Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Islam dan Kesatuan NKRI

Rendi Setiawan - Jumat, 14 Desember 2018 - 10:55 WIB

Jumat, 14 Desember 2018 - 10:55 WIB

14 Views

Oleh: Rendy Setiawan, Jurnalis MINA

Usia Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara memang masih sangat belia, tetapi untuk urusan persatuan, bukan sesuatu yang bijak mengajarkan cara bersatu kepada masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah umat Islam.

Sebagai agama mayoritas, umat Islam di Indonesia memiliki peran yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Sejak zaman Pergerakan Nasional hingga masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, umat Islam selalu berperan sebagai benteng kokoh yang selalu hadir dan berdiri tegak di garda paling depan.

Penulis tidak ingin mengatakan non muslim tidak punya peran. Sama sekali tidak. Namun, era non muslim menjadi mayoritas di negeri ini terjadi sebelum adanya penjajahan, sekitar abad 4 M sampai 14 M.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-10] Makanan dari Rezeki yang Halal

Sementara bangsa penjajah hadir di Indonesia sekitar awal abad 16 M, tepatnya tahun 1511 M ketika bangsa Portugis menguasai Selat Malaka dan berakhir pada kekalahannya di Maluku setahun berikutnya. Tahun 1596 M, giliran kapal Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman singgah di Pelabuhan Banten.

Awal kedatangan mereka yang merupakan cikal-bakal awal penjajahan di Indonesia bertepatan dengan masa kejayaan kerajaan Islam, antara pertengahan abad 12 M hingga abad16 M. Maka menjadi wajar ketika bangsa penjajah sering konfrontasi dengan kerajaan-kerajaan Islam.

Kerajaan-kerajaan Islam seperti Aceh, Demak, Makassar, Mataram (Islam), Bone, hingga Ternate dan Tidore adalah saksi bisu dari hasil konfrontasi bangsa penjajah dengan mayoritas umat Islam di Indonesia.

Masyarakat Indonesia sudah kenyang pengalaman akan persatuan. Sekitar 350 tahun bangsa ini menderita penjajahan. Selama 350 tahun bangsa ini mencari celah untuk menentukan jalannya sendiri. Dan selama 350 tahun bangsa ini mencoba menyinergikan kekuatan.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan

Apa buktinya bangsa ini pernah mencoba untuk menyinergikan seluruh kekuatan yang ada? Buktinya adalah sikap dari bangsa penjajah yang menerapkan politik devide et impera.

Ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, di antara kita mungkin pernah mempelajarinya dalam mata pelajaran Sejarah. Di sana pernah disinggung soal devide et impera. Apa itu? Devide et impera adalah politik pecah belah atau politik adu domba dengan mengombinasikan strategi politik, militer, dan ekonomi untuk mendapatkan kekuasaan.

Pada zaman kolonialisme dan imperialisme di Indonesia, devide et impera sangat terkenal di publik nusantara. Sebabnya cara yang dipakai dalam memerangi masyarakat pribumi adalah dengan memecah kelompok besar menjadi beberapa kelompok kecil. Tentu hal itu dimaksudkan supaya lebih mudah ditaklukkan.

Hadirnya teori konspirasi ini adalah bukti nyata akan kekhawatiran bangsa penjajah terhadap semangat persatuan dan kesatuan anak bangsa (Indonesia) untuk lepas dari cengkeraman penjajahan.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya

Pergolakan itu terus berlanjut hingga masa kemerdekaan. Meski kerajaan-kerajaan Islam tumbang satu per satu akibat perang yang berkepanjangan, namun jiwa dan raga pemuda muslim terus menggelora mengusir bangsa penjajah dari tanah air. Hal ini dibuktikan dengan terselenggaranya Kongres Pemuda I tahun 1926 dan Kongres Pemuda II tahun 1928.

Malah pada Kongres Pemuda II, pemuda Islam Indonesia berhasil mengejewantahkan apa yang selama ini dicita-citakan, yakni persatuan. Suara persatuan terus didengungkan di seantero negeri. Meski tak begitu nyaring terdengar, namun dampaknya cukup signifikan di kalangan pemuda, hingga sampailah pada titik Indonesia merdeka setelah 17 tahun berlangsungnya Kongres Pemuda II di Jakarta.

Hari Nusantara

Ketika Indonesia memperoleh kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, bangsa penjajah berupaya untuk kembali mencoba menguasai Indonesia. Setelah beberapa kali bentrok di sejumlah wilayah, akhirnya disepakati sebuah kesepakatan bersama pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, tahun 1949 M.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Dari kesepakatan KMB itu, tidak semua pihak dari Indonesia setuju, khususnya tokoh-tokoh Muslim kritis yang memang konsen mempersatukan wilayah Indonesia. Seperti misalnya Mohamad Natsir, Ir Djuanda Kartawidjaja, dan sebagainya.

Sebabnya, beberapa poin yang disepakati dalam KMB itu sangat merugikan Indonesia, misalnya poin yang menyatakan, Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia yang sepenuhnya diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan tidak bersyarat dan tidak dapat dicabut lagi. Karena itu, Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.

Hal ini diperparah dengan kerajiban Indonesia yang harus membayar kerugian perang sebesar 5 miliar gulden, beberapa sumber menyebut 6,5 miliar gulden kepada Kerajaan Belanda, sebelum akhirnya disepakati menjadi 4,5 miliar gulden.

Padahal, yang dituntut adalah untuk mendesak bangsa penjajah agar mengakui kedaulatan Indonesia, bukan penyerahan kedaulatan

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Antara Natsir dan Djuanda memiliki peran masing-masing dalam menanganggapi hasil KMB. Natsir terkenal dengan Mosi Integral Natsir. Sementara Djuanda terkenal dengan Deklarasi Djuanda yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.

Menurut situs Wikipedia, tanggal 13 Desember yang diperingati sebagai Hari Nusantara merupakan perwujudan dari Deklarasi Djuanda yang dianggap sebagai Deklarasi Kemerdekaan Indonesia kedua. Melalui deklarasi tersebut, Indonesia merajut dan mempersatukan kembali wilayah dan lautannya yang luas, menyatu menjadi kesatuan yang utuh dan berdaulat.

Melalui Keppres No.126/2001 dikukuhkan sebagai Hari Nusantara, artinya setiap tanggal 13 Desember mulai diperingati sebagai salah satu Hari Nasional yang merupakan penegasan dan pengingatan bahwa Indonesia adalah Negara Kepualaun terbesar di dunia.

Sayangnya, potensi sumber daya kelautan Indonesia sebesar kurang lebih 3000 triliun rupiah/tahun hingga kini belum tergarap secara maksimal. Laut belum dilihat sebagai sumber pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan pemecah masalah kemiskinan.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Siapa sosok Djuanda yang memelopori persatuan dan kesatuan wilayah hingga laut Republik Indonesia ini?

Sejumlah sumber menyebutkan bahwa Djuada adalah tokoh Muslim yang kritis terhadap situasi bangsa di zamannya. Ia juga merupakan tokoh pergerakan Muhammadiyah. Tampaknya, di antara kita atau bahkan lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah generasi modern sendiri tidak banyak yang mengetahuinya.

Dalam uraian Wikipedia mengenai sosok Djuanda disebutkan, “Semasa mudanya Djuanda hanya aktif dalam organisasi non politik yaitu Paguyuban Pasundan dan anggota Muhammadiyah, dan pernah menjadi pimpinan sekolah Muhammadiyah. Karier selanjutnya dijalaninya sebagai pegawai Departemen Pekerjaan Umum provinsi Jawa Barat, Hindia Belanda sejak tahun 1939”.

Lebih jauh diuraikan, Djuanda seorang abdi negara dan abdi masyarakat. Dia seorang pegawai negeri yang patut diteladani. Meniti karier dalam berbagai jabatan pengabdian kepada negara dan bangsa. Semenjak lulus dari TH Bandung (1933) dia memilih mengabdi di tengah masyarakat. Dia memilih mengajar di SMA Muhammadiyah di Jakarta dengan gaji seadanya.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Padahal, kala itu dia ditawari menjadi asisten dosen di TH Bandung dengan gaji lebih besar. Setelah empat tahun mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta, pada 1937. Selain itu, dia juga aktif sebagai anggota Dewan Daerah Jakarta. (A/R06/RS3)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Rekomendasi untuk Anda

Khadijah
MINA Health
Kolom
Kolom
Indonesia