IOM: Anak Pengungsi Rohingya Jadi Korban Eksploitasi dan Kerja Paksa

Anak-anak

Sebuah penyelidikan yang dilakukan oleh Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mengungkapkan banyak kasus dan perdagangan di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh, di mana anak-anak Rohingya menjadi sasaran kerja paksa, pemukulan dan serangan seksual.

IOM menemukan bahwa anak-anak pengungsi Rohingya bekerja dengan keras, namun mendapatkan pembayaran yang sedikit di Bangladesh. Tidak setimpal dengan beberapa pukulan dan penganiyayaan yang harus mereka terima.

Berikut ini adalah beberapa laporan yang ditemukan IOM terkait perlakukan tidak manusiawi yang harus dialami oleh pengungsi dari Rohingya di Bangladesh.

Sekitar 450.000 anak-anak, atau 55 persen dari populasi pengungsi, tinggal di kamp-kamp yang penuh sesak di Bangladesh setelah melarikan diri dari kekerasan dan penganiayaan di kampong halamannya Myanmar.

Sebagian besar pengungsi telah tiba dalam dua setengah bulan terakhir setelah militer Myanmar meluncurkan apa yang digambarkan oleh PBB sebagai “contoh buku teks pembersihan etnis” di Negara Bagian Rakhine yang mayoritas muslim Rohingya.

Temuan IOM didasarkan pada diskusi dengan kelompok penduduk setempat dan pendatang dengan jangka waktu cukup panjang baru-baru ini, dan wawancara terpisah oleh Reuters dan kelompok lain. Hasilnya menunjukkan bahwa anak-anak ditargetkan oleh predator, dan dalam banyak kasus, anak-anak itu didorong untuk bekerja dengan orang tua mereka yang malang di tengah malnutrisi dan kemiskinan yang meluas di kamp-kamp.

Pekerja Anak Laki-laki

Sementara itu, anak laki-laki Rohingya, terpaksa harus bekerja di luar kamp pengungsian. Mereka biasanya dipekerjakan di peternakan, lokasi konstruksi, kapal penangkap ikan, di toko teh bahkan ada yang bekerja sebagai penarik becak.

Muhammad Zubair, adalah satu di antara sekian banyak anak-anak lelaki yang harus bekerja di luar kamp. Zubair yang usianya antara 12 sampai 14 tahun dari kamp Kutupalong, mengatakan bahwa dia ditawari 250 taka atau setara dengan 3 dolar per hari. Namun, ia hanya mendapat bayaran 500 taka atau sekitar 6 dolar dengan waktu kerja 38 hari untuk membangun jalan.

“Mengangkat dan meletakkan batu bata di jalan adalah kerja keras,” katanya, sambil mengenang saat ia dianiaya oleh majikannya dan disuruh pergi karena meminta bayaran lebih.

Zubair lalu bekerja di sebuah toko teh selama sebulan. Dia bekerja dengan dua shift per hari dari pukul 6 pagi sampai lewat tengah malam, dengan waktu istirahat hanya empat jam di tengahnya.

“Ketika saya tidak dibayar, saya pergi. Saya takut karena saya pikir pemiliknya, akan datang ke sini bersama orang lain dan membawa saya lagi,” katanya.

Pekerja Anak Perempuan

Jika anak-anak lelaki bekerja di luar kamp, maka anak-anak gadis di kamp pengungsian biasanya dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga atau pengasuh untuk keluarga Bangladesh.

Salah satu orang tua Rohingya, yang tak ingin disebutkan namanya karena dia takut akan pembalasan, mengatakan, bahwa putrinya yang berusia 14 tahun sudah bekerja di Chittagong sebagai pembantu, tapi melarikan diri dari majikannya.

Ketika kembali ke kamp, ​​dia tidak bisa berjalan. Kata ibunya, majikannya di Bangladesh telah mengeksploitasi anak gadis itu secara fisik dan seksual.

IOM telah mendokumentasikan beberapa kasus serupa di mana pengungsi perempuan Rohingya mengalami pelecehan seksual, pemerkosaan dan dipaksa untuk menikah dengan orang yang memperkosanya.

Itulah mengapa, para orang tua pengungsi Rohingya, mendorong anak perempuannya menikah lebih awal, sebagai upaya untuk perlindungan dan stabilitas keuangan, sesuai dengan temuan IOM.

“Beberapa pengantin anak berusia belasan tahun,” keterangan laporan IOM.

Banyak wanita menjadi “istri kedua,” menurut data IOM. Tak heran, akhirnya mereka sering bercerai dengan cepat dan ditinggalkan tanpa dukungan ekonomi lebih lanjut.

Misalnya, seorang gadis berusia 21 tahun bernama Halima mengatakan bahwa dia telah dipaksa melakukan pelacuran oleh seorang pria Bangladesh setempat, yang telah bersumpah untuk menikahinya.

Setelah sampai di rumahnya di Cox’s Bazar, dia melihat tujuh sampai delapan gadis muda seperti dirinya sendiri. Halima mengatakan kepada BBC bahwa dia dipaksa melakukan seks setelah itu.

“Kami telah mendengar cerita tentang orang-orang yang datang dan menawarkannya kepada orang-orang, mencari anak yatim dan berkata, ‘Kami akan membawa Anda ke tempat yang aman,'” Zia Choudhury, direktur negara Bangladesh untuk kelompok kemanusiaan CARE, seperti dikutip ABC News.

“Mereka menawarkan pekerjaan kepada orang-orang untuk pergi dan bekerja sebagai pembersih atau pelayan, dan kami tahu bahwa mereka adalah gerombolan terorganisir yang akan membawa orang-orang yang rentan ini dan membawa mereka ke situasi yang lebih buruk,” tambahnya.

Kateryna Ardanyan, spesialis anti perdagangan manusia IOM, mengatakan bahwa eksploitasi telah “dinormalisasi” di kamp-kamp pengungsian.

“Pendanaan yang didedikasikan untuk melindungi pria Rohingya, wanita dan anak-anak dari eksploitasi dan pelecehan sangat dibutuhkan,” kata spesialis IOM itu.

Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menyarankan sebuah pendanaan inisiatif untuk mencegah eksploitasi tersebut.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres di New York pada hari Jumat (10/11) meminta pemerintah Myanmar untuk segera menghentikan kekerasan yang terus berlanjut terhadap Rohingya dan membiarkan mereka kembali ke tanah air leluhur mereka. (A/RS3/B05)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.