Oleh: Imam Shamsi Ali*
Tidak dapat disangkal bahwa Islam saat ini adalah agama dengan laju perkembangan terpesat. Jika dipersentasikan, saat ini Islam adalah agama terbesar kedua di dunia setelah Kristen. Itu pun jika Kristen tidak dipisahkan ke dalam dua kelompok Protestan dan Katolik. Jika dipisahkan maka Islam menjadi agama terbesar di dunia dengan jumlah pengikut sekitar 1,6 milIar manusia.
Terlebih lagi, ada sementara penelitian yang menyebutkan bahwa pada tahun 2050 mendatang Islam akan menjadi agama terbesar dunia, mengingat kepada perkembangannya yang pesat.
Ada beberapa faktor utama kenapa Islam akan menjadi agama terbesar di dunia. Dua di antaranya adalah karena memang tingginya tingkat konversi, khususnya di dunia Barat. Dan juga karena kecenderungan beranak pinak yang tinggi di keluarga-keluarga Muslim.
Baca Juga: Hari HAM Sedunia: Momentum Perjuangan Palestina
Di dunia Barat sendiri, khususnya di Amerika dan Eropa Barat, pertumbuhan Islam tidak terbendung lagi. Bahkan di saat-saat sentimen anti-Islam atau Islamofobia meninggi, seperti saat ini di Eropa pasca serangan teroris Paris dan di Amerika, ditambah dengan retorika politik kandidat presiden dari partai Republika, khususnya Donald Trump.
Kenyataan di atas semakin meyakinkan bahwa Islam itu memang sejak awal dan secara alami dipersiapkan untuk menjadi agama global. Mau atau tidak, suka atau benci, sadar atau tidak, Islam akan merambah segala penjuru dunia dengan cahaya Ilahi untuk menyelamatkan dunia dari ketenggelaman moralitas dan peradabannya.
Itu pulalah sebabnya keseluruhan aspek ajaran Islam itu bernuansa global.
Kita mulai dari konsep ketuhanan dalam Islam yang universal. Tidak dibatasi oleh batasan negara, etnik, suku dan ras. Tuhan dalam Islam adalah Tuhan semesta alam (Rabbul ‘alamin), Tuhan umat manusia (Rabbun naas). Berbeda misalnya ketika Tuhan digambarkan sebagai Tuhannya Bani Israil dalam perjanjian lama. Oleh karenanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu adalah Tuhan yang memang senafas dengan alam global.
Baca Juga: Literasi tentang Palestina Muncul dari UIN Jakarta
Al-Quran itu adalah petunjuk yang universal. Diturunkan untuk seluruh umat manusia (hudan lin naas). Dan ajarannya tidak mengenal batas geografis (laa syraqiyah wa laa ghorbiyah). Al-Quran dapat dibaca, dipahami dan diamalkan secara merata oleh umat Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Bahkan kenyataan mengatakan bahwa juara-juara qiraat dan ulama-ulama Islam dunia banyak juga dari kalangan “ajam” (non-Arab).
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam itu adalah utusan Allah ke seluruh manusia (kaafatan lin naas). Sekaligus merupakan aktualisasi kasih sayang Allah ke seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Dengan demikian, tabiat agama Islam itu secara keseluruhan adalah memang agama global. Maka wajar saja jika umat Islam kemudian diwajibkan untuk terus menerus menyampaikan ajaran ini ke seluruh penjuru dunia. Sejak zaman Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam, para sahabat bertebaran dan bahkan berkubur di berbagai belahan dunia, hingga ke Cina dan Eropa.
Karakter Dunia Global
Baca Juga: Perang Mu’tah dan Awal Masuknya Islam ke Suriah
Akan tetapi akan lebih tepat jika saya membahas selintas tentang karakteristik dunia global bahwa ajaran Islam itu adalah ajaran yang global (diin alami), sudah seharusnya ciri-ciri ajarannya pastilah sejalan dengan tabiat atau karakter dunia global di mana kita berada. Sehingga dengan sendirinya Islam tidak akan tergeserkan, terugikan dan tersudut hanya karena dunia yang semakin mengglobal (globalisasi).
Di antara karakteristik dunia global, antara lain sebagai berikut:
Pertama, kecepatan (speed) dan persaingan yang dahsyat.
Kecepatan ini khususnya dikarenakan oleh kecepatan transportasi dan kecepatan informasi. Dengan kecepatan transportasi saat ini bukanlah sulit bagi manusia untuk menjelajahi dunia dari sudut ke sudut. Tentu sangat berbeda di saat dunia transportasi masih diminasi oleh kuda dan onta. Begitu pun dengan kecepatan informasi menjadikan sebuah peristiwa di desa terpencil terkadang lebih dahulu terekspos di negara lain ketimbang di negara tempat terjadinya itu sendiri.
Baca Juga: Selamatkan Palestina, Sebuah Panggilan Kemanusiaan
Sebagai contoh, jika sebuah pembunuhan terjadi di sebuah kampung terpencil di Indonesia di malam hari, tidak mustahil kami di New York akan terlebih dahulu mengetahuinya ketimbang bangsa Indonesia di Jakarta. Hal itu dikarenakan orang-orang di Jakarta ketika itu sedang tertidur. Sementara kami di kota New York berada di waktu siang, dengan rentang waktu 12 jam. Maka ketika berita diunggah oleh wartawan jam 11 malam, di saat warga Jakarta pulas, kami baru memulai aktifitas kami jam 11 pagi. Maka kami yang akan pertama membaca berita itu melalui jaringan internet atau media sosal lainnya.
Dengan karakter dunia semakin cepat (speed) apakah Islam mampu menyesuaikan diri? Jawabannya jelas dan tegas pasti bisa. Islam dibangun diatas asas “as-sur’ah” (kecepatan) dan ketepatan (al-itqan).
Berbagai perintah yang ada dalam Al-Quran semuanya bermuara kepada kecepatan. Ambillah sebagai misal: “Dan bergegaslah kepada ampunan Rabb-mu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Disiapkan bagi orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imran).
Ayat lain menegaskan: “Maka berlomba-lombalah kamu kepada kebajikan” (fastabiqul khaerat).
Baca Juga: Malu Kepada Allah
Atau firman Allah: “Dan untuk itu (surga) hendaklah mereka saling berlomba”.
Dan banyak lagi ayat-ayat Al-Quran yang menegaskan, jika umat ini harus berani mengambil bagian dalam kehidupan yang semakin cepat. Kecepatan ini tentunya mendorong terjadinya kompetisi yang sangat tinggi dalam semua lini kehidupan manusia. Sehingga wajar jika ayat-ayat yang saya kemukakan di atas, selain menggambarkan aspek kecepatan (as-sur’ah) juga menggarisbawahi urgensi perlombaan (istibaaq atau tanaafus). Dan keduanya mengandung makna yang sama. Untuk memenangkan perlombaan diperlukan kecepatan ekstra.
Sejujurnya, tuntutan kecepatan dalam upaya memenangkan persiangan global sekarang ini terjadi dalam segala lini kehidupan manusia. Terjadinya pergerakan gelombang reformasi di Timur Tengah seharusnya disadari oleh umat ini sebagai bagian dari proses memenangkan persaingan global secara cepat. Konflik yang terjadi atau diciptakan di berbagai belahan dunia Islam sejujurnya tidak terlepas dari geliat persaingan yang menuntut kejelian dan kecepatan umat dalam memgantisipasinya.
Sayang peristiwa demi peristiwa yang terjadi di dunia Islam saat ini tidak diantisipasi secara jeli dan secara tangkas oleh umat. Akibatnya umat bagaikan semut semua yang terinjak-injak oleh gajah-gajah dunia yang sedang berkelahi. Perhatikan secara dekat perebutan kekuasaan dan pengaruh global antara dua kutub kekuatan dunia di Suriah saat ini; Amerika dan sekutunya di satu sisi dengan Rusia dan sekutunya di sisi lain. Sementara pemimpin dunia Islam hanya bersembunyi di balik gajah-gajah itu mencari perlindungan agar tahta kekuasaanya tidak terganggu.
Baca Juga: Palestina Memanggilmu, Mari Bersatu Hapuskan Penjajahan
Kedua: dunia semakin mengecil dan interkoneksi ketat.
Dengan kecepatan transportasi dan informasi itu dunia kemudian menjadi semakin sempit (kecil). Amerika dan Indonesia seolah hanya negara tetangga yang bisa dikunjungi kapan saja dan dalam waktu yang singkat. Apalagi informasi yang ada menjadi lintas batas negara setiap saat.
Dalam bahasa lainnya, sesungguhnya semua manusia saat ini sedang hidup dalam sebuah kampung kecil (small village). Dan itu juga berakibat kepada tiada lagi rahasia di antara kita. Opresi dan refresi kepada sesama di mana saja akan dengan mudah terekspos kepada orang lain bahkan di tempat yang selama ini dianggap sangat jauh.
Intinya tradisi tetanngga yang dikenal dalam Islam sebagai 40 rumah sebelah kanan dan kiri menjadi tidak relevan lagi. Karena sesungguhnya semua manusia telah hidup bertetangga, bahkan hidup di bawah atap yang sama dalam setiap masa.
Baca Juga: Korupsi, Virus Mematikan yang Hancurkan Masyarakat, Ini Pandangan Islam dan Dalilnya!
Mengecilnya dunia ini kemudian memaksa manusia, mau atau tidak, sadar atau tidak, berada dalam suasana kehidupan yang saling menggantung dan terkait. Permasalahan dunia Barat, langsung atau tidak, juga menjadi permasalahan dunia Timur.
Ambillah satu contoh konkrit saat ini. Sejak terjadinya serangan 11 September di Amerika Serikat, isu terorisme tidak saja menjadi permasalahan Amerika. Tapi terorisme telah menjadi permasalahan dunia global. Oleh karenanya perang kepada terorisme dikenal dengan “global war on terrorism” (perang global kepada terorisme).
Pertanyaannya kemudian, apakah Islam sejalan dengan dunia yang berkarakter demikian? Jawabannya tegas, iya. Bahkan Islam mengajarkan manusia untuk mempersempit batas-batas kehidupan manusia, seraya mengakui eksistensinya. Islam itu bukan agama orang di timur (syarqiyah) dan bukan juga agama orang barat (gharbiyah).
Intinya adalah karena Islam memandang dunia sebagai rumah bersama dengan mengakui secara tegas adanya keragaman penghuni, maka Islam menempatkan diri pada posisi untuk membangun kerjasama (ta’awun) dengan siapa saja dalam hal-hal kebajikan dan kemaslahatan bersama. Sebagaimana Allah memerintahkan: “dan salinglah kamu kerjasama dalam kebajikan dan ketakwaan. Dan janganlah saling kerjasama dalam dosa dan permusuhan”.
Baca Juga: Inilah Tanda Orang Baik, Inspirasi dari Kisah Nabi Musa Belajar kepada Khidir
Konsep saling ketergantungan (interconnectedness) dunia sesungguhnya itulah yang diekpresikan dalam ayat itu, bahwa manusia harus membangun kesadaran bersama akan dunia kebersamaan. Dunia ini adalah rumah bersama. Atau bagaikan perahu bersama di mana hanya ada dua pilihan: dijaga bersama atau dirusak bersama. Atau juga dibiarkan dirusak oleh “fellow humans” (sesama manusia) yang ada di atas perahu itu lalu tenggelam bersama.
Kesimpulan
Bahwa memang sejak awal Islam dalam bentuk akhir (final format) yang didatangkan bersama Rasulullah, Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, telah disiapkan menjadi agama global (kaafatan lin-naas).
Kesiapan Islam menjadi agama global ini pulalah yang menjadikannya siap melaju ke dalam dunia global dengan karakteristiknya yang cepat, dengan kompetisi yanh dahsyat. Dan juga ditandai oleh mengecilnya dunia dan tumbuhnya kesadaran “saling tergantung” antara satu dengan yang lain.
Baca Juga: Begini Cara Mengucapkan Aamiin yang Benar dalam Shalat Berjamaah Menurut Hadits
Pertanyaannya kemudian adalah siapkah pengikut agama ini untuk memasuki dunia yang karakter demikian? Ataukah umat ini hanya akan menjadi penonton dan akhirnya menjadi korban-korban kecepatan dan persaingan global? Atau jangan-jangan umat ini akan terkucilkan dari interdependensi dunia saat ini?
Jawabannya kembali kepada diri masing-masing. Mari bermuhasabah sebelum dihisab oleh Yang Maha Penghisab. (T/P006/P001)
*) Presiden Nusantara Foundation USA. Syamsi Ali adalah imam di Islamic Center of New York dan direktur Jamaica Muslim Center, sebuah yayasan dan masjid di kawasan timur New York, Amerika Serikat, yang dikelola komunitas Muslim asal Asia Selatan. Syamsi Ali aktif dalam kegiatan dakwah Islam dan komunikasi antaragama di Amerika Serikat (terutama pantai timur).
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Salam Es Teh