Jakarta, MINA – Bioekonomi semakin dipandang sebagai solusi masa depan yang mampu menjawab tantangan global seperti krisis iklim, ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Dalam rangka mendorong percepatan transformasi bioekonomi, Prakarsa Lintas Agama untuk Hutan Tropis (Interfaith Rainforest Initiative/IRI) Indonesia menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Pengembangan Bioekonomi Indonesia”.
FGD tersebut digelar secara hibrida pada Jumat (10/1), di Kampus Indonesia Banking School, Jakarta. Kegiatan itu melibatkan berbagai pemangku kepentingan dari kalangan akademisi, pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal, hingga media.
Dr. Hayu Prabowo, Fasilitator Nasional IRI Indonesia sekaligus inisiator FGD tersebut, menekankan bahwa pengembangan bioekonomi tidak hanya soal memanfaatkan sumber daya hayati, tetapi juga memastikan keberlanjutan dan keadilan dalam prosesnya.
Baca Juga: Ponpes Al-Fatah Cileungsi, Bogor Adakan Tadrib Mudabbir
“Bioekonomi menawarkan cara baru dalam melihat sumber daya alam kita, bukan sebagai sesuatu yang hanya dieksploitasi, tetapi sebagai modal utama untuk membangun keberlanjutan yang memberikan manfaat bagi manusia dan alam secara harmonis,” ujarnya.
Menurut Hayu, keberhasilan transformasi bioekonomi Indonesia sangat bergantung pada pendekatan pentahelix yang melibatkan kolaborasi lintas sektor: akademisi, pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal, dan media.
“Pemerintah harus mampu menciptakan regulasi yang mendukung keberlanjutan. Akademisi memberikan landasan ilmiah melalui riset dan inovasi, sementara dunia usaha dan masyarakat lokal adalah motor penggerak utama dalam implementasi bioekonomi,” jelasnya.
Hayu juga menekankan pentingnya menjaga kearifan lokal dalam pengembangan bioekonomi. “Masyarakat adat dan lokal memiliki pengetahuan yang mendalam tentang pengelolaan sumber daya hayati. Mereka harus menjadi bagian inti dari rantai nilai bioekonomi, sehingga manfaat ekonomi yang dihasilkan dapat dirasakan secara adil oleh mereka,” tambahnya.
Baca Juga: Pemprov Jateng Tegas Soal Kepatuhan ASN Melaporkan LHKAN, Sanksi Potong Gaji Menanti
Dalam FGD ini, berbagai topik strategis dibahas, termasuk bagaimana dunia usaha dapat menciptakan model bisnis bioekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, serta bagaimana media dapat berperan dalam meningkatkan kesadaran publik dan mempromosikan potensi bioekonomi Indonesia.
Hayu juga menggarisbawahi perlunya perguruan tinggi berperan aktif dalam melahirkan inovasi teknologi yang bernilai komersial dan dapat dihilirisasi.
Menurutnya, hal ini sejalan dengan pendekatan Rainforest Social Business School yang mendorong integrasi bisnis berkelanjutan dengan inovasi, pendidikan interdisipliner, serta pemberdayaan masyarakat lokal untuk menciptakan solusi yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan berdampak sosial positif.
Acara ini dipandu oleh Juliarta Ottay dari Mandala Katalika (Manka) dengan pembicara lainnya Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, M,S, Guru Besar Ilmu Pelestarian Alam dan Pembinaan Margasatwa Fakultas Kehutanan IPB; Prof. Dr. Dedy Darnaedi, M.Sc., Peneliti Pusat Kajian Tumbuhan Tropika Universitas Nasional (UNAS); CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar; dan Abdon Nababan, mitra BUMMA (Badan Usaha Milik Masyarakat Adat).
Baca Juga: Virus HMPV Ditemukan di Indonesia, Komisi IX DPR Minta Masyarakat Tak Panik
Menurut Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, M,S, Guru Besar Ilmu Pelestarian Alam dan Pembinaan Margasatwa Fakultas Kehutanan IPB, Bioprospeksi adalah proses pemanfaatan sumber daya hayati, termasuk genetik dan materi biologis, untuk tujuan komersial.
Melalui tahapan riset, identifikasi, hingga komersialisasi, bioprospeksi mendukung pembangunan bioekonomi dan pelestarian biodiversitas.
“Dengan kolaborasi lintas sektor dan pengelolaan kawasan konservasi, bioprospeksi berpotensi mendorong inovasi produk, meningkatkan kesejahteraan, dan mendukung keberlanjutan ekonomi serta ekologi seperti yang menjadi skema bioekonomi,” ujar.
Dia berharap FGD ini menjadi momentum strategis untuk mempercepat pengembangan bioekonomi Indonesia berbasis bioprospeksi, sekaligus mendukung visi Indonesia Emas 2045.
Baca Juga: UGM dan KOBI Tolak Perluasan Perkebunan Sawit: Ancam Hutan dan Biodiversitas
“Indonesia harus berani menjadi pemimpin dalam bioprospeksi global, tidak hanya sebagai pemasok bahan mentah, tetapi juga sebagai inovator produk hayati berkelanjutan,” pungkas Prof. Alikodra.
Sementara Prof. Dr. Dedy Darnaedi, M.Sc., Peneliti Pusat Kajian Tumbuhan Tropika Universitas Nasional (UNAS), menyoroti pentingnya pemanfaatan sumber daya hayati secara berkelanjutan.
“Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, tetapi kondisinya tidak sedang baik-baik saja. Deforestasi yang masif dan konversi lahan menyebabkan kepunahan spesies dan erosi genetika yang mengancam keberlanjutan ekosistem,” tegas Prof Dedy.
Ia menyebutkan bahwa antara tahun 1990 hingga 2018, Indonesia telah kehilangan sekitar 33–34 juta hektare hutan. Hal ini berdampak pada rusaknya habitat flora dan fauna, serta berkurangnya kapasitas alam dalam menyediakan oksigen dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Baca Juga: Pemerintah Fokus Diplomasi Ekonomi, RI Menuju Negara Maju
Menurut Dedy, bioekonomi menjadi solusi konkret untuk menjaga kelestarian sumber daya hayati sambil tetap mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ia menekankan perlunya mengintegrasikan kearifan lokal (Indigenous Local Knowledge) dan ilmu pengetahuan modern dalam pemanfaatan sumber daya alam. “Kearifan lokal harus diapresiasi, bukan hanya sebagai pengetahuan tradisional, tetapi juga sebagai sumber inovasi dalam pengembangan produk berbasis hayati,” jelasnya.
Keberlanjutan dan Kemandirian Ekonomi
Sementara Abdon Nababan, mitra Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA), menegaskan pentingnya penguatan ekonomi berbasis komunitas adat melalui BUMMA.
Baca Juga: Menlu Sugiono Sebut Indonesia Siap Kirim Pasukan Perdamaian ke Palestina
Dia mengungkapkan, BUMMA diinisiasi sebagai lembaga ekonomi yang mengelola kekayaan masyarakat adat di wilayah adatnya dengan prinsip keberlanjutan dan kemandirian ekonomi.
Pembentukan BUMMA melibatkan 11 langkah, mulai dari menemukan pelopor hingga pengurusan legalitas. Di Papua, BUMMA dibentuk di tingkat suku, dengan Suku Namblong dan Mare sebagai model awal.
Abdon juga mengungkapkan bahwa masyarakat adat di Indonesia, khususnya di Tanah Papua, masih menghadapi tantangan besar, mulai dari pemiskinan struktural, perampasan hak atas tanah, hingga kerusakan ekosistem yang mengancam keberlanjutan hidup mereka.
Dia mengingatkan pentingnya sinergi antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat adat dalam mendukung pengembangan bioekonomi yang berkelanjutan.
Baca Juga: [Bedah Berita MINA] Tentara Israel Jadi Buruan di Berbagai Negara
“Perlindungan terbaik atas tanah leluhur adalah dengan mengelola dan memanfaatkannya secara berkelanjutan untuk kesejahteraan seluruh pemilik hak adat,” ujar Abdon.
Diskusi tersebut juga membahas bagaimana akademisi dapat berperan menciptakan inovasi teknologi yang memiliki nilai komersial, bagaimana dunia usaha dapat mengembangkan model bisnis bioekonomi yang inklusif, serta peran masyarakat lokal dalam pengembangan rantai nilai produksi. Selain itu, media juga diharapkan aktif dalam mempromosikan produk bioekonomi Indonesia kepada konsumen global.
“KOBUMI, social eco-enterprise lokal di Indonesia Timur, dimiliki oleh 10 koperasi di Papua dan Maluku bertujuan mendukung keberlanjutan program lingkungan dan bisnis. Keuntungan bisnis diinvestasikan kembali untuk pertumbuhan dan kesuksesan berkelanjutan. Berfokus pada pengembangan bioekonomi, KOBUMI mengintegrasikan keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan,” ungkap Mirajan, Business Development Manager KOBUMI/Econusa.
Juliarta Ottay menutup acara ini dengan mengusulkan untuk melakukan pertemuan rutin dengan host bergilir. Hal ini diharapkan mampu merumuskan langkah-langkah konkret dalam mendukung transformasi bioekonomi Indonesia menuju visi Indonesia Emas 2045. Melalui pendekatan berbasis keanekaragaman hayati dan kearifan lokal, Indonesia siap menghadirkan solusi global untuk menciptakan harmoni antara manusia dan alam.[]
Baca Juga: PWI Pusat Persiapkan Hari Pers Nasional 2025 di Riau
Mi’raj News Agency (MINA)