimana umat Islam di daerah mayoritas Muslim telah memberikan hal yang sama terhadap umat beragama lain.

Menurut pegiat filantropi Islam, Arifin Purwakananta, “Tidak mudah mengkampanyekan damai dalam sistem masyarakat yang kering dan rapuh, bagai ranting yang mudah jadi kayu bakar.”

Hemat saya, kedamaian tidak bakal lenyap dari tanah Papua dan di tempat lain yang rawan konflik, apabila hukum dan keadilan benar-benar ditegakkan. Tanpa hukum dan keadilan memang sulit mempertahankan kedamaian. Kedamaian tanpa tegaknya hukum dan keadilan hanyalah kedamaian yang semu. Kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Wallahu a’lam bisshawab. (T/P010/P2)

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Sumber: Bimas. Islam Kemenag

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia