Di sebuah dusun kecil bernama Pasirangin, Kecamatan Cileungsi, Bogor, terdapat pemandangan yang mungkin terlewatkan oleh sebagian orang. Di balik dapur sederhana, dikelilingi tumpukan kayu bakar dan karung berisi daun cincau kering, Abdulloh—seorang pria muda dengan sorot mata penuh ketenangan dan kegigihan—setiap hari sibuk menyiapkan rezekinya yang unik. Sebuah rutinitas yang diam-diam menjadi bagian dari denyut kehidupan di dusun itu: pembuatan cincau.
Setiap hari, sekitar setengah jam setelah azan Subuh menggema dari Pondok Pesantren Al-Fatah, perapian di dapur Abdulloh—atau yang lebih dikenal dengan sapaan hangatnya, Mas Dul—mulai menyala. Api itu bukan sekadar alat masak, tetapi simbol semangat dan kerja keras yang tidak pernah padam. Sejak pukul 03.00 WIB, Mas Dul telah terjaga, menata kayu bakar dengan penuh kesabaran, menyiapkan adonan cincau yang menjadi sumber penghidupannya.
“Alhamdulillah, biasanya setengah sembilan pagi sudah selesai,” ujar Mas Dul sambil tersenyum tipis, meski lelah terlihat jelas di wajahnya. “Saat itulah saya bisa beristirahat sejenak, dan cincau siap diantar ke pasar,” lanjutnya kepada MINA pada akhir Agustus lalu. Senyum itu, meski sederhana, menyimpan kebanggaan tersendiri—sebuah kebanggaan dari keberhasilan menaklukkan hari demi hari dengan hasil keringatnya sendiri.
Setelah proses panjang dan cermat di dapur, sebanyak 65 kaleng berisi cincau yang kenyal dan segar berjajar rapi di sudut dapur. Cincau itu tampak seperti hasil karya seni yang bukan hanya dibuat dengan tangan, tetapi juga dengan hati. Menjelang siang, Mas Dul memulai perjalanannya, mengantarkan cincau ke pasar, bertemu dengan para pelanggan setia yang sudah menanti hasil karyanya.
Baca Juga: Nelson Mandela, Pejuang Kemanusiaan dan Pembela Palestina
Namun, di balik kesederhanaan dapur dan produknya, tersimpan kisah panjang tentang perjuangan seorang pria yang tidak pernah menyerah pada keadaan. Tiga tahun lalu, ketika Mas Dul memulai usaha cincaunya, ia tak pernah menyangka bahwa jalan ini akan penuh liku dan tantangan. Datang dari Rimbo Bujang, sebuah daerah di provinsi Jambi, ia menginjakkan kaki di Cileungsi dengan harapan mengubah nasib.
Awalnya, semuanya tidak berjalan mulus. Berbagai resep ia coba, namun kegagalan kerap menghampirinya. Namun seperti sosok Si Doel dalam sinetron 90-an yang selalu mencoba, Mas Dul pun tak kenal lelah. Setiap kegagalan ia jadikan pelajaran, hingga akhirnya ia menemukan resep yang tepat dari seorang kenalan lama yang mengajarinya rahasia membuat cincau berkualitas.
Seiring berjalannya waktu, usaha cincau Mas Dul bukan hanya menjadi mata pencaharian, tetapi juga simbol dari kegigihan seorang pria yang tidak pernah berhenti bermimpi. Setiap kaleng cincau yang diantarkan ke pasar mengandung kisah ketekunan, keteguhan, dan kerja keras. Mas Dul, dengan tangan kokoh dan hati yang penuh semangat, menjadikan setiap adonan cincaunya bukan sekadar makanan, tetapi juga cerita tentang pantang menyerah di tengah kerasnya kehidupan.
Tak jarang, Mas Dul harus menghadapi rintangan yang tidak mudah. Kadang cuaca tak bersahabat, kadang kayu bakar tak cukup untuk menyelesaikan proses memasak cincau. Namun, ia tetap berjalan. “Kalau sudah biasa, pasti bisa,” katanya sambil tertawa kecil. Baginya, tantangan itu adalah bagian dari kehidupan, sesuatu yang harus dijalani dengan sabar dan tawakal.
Baca Juga: Kisah Muchdir, Rela tak Kuliah Demi Merintis Kampung Muhajirun
Kini, cincau Mas Dul sudah dikenal oleh banyak orang, bukan hanya di Pasirangin, tetapi juga di daerah sekitar. Usahanya semakin berkembang, dan pelanggan setianya terus bertambah. Bukan hanya karena cincau yang ia hasilkan enak dan kenyal, tetapi juga karena kisah di balik setiap kaleng cincau yang ia bawa. Kisah seorang pria yang berani bermimpi besar di tengah kesederhanaan.
Setiap kali melihat Mas Dul melangkah membawa cincaunya ke pasar, banyak orang terinspirasi oleh ketekunannya. Ia bukan hanya seorang pengusaha kecil, tetapi juga seorang pejuang kehidupan. Kisahnya adalah contoh nyata bahwa di balik usaha sederhana, terdapat tekad yang luar biasa. Mas Dul telah menunjukkan bahwa kerja keras, ketulusan, dan kegigihan adalah kunci untuk mencapai kesuksesan.
Dusun Pasirangin mungkin kecil dan tersembunyi, tetapi dari dapur sederhana Mas Dul, kita belajar bahwa setiap orang punya cahaya yang bisa menyala di tengah kegelapan. Dan bagi Mas Dul, cahaya itu ada dalam setiap potongan cincau yang ia buat, menghidupkan harapan di setiap pagi.
Kisah Dul Bujang
Baca Juga: Bashar Assad Akhir Rezim Suriah yang Berkuasa Separuh Abad
Abdulloh yang akrab disapa Dul ini, lahir pada 10 Agustus 1983 di Sitiung, sebuah kampung kecil di Rimbo Bujang, Jambi. Masyarakat di sana sebagian besar hidup dari perkebunan, hutan, dan pertanian. Dul tumbuh dalam keluarga yang hangat meski hidup mereka sederhana.
Orangtuanya, Hisyam bin Damiri, mengirimnya ke Pondok Pesantren Al-Fatah di Lampung Selatan untuk belajar agama. Di pesantren, Dul menghadapi banyak kesulitan. Ia kerap merindukan kampung halaman dan hidup dalam kondisi terbatas. Meski banyak teman-temannya menerima kiriman dari rumah, Dul sering tak menerima apa-apa karena kondisi ekonomi keluarganya. Untuk membantu dirinya, Dul bekerja sambilan membersihkan ladang di sekitar pesantren. Meski upahnya tak seberapa, hal ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kecilnya.
Setelah lulus, Dul tidak bisa mengambil ijazah karena masih ada tunggakan biaya. Dengan berat hati, ia merantau ke Jakarta dan sempat bekerja sebagai pengurus masjid di Bekasi. Dari sini, Dul mulai mengumpulkan uang sedikit demi sedikit hingga akhirnya ia bisa melunasi biaya pesantren dan mengambil ijazahnya.
Di Jakarta, Dul juga bekerja di Caterpillar, sebuah perusahaan alat berat. Pada saat bersamaan, ia bertemu dengan Ustaz Heri Junianto, yang membantunya merintis usaha jeli. Dul bekerja keras mengantar produk jeli di malam hari dan kembali bekerja di Caterpillar pada siang hari, meski sering merasa kelelahan.
Baca Juga: Nama-nama Perempuan Pejuang Palestina
Berbagai pengalaman hidup yang keras membuat Dul semakin kuat dan mandiri. Setelah mencoba berbagai pekerjaan, termasuk berdagang empek-empek yang gagal, Dul akhirnya berhasil menemukan kesuksesan dengan usaha cincau. Bersama istri tercintanya, Masfufah Hasanah, Dul terus melanjutkan usahanya dengan prinsip hidup sederhana, “Saya jalani saja, hasilnya Allah yang menentukan.”[Arif Ramdan]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Sosok Abu Mohammed al-Jawlani, Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham