Oleh: Nur Rahmiibu.jpg" alt="ibu" width="310" height="250" />
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّـاهُ وَبِالْوَلِدَيْنِ إِحْسَـناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيرًا(24)
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra’17:23-24)
Besarnya kasih sayang ibu terhadap anaknya, tak pernah terganti dan tak mampu kita membalasnya. Walau segala upaya kita lakukan dan kita perbuat untuknya, tidak akan pernah menandingi besarnya pengorbanan ibu.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Suatu hari, Ibnu Umar melihat seseorang yang sedang menggendong ibunya sambil thawaf mengelilingi Ka’bah. Orang tersebut lantas berkata kepadanya, “Wahai Ibnu Umar, menurut pendapatmu apakah aku sudah membalas kebaikan ibuku?”
Ibnu Umar menjawab, “Belum, meskipun sekadar satu nafas ibumu ketika melahirkanmu. Akan tetapi engkau sudah berbuat baik. Allah akan memberikan balasan yang banyak kepadamu terhadap sedikit amal yang engkau lakukan.” (Kitab al-Kabair karya adz-Dzahabi).
Subhanallah, begitu agungnya perjuangan seorang ibu. Pantas ketika sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada siapakah kita harus berbakti pertama kali? Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, Ibumu! sampai tiga kali, baru yang keempat Beliau menjawab ayahmu.
Sementara itu, pepatah kuno menggambarkan kasih seorang ibu terhadap anaknya sepanjang masa, tak ada batas waktunya, hingga ajal memisahkan keduanya. Segala upaya dilakukannya, hanya untuk membahagiakan anaknya meski ia harus bersusah payah, luka dan berdarah-darah. Bahagia, tawa, dan senyum, anaknya adalah bahagianya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-Kabair berkata: “Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan, seolah-olah sembilan tahun. Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya. Dan dia telah menyusuimu, dan ia hilangkan rasa mengantuknya karena menjagamu. Dan dia cuci kotoranmu dengan tangan kanannya, dia utamakan dirimu atas dirinya serta atas makanannya. Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu. Dia telah memberikanmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh, tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya, dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu, dan seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suara yang paling keras.
Pada zaman jahiliyah wanita tidak ada artinya bagi kalum lelaki, kecuali hanyalah pemuas hasrat dan birahi kaum lekaki. Sementara wanita tidak berdaya, keculi untuk tunduk terhadapnya. Namun, hal itu berubah derastis ketika Islam datang dengan al-Qur’an sebagai wahyu, dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Salam sebagai teladan sejati.
Al-Quran menempatkan wanita pada kedudukan yang sangat tinggi dan mulia. Al-Quran bertutur banyak tentang posisi wanita sebagai seorang Ibu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengambarkan tentang tingginya posisi itu, seolah-olah di sejajarkan dengan posisi-Nya.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِالْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا فَخُورًا (٣٦)
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan apa yang kamu miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. An-Nisa: 36)
Artinya, berbuat baiklah kalian kepada mereka dengan ucapan yang mulia, tutur kata yang lembut, dan perbuatan yang baik, dengan menaati perintah mereka berdua dan menjauhi larangan mereka, memberikan nafkah kepada mereka, memuliakan orang yang memiliki hubungan dengan mereka berdua, dan menyambung tali silaturahim, yang mana tidak akan ada kerabat bagimu kecuali dengan perantaraan mereka berdua.
Sebgaimana Allah berfirman, yang artinya: “Dan Kami perintahkan kepada semua manusia (supaya berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah, dan kemudian menyapihnya (dalam) dua tahun.” (QS. Luqman: 14).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan
Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Salam membandingkan antara shalat dan berbuat baik kepada orang tua (birrul walidain). Seorang sahabat pernah bertanya; ’’amal apa yang paling utama menurut engkau wahai Nabi? Beliau Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Salam menjawab: ’’shalat tepat pada waktunya. Lantas apa, tanya sahabat?’’, Nabi menjawab:’ berbuat baik kepada kedua orangtua” (birul walidain). Sahabat itu bertanya lagi:’’ lantas apa?, Nabi menjawab lagi: ’’Jihad di jalan Allah Saw.”” (Muttafaqun ‘Alaih)
Imam al-Qurtubi menuturkan, bahwa posisi birrul walidain itu menempati level kedua setelah shalat wajib, baru kemudian jihad.
Dalam keterangan lain, Nabi menuturkan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – “?رِضَى اللَّهِ فِي رِضَى الْوَالِدَيْنِ وَسَخَطُ اللَّهِ فِي سَخَطِ الْوَالِدَيْنِ?” ( أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ)
Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina
“Diriwayatkan dari Ibn Umar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Salam menuturkan:’’ Ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tua, dan murka Allah juga terletak pada murka kedua orang tua.” (H.R. Tirmidzi).
Surga Di telapak kaki ibu
Rasulullah Shalallhu ‘Alaihi Wa Salam bersabda yang artinya, “Hendaklah kamu berbuat baik kepada ibumu, kemudian ibumu, sekali lagi ibumu, kemudian bapakmu, kemudian orang yang terdekat, dan yang terdekat” [Hadits Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 3, Abu Dawud No. 5139 dan Tirmidzi 1897, Hakim 3/642 dan 4/150 dari Mu’awiyah bin Haidah, Ahmad 5/3,5 dan berkata Tirmidzi, “Hadits Hasan”]
Islam memandang besarnya pengorbanan seorang ibu, terbukti dari sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wa Salam. Dalam sebuah hadits yang lain menyebutkan bahwa surga berada di telapak kaki ibu.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-1] Amalan Bergantung pada Niat
اَلْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ الأُمَّهَاتِ، مَنْ شِئْنَ أَدْخَلْنَ وَ مَنْ شِئْنَ أَخْرَجْنَ
Surga itu di bawah telapak kaki ibu. (Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah, no. 593)
Begitulah sebuah ungkapan yang sering kita dengar untuk menggambarkan kedudukan ibu terlepas dari kontroversi kedudukan hadits tersebut di kalangan ulama.
Mampukah Kita Membalas Kebaikan Ibu?
Baca Juga: Enam Langkah Menjadi Pribadi yang Dirindukan
Dari beberapa hadits di atas, sudah barang tentu kita bisa menjawab pertanyaan itu. Bahwa tidak akan mampu kita membalas meski harta yang melimpah dan kenyaman yang kita berikan, sungguh tidak akan mampu.
Namun bukan berarti, kita tidak berbuat apapun untuk membalas kebaikannya, walau hanya sekedar “nafas” ketika melahirkan kita.
Beberapa di antara yang bisa kita lakukan untuk membalas kebaikan ibu adalah, pertama bergaul dan berbuat baik. Memberikan kebahagiaan meski membuatnya tersenyum adalah suatu perkara yang terkadang kecil, namun jarang sekali orang melakukannya. Padahal, kebaikan-kebaikan sekecil apapun yang kita lakukan adalah kebahagiaan tersendiri untuk mereka.
Kedua, bertutur dengan perkatan baik dan lemah lembut. Hati orang tua biasanya lebih sensitif terhadap sesuatu hal. Jadi, sebagai anak hendaknya menjaga hati orang tua dan menjaga lisan dan perbuatan kita agar tidak menyakitinya atau membuatnya sekedar tersinggung. “Ah” saja tidak boleh apalagi “mengomel” dan menyakitinya.
Baca Juga: Pemberantasan Miras, Tanggung Jawab Bersama
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّـاهُ وَبِالْوَلِدَيْنِ إِحْسَـناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيرًا(24)
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra’17:23-24)
Ketiga, tawadhu (rendah diri) artinya kita tidak sombong dengan apa yang kita miliki. Justru malah seharusnya kita sadar dengan apa yang kita miliki tidak terlepas dari usaha dan jeri payah orang tua dalam mendidik dan mengantarkan kita kepada jalan kesuksesan itu.
Dan masih banyak yang lainnya, namun tak kalah pentingnya adalah mendoakannya. Apakah mereka masih hidup atau sudah tiada. Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa doa yang ditujukan untuk orang tua, di antaranya:
Baca Juga: Lima Karakter Orang Jahil
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلا تَبَارًا
“Ya Tuhanku! ampunilah aku, ibu-bapakku, dan siapa pun yang memasuki rumahku dengan beriman[14] dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kehancuran.”
رَبَّنَااغْفِرْ لِيوَلِوَالِدَيَّوَلِلْمُؤْمِنِينَيَوْمَيَقُومُالْحِسَابُ
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” [Ibrahim:41]
Baca Juga: Ternyata Aku Kuat
Sementara, Ibnu Jarir Ath-Thabari menjelaskan, “Allah berpesan agar setiap orang melakukan bakti kepada orang tua dengan berbagai bentuk perbuatan baik. Namun kepada selain orang tua, Allah hanya memesankan ’sebagian’ bentuk kebaikan itu saja. “Katakanlah yang baik, kepada manusia.” Diriwayatkan oleh Al-Hakim, dinyatakan shahih oleh Al-Albani.
Jika kita harus menghitung kasih sayang seorang ibu, maka tidak akan ada seorang pun yang mampu untuk menghitungnya. Lantas kemudian, dengan penuh pengorbanan itu masih ada hatikah kita untuk menyakitinya? Masih adakah hati untuk kita membentak dan menganggapnya remeh hidup dan peran dalam kehidupan kita?
Pantas saja Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam dalam sabdanya mengatakan bahwa sungguh merugi orang yang jika seumur hidupnya diberkan waktu bersama orang tuanya, namun tidak membuatnya masuk surga sementara banyak yang bisa dilakukannya.
“Sungguh kasihan, sungguh kasihan, sungguh kasihan.” Salah seorang Sahabat bertanya, “Siapa yang kasihan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang sempat berjumpa dengan orang tuanya, kedua-duanya, atau salah seorang di antara keduanya, saat umur mereka sudah menua, namun tidak bisa membuatnya masuk Surga.” (Riwayat Muslim). (L/P08/P02)
*Wartawan Mi’raj News Agency (MINA)
Mi’raj News Agency (MINA)