Jakarta, MINA – Institusi keagamaan didorong menjadi penggerak perlindungan hutan tropis di Indonesia yang tengah menghadapi ancaman serius akibat deforasi, krisis iklim, dan melemahnya perlindungan hak masyarakat adat.
Hal tersebut menjadi salah satu agenda pembahasan pada peluncuran Panduan Ajaran Agama dan Buku Rumah Ibadah pada lokakarya yang digelar Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia berkolaborasi dengan Majelis Lingkungan Hidup (MLH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Selasa (22/7) di Aula Lantai 6 Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta.
Kegiatan yang dihadiri lebih dari 100 peserta secara luring dan daring, mulai dari pengurus pusat hingga daerah Muhammadiyah. Mereka berkumpul dalam upaya bersama memperkuat peran institusi keagamaan sebagai motor penggerak perlindungan hutan tropis dan hak-hak masyarakat adat.
“Panduan ajaran agama ini bukan hanya sekadar dokumen, tetapi seruan spiritual bagi seluruh umat beriman untuk menjaga ciptaan Tuhan yang kian terancam,” kata Dr. Ir. Gatot Supangkat, MP., IPM, anggota Dewan Penasihat IRI Indonesia-Muhammadiyah, saat memberikan sambutan.
Baca Juga: Skandal Beras Premium Palsu, MUI: Dosa Besar dan Haram Hukumnya
Dr. Hayu Prabowo, Fasilitator Nasional IRI Indonesia, menekankan bahwa solusi berbasis sains dan teknologi belum cukup tanpa kekuatan nilai agama untuk menggerakkan masyarakat.
“Lebih dari 95% bencana di Indonesia berkaitan dengan krisis iklim yang diperparah oleh deforestasi. Perlindungan hutan tropis memerlukan suara moral yang kuat agar perubahan perilaku dapat terwujud,” ujarnya.
Sementara itu, M. Azrul Tanjung, S.E., M.Si, Ketua MLH PP Muhammadiyah, mengajak seluruh rumah ibadah untuk menjadi pusat edukasi dan advokasi ekologis.
Menurutnya, rumah ibadah memiliki potensi besar sebagai ruang transformasi sosial, bukan hanya tempat ritual keagamaan.
Baca Juga: Gubernur Abdul Wahid: Viralnya Pacu Jalur Jadi Titik Balik Promosi Budaya Riau
Dalam sesi panel, Dr. Agus Djamil memaparkan isi Panduan Ajaran Agama yang dirancang untuk membantu pemuka agama memahami posisi ajaran keimanan terhadap isu lingkungan.
“Rumah ibadah harus menjadi pusat perubahan, bukan sekadar tempat khotbah,” tegasnya.
Dr. Ir. Mulyanto Darmawan, M.Sc, narasumber lainnya, menggarisbawahi keterkaitan antara kerusakan hutan dan krisis iklim global.
“Krisis iklim ini bukan hanya isu ekologis, tetapi juga krisis moral dan spiritual. Penyelamatan hutan adalah bagian dari upaya melindungi umat manusia secara menyeluruh,” ungkapnya.
Baca Juga: Peluang Beasiswa S2-S3 di Dalam dan Luar Negeri, Cek Infonya di Sini
Setelah sesi tanya jawab dan istirahat, peserta dibagi ke dalam tiga kelompok kerja tematik untuk merancang langkah implementasi konkret, mulai dari penyusunan modul pelatihan hingga strategi aktivasi rumah ibadah.
Diskusi yang dipandu Toto Tohari, S.Thi., M.Ag menghasilkan peta jalan integrasi panduan ke dalam khutbah, pendidikan, dan program komunitas keagamaan.
Lokakarya tersebut diakhiri dengan rencana aksi bersama untuk mendukung penyebaran materi panduan ke seluruh jaringan Majelis Agama dan komunitas lintas iman.
IRI Indonesia berkomitmen untuk terus memantau dampak implementasi dan memperluas jejaring komunikasi publik.
Baca Juga: Indonesia-Yordania Bahas Kerja Sama Pendidikan
Dengan lebih dari 10 juta hektare hutan primer yang hilang dalam dua dekade terakhir, pendekatan lintas agama yang memadukan sains dan etika spiritual diyakini menjadi solusi strategis.
Inisiatif tersebut menegaskan, penyelamatan hutan tropis bukan hanya tanggung jawab teknokrat atau aktivis lingkungan, tetapi juga panggilan iman bagi komunitas agama untuk mewujudkan keadilan ekologis.
“Tanpa hutan, tidak ada masa depan. Inilah saatnya komunitas agama menjadi garda terdepan dalam menjaga rumah bersama kita: bumi,” tegas Dr. Hayu menutup acara.[]
Baca Juga: Kemenag Buka Pelatihan Pustakawan dan Laboran Madrasah
Mi’raj News Agency (MINA)