Islam dan Radikalisme (Oleh: Ali Farkhan Tsani)

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA

 

Peter Manning, seorang wartawan senior lebih dari 30 tahun, menyatakan dalam bukunya, “Us and Them”: “Pengalaman saya memberi tahu saya, ada jurang yang lebar antara realitas kehidupan sehari-hari orang Arab dan Muslim Australia dan bagaimana mereka diwakili dalam media.”

Dalam rubrik Islamic Pamphlets, dosen senior bidang jurnalisme di Universitas Monash dan Universitas Sydney Ausrtalia itu menyimpulkan, lebih dari 60 persen kasus dari liputan dua surat kabar utama di Australia, kata-kata kekerasan, kematian, serangan, bunuh, bunuh diri atau orang-orang bersenjata sangat dekat dengan kata-kata  Arab, Palestina, Muslim atau .

“Maka apakah mengherankan bahwa kebanyakan orang mengaitkan Islam dengan terorisme?” ujarnya bertanya.

Ia juga menyebutkan. masalah ketidaktahuan disorot oleh survei mengungkapkan bahwa lebih dari satu dari tiga orang Australia mengaku tidak tahu apa-apa tentang Islam dan pengikutnya.

Lalu, bagaimana mereka mengaitkan terorisme atau dengan Islam?

Menurut Dr Dunn dari Lembaga Penelitian Australia-Indonesia mengatakan, warga Australia memiliki sedikit pengetahuan dan kontak pribadi dengan Muslim. “Ini menjadi paling mungkin merasa terancam oleh Islam.”

Pemberitaan bias media dan ketidaktahuan tentang Islam inilah yang menyebabkan mereka memahami Islam secara tidak tepat.

Padahal kalau melihat rujukan utama agama Islam, yaitu Al-Qur’an yang diyakini umat Islam sebagai firman Allah, dan ucapan otentik Nabi Muhammad SAW. Maka pemahaman itu akan terbantahkan.

Melalui pemahaman yang tepat dari ajaran-ajaran Islam secara utuh, intregral dan sistematis, orang pasti akan menemukan bahwa Islam sepenuhnya menentang segala bentuk ekstremisme.

Ketika membaca Al-Quran atau hadits Nabi, orang harus memahami konteks di mana kata-kata itu berlaku. Seperti ayat Al-Quran berikut yang favorit di antara mereka yang berusaha menyesatkan orang tentang Islam.

“Dan bunuh mereka di mana pun kamu menemukan mereka, dan usir mereka dari tempat mereka mengusirmu, karena menganiaya orang untuk menjauhkan mereka dari Agama Tuhan lebih buruk daripada membunuh. Tapi jangan melawan mereka di Masjid Suci, kecuali jika mereka melawanmu di sana. Tetapi jika mereka melawan Anda, maka bunuhlah mereka; Ini adalah balasan orang-orang kafir.” (Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 191).

Kadang orang membaca terjemah ayat ini telah dipangkas, “Dan bunuh mereka di mana pun kau menemukan mereka…”.

Lalu, pertanyaannya adalah, “Bunuh siapa?”. Untuk menjawab pertanyaan ini, seseorang harus membaca ayat-ayat sebelum dan sesudanya.

“Dan berperanglah di jalan Allah, mereka yang berperang denganmu, dan tidak melebihi batas, tentunya Allah tidak mencintai mereka yang melampaui batas.” (Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 190).

Ayat tersebut jelas menyebutkan berperang sebagai alat pertahanan diri menghadapi mereka yang memerangi Islam.

Ayat berikutnya tidak bias dilepas begitu saja, “Tetapi jika mereka berhenti, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Sebab turunnya (asbaabun nuzuul) ayat-ayat ini berkaitan pada saat orang-orang Muslim diusir dari rumah mereka karena keyakinan mereka. Mereka mengalami penganiayaan lebih dari sepuluh tahun dan akhirnya harus pergi (hijrah) ke negeri yang aman.

Ayat-ayat tersebut merujuk pada orang-orang kafir Arab di Mekah pada masa Nabi, yang menindas orang-orang Muslim dan berencana untuk menyerang mereka di mana orang-orang Muslim mencari perlindungan.

Oleh karena itu, ayat di atas hanya dapat diterapkan dalam keadaan seperti itu.

Contoh ini menunjukkan bahwa ayat-ayat dalam Al-Qur’an harus dipahami dalam konteks yang tepat karena ayat-ayat tersebut diturunkan secara bertahap dalam kaitannya dengan situasi tertentu, selama periode Makkah-Madinah 23 tahun.

Penting juga untuk dicatat bahwa Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, terjemahan ke berbagai bahasa mungkin tidak akurat, kurang tepat atau malah menyesatkan.

Siapapun manusia, bangsa manapun, di negeri manapun, tidak ada keraguan secara manusiawi pasti memiliki hak yang sah untuk berperang melawan agresi, penindasan atau penjajahan.

Sama halnya, mengapa gerakan perlawanan semacam Hamas dicap oleh Barat sebagai organisasi teroris, ekstremis, radikalis? Hanya karena mengadakan perlawanan bersenjata menghadapi penjajah Zionis Israel.

Lalu, pasukan Zionis Israel yang didukung secara nyata-nyata dan terang-terangan oleh Amerika Serikat dan sekutunya, yang membunuhi, membombardir, menghancurkan, menindas, menjajah dan mencengekeram negara lain, tidak dikatakan teroris? Bahkan negara teroris? Lalu, mereka agamanya apa? Yang jelas bukan Islam !

Padahal, dalam konsepm perang, Islam mengajarkan bahwa perang diizinkan untuk menjaga kesejahteraan komunitas dan untuk mencegah penindasan menyebar lebih luas lagi.

Islam, sama seperti cara hidup siapa pun dan bangsa manapun yang ingin memastikan kelangsungan hidupnya dan memiliki hak untuk mempertahankan diri. Bahkan bangsa binatang sekalipun punya insting mempertahankan dirinya dengan berbagai senjata yang dimilikinya. Dengan tanduknya, taringnya, tintanya, sengatannya, belalainya, dan sebagainya.

Justru ayat berikutnya malah tidak diulas, yaitu bahwa ketika musuh menghentikan permusuhannya, Muslim pun diperintahkan untuk berhenti berperang.

Pada ayat lain dikatakan, “Dan jika mereka cenderung untuk damai, maka cenderung untuk itu dan percaya pada Tuhan; tentu saja Dia Maha Mendengar, Yang Maha Mengetahui.” (Al-Quran Surat Al-Anfal ayat 61).

Standar Ganda

Manal Omar, Wakil Presiden Pusat untuk Timur Tengah dan Afrika di Institut Perdamaian AS mengatakan, terdapat kebenaran rumit dari masalah radikalisme ini. Yaitu bahwa kekerasan ekstremis faktanya telah mengambil alih mayoritas negara Muslim, seperti di Irak, Suriah, dan Pakistan.

Namun, ujarnya, jika diteliti lebih jauh, kekerasn itu adalah produk dari keadaan sosial dan politik yang kompleks.

“Mereka termasuk warisan kolonial dan politik kekuatan besar yang lebih modern, dan buatan yang mereka wariskan di kawasan itu,” imbuhnya seperti disebutkan Foreign Policy.

Menurutnya, kekerasan itu dilakukan oleh struktur resmi yang berpihak pada beberapa kepentingan dan runtuhnya institusi pemerintah.

Agama tentu saja adalah bagian dari campuran di dalamnya, terutama di negara-negara yang rapuh atau di bawah rezim otoriter. Namun itu muncul bukan karena sifat iman warga, tetapi karena cara itu disalahgunakan dan dimanipulasi oleh kepentingan tertentu.

Untuk memahami kompleksitas ini, penting untuk memahami tiga bidang, yaitu : peran politik global yang telah mengguncang kawasan, keadaan disfungsional menciptakan celah bagi ekstremisme bagaimana agama mengisi kesenjangan yang diciptakan oleh ketidakpastian internasional dan domestik.

