Teheran, Iran – Pemerintah Iran telah menolak klaim Israel yang menyatakan pihaknya berada di balik serangan terhadap sebuah kapal tanker Israel di lepas pantai Oman awal pekan ini, yang menewaskan dua awak kapal.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh mengutuk tuduhan itu dalam konferensi pers virtual pada Ahad (1/8).
Dia mengatakan, ini bukan pertama kalinya Israel membuat klaim seperti itu.
“Ke mana pun rezim Israel ini pergi, ia membawa ketidakamanan, teror, dan kekerasan dengan sendirinya. Mereka yang bertanggung jawab [atas serangan ini] adalah orang-orang yang membiarkan rezim Israel menginjakkan kaki di wilayah ini,” katanya, demikian AlJazeera melaporkan.
Baca Juga: Warga Palestina Bebas setelah 42 Tahun Mendekam di Penjara Suriah
“Siapa yang menabur angin akan menuai badai,” kata Khatibzadeh, seraya menambahkan bahwa Iran akan mempertahankan keamanan nasionalnya di mana pun diperlukan.
Kapal tanker minyak berbendera Liberia, Mercer Street, yang dikelola oleh perusahaan milik miliarder Israel Eyal Ofer, dihantam pada Kamis (29/7) malam, di timur laut pulau Masirah, Oman, dalam serangan pesawat tak berawak yang menewaskan seorang warga Rumania dan seorang warga Inggris.
Pejabat Israel, termasuk Perdana Menteri Naftali Bennet, menuduh Iran berada di balik serangan itu tetapi belum memberikan bukti.
Setelah serangan itu, kapal Angkatan Laut AS mengawal Mercer Street saat menuju ke pelabuhan yang aman.
Baca Juga: Faksi-Faksi Palestina di Suriah Bentuk Badan Aksi Nasional Bersama
Iran dan Israel sering saling menuduh selama bertahun-tahun serangan terhadap kepentingan, kapal dan fasilitas nuklir. Tetapi permusuhan mereka selama bertahun-tahun telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir, ketika kekuatan dunia mencoba menyelamatkan kesepakatan nuklir Iran 2015, yang jika berhasil akan mencabut sanksi keras AS terhadap Iran.
Insiden yang melibatkan Mercer Street itu terjadi beberapa hari sebelum Ebrahim Raisi dijadwalkan dilantik sebagai presiden kedelapan Iran.
Hakim garis keras itu telah berjanji untuk memulihkan kesepakatan, yang ditinggalkan secara sepihak oleh AS pada 2018, tetapi nasib kesepakatan itu masih belum jelas karena ada beberapa masalah utama belum terpecahkan.
Putaran pembicaraan ketujuh dan berpotensi final di ibu kota Austria, Wina, diperkirakan akan dimulai segera setelah Raisi menjabat. (T/R6/P1)
Baca Juga: Agresi Cepat dan Besar Israel di Suriah Saat Assad Digulingkan
Mi’raj News Agency (MINA)