Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ISIS BUKAN KHILAFAH

Rifa Arifin - Senin, 16 November 2015 - 11:44 WIB

Senin, 16 November 2015 - 11:44 WIB

803 Views ㅤ

Isis-fighters-pictured-on-010.jpg">Isis-fighters-pictured-on-010-300x180.jpg" alt="" width="357" height="214" />Oleh Rifa Arifin, Wartawan Kantor Berita Islam (MINA)

ISIS adalah kelompok ekstrimis yang mengikuti ideologi garis keras Al-Qaidah dan menyimpang dari prinsip-prinsip jihad. Sebetulnya banyak kelompok jihad modern lainnya, Isis muncul mengikuti ekstrim anti-Barat yang menurutnya sebagai penafsiran Islam, mempromosikan kekerasan agama dan menganggap mereka yang tidak setuju dengan tafsirannya sebagai kafir dan murtad. Secara bersamaan ISIS bertujuan untuk mendirikan negara Islam salafi yang berorientasi di Irak, Suriah dan bagian dari negara Syam.

Selain faktor geopolitik di Timur Tengah yang memicu lahirnya Islamic State of Iraq and al-Sham (ISIS), persoalan yang tak boleh diabaikan umat Islam ialah ide negara Islam atau khilafah. Sebab, pelarangan ISIS tak otomatis membuat pahamnya mati di negeri ini. Ide tentang khilafah dan pemberlakuan syariah akan terus menjadi perdebatan panas sebelum relasi antara Islam dan negara selesai disepakati oleh semua umat Islam. ISIS, dalam aspek ini, menjadi pelajaran penting.

Kita tahu, sebagian elemen umat Islam di negeri ini berupaya menghidupkan kembali institusi yang disebut khilafah itu. Yang membedakan mereka dengan ISIS hanya dalam metode. ISIS memakai kekerasan; bahkan sangat brutal. Tapi tujuannya sama, bahkan epistemologi penafsirannya juga sama. Artinya, ada potensi besar untuk lahir pejuang semacam “mujahid” ISIS, dengan satu dan lain bentuk. Oleh karena itu, kritik ide dan counter-tafsir penting adanya.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Pada hemat saya, mendirikan negara Islam dan menerapkan syariah (sebenarnya syariah artinya “jalan” dan lebih terkait ke soal metode, bukan hukum formal), secara retoris, tidak masalah. Kalau Indonesia sekarang ini sudah dianggap negara Islam(i) dan syar’i, ya tidak masalah. Yang jadi masalah ialah isinya. Jika yang dipentingkan dari syariah adalah substansinya, yakni keadilan (yang disebut al-Quran sebagai “dekat kepada takwa”; aqrabu lit-taqwa), ya oke-oke saja.

Terlepas dari soal peristilahan itu, ide khilafah sebagaimana dipahami ISIS, juga sebagian gerakan Islam di negeri ini, jika dihidupkan kembali, maka artinya kita bergerak mundur, setback ke abad pertengahan. Beberapa institusi dalam khilafah adalah cerminan zamannya dan tak lagi kompatibel dengan era modern dan demokrasi.

Satu contoh terbaik ialah pemberlakuan jizyah (pajak kepala) dan non-Muslim dzimmi yang dianggap warga negara kelas dua. Praktek ini pernah berlaku di zaman khilafah dulu. ISIS memberlakukan hal itu kepada umat Kristen di Mosul, Irak, yang diberi hanya tiga pilihan jika mereka tetap berada di wilayah kekuasaan ISIS: masuk Islam, bayar jizyah, atau diperangi. Akhirnya, umat Kristen memilih keluar mengungsi dari Mosul.

Akibat lain dari ide khilafah, yang merupakan produk zamannya, ialah munculnya pemaksaan tafsir dari mazhab atau aliran tertentu jika mazhab itu memegang kekuasaan; sama dengan ketika Kristen-Katolik jadi mazhab negara Romawi dan aliran yang dianggap bidah (heresy) dipersekusi maka Kristen yang “tak resmi” juga Yahudi dulu lebih senang berada di bawah Daulah Islam yang menjami kebebesan beragama sementara ISIS kini adalah sebaliknya.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Perilaku ISIS adalah contoh manifestasi “negara” atau khilafah yang memaksakan tafsir. Dengan tafsirnya yang ultra-puritan, ISIS menghancurkan kuburan (karena dianggap sumber syirik), patung-patung pengenang figur-figur besar sejarah (karena disamakan dengan berhala), bahkan rumah ibadah agama lain. Padahal al-Quran (22:40) melarang mengusir orang dari kampungnya dan merusak rumah ibadah di mana disebut nama Allah di dalamnya—tindakan ISIS terhadap Kristiani Irak, dengan begitu, adalah pelanggaran terhadap ajaran al-Qur’an.

Di atas segalanya, perilaku ISIS sangat bertentangan dengan prinsip dasar nan jelas yang digariskan al-Quran: Tiada paksaan dalam beragama (la ikraha fid-din). Fenomena ISIS perlu jadi pelajaran tentang potensi bahaya radikalisasi agama dan penafsiran tekstual. Juga, tentang pondasi Indonesia yang, dalam soal relasi Islam-negara, secara teoritis sudah bagus. Mestinya negara-negara Timur Tengah yang perlu menengok Indonesia, bukan umat Islam Indonesia yang mencontoh atau bahkan membawa-bawa “virus” dari sana ke sini. (P013/R02)

Mi’raj Islamic News Agency

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Rekomendasi untuk Anda

Khadijah
MINA Health
Kolom
Kolom
Indonesia