Dari segi politik misalnya, penting untuk dicatat bahwa negara-negara Barat telah memainkan peran penting dalam kebangkitan kelompok-kelompok ekstremis.

Hassan Hassan, Pakar Timur Tengah penulis buku ISIS: Inside the Army of Terror, berpendapat bahwa kemunculan Negara Islam ISIS lebih banyak berkaitan dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah.

Perintah Otoritas Sementara Koalisi AS tahun 2003 untuk membubarkan Angkatan Bersenjata Irak, telah membuat ratusan ribu tentara yang terlatih menganggur. Banyak dari perwira ini kemudian mendapat pekerjaan baru memberi pelatihan keahlian para militan yang diperlukan untuk menaklukkan wilayah secepat yang mereka miliki.

Contoh lain dari peran Amerika Serikat dalam memicu ekstremisme adalah dukungannya terhadap Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Israel, yang oleh para kritikus disebutkan sebagai standar ganda (double standard).

Adapun masalah tingkat negara, adalah soal perebutan kekuasaan domestik dan disfungsi pemerintah di Timur Tengah, yang telah membuka pintu bagi kelompok-kelompok ekstremis.

Robert I. Rotberg menguraikan dalam bukunya, When States Fail: Causes and Consequences menuliskan, bahwa kegagalan negara untuk memberikan warga negara hak dan layanan dasar, memungkinkan aktor-aktor di luar pemerintah muncul untuk mengambil kendali.

Kegagalan tidak terbatas pada kebutuhan ekonomi; kurangnya inklusi politik, kebebasan berekspresi, dan hak untuk hidup bermartabat, juga memperkuat dorongan ke arah radikalisasi dan kekerasan kaum muda.

Sebuah studi tahun 2015 oleh Mercy Corps, Youth & Consequences: Unemployment, Injustice and Violence, yang meneliti konflik di negara-negara seperti Afghanistan, Kolombia, dan Somalia, menemukan bahwa pendorong utama kekerasan politik bukanlah pengangguran tinggi atau kurangnya kesempatan.

Sebaliknya, penelitian ini menemukan bahwa kekerasan politik, yang sering dibingkai dalam istilah agama, dikaitkan dengan ketidakadilan, diskriminasi dan korupsi.

Dalam konteks ini, ruang keagamaan sering menjadi kaitan yang dianggap kuat dan kuat. Kelompok ekstremis tidak hanya menawarkan layanan seperti pekerjaan. Mereka juga menawarkan ideologi utopis yang melampaui retorika untuk menjanjikan negara ideal yang dibangun di atas prinsip keadilan dan ketertiban.

Islam pada gilirannya hanyalah menjadi alat bagi kelompok-kelompok kekerasan untuk menarik dukungan untuk tujuan mereka, seperti halnya negara-bangsa menggunakan nasionalisme dan semangat patriotic saat melawan penjajah.

Menggunakan Islam sebagai alat ekstremisme politik telah membawa banyak hasil berbeda dari nilai-nilai suci Islam itu sendiri. Pembunuhan, pembakaran, kriminalitas, darah menjadi begitu mudah tertumpah. Padahal itu semua sangat dilindingi dalam ajaran Islam.

Mereka yang mengklaim Islam adalah agama yang secara inheren keras, ekstrem, hanyalah sebgain kecil saja dari mayoritas penganut Islam lebih dari 1,5 miliar Muslim di seluruh dunia, yang hidup secara damai, bertetangga dengan baik, saling membantu dan penuh tolerasi dalam keseharian.

Umat agama lain juga ada, mereka juga akan mengabaikan bahwa menggunakan agama sebagai pembenaran untuk kekerasan bukanlah hal baru. Ada banyak contoh anggota agama lain yang melakukan kekerasan. Seperti gerakan nasionalis Budha di Sri Lanka dan Myanmar yang melakukan kampanye kekerasan terhadap Muslim.

Kebanyakan orang mampu menganalisis secara kritis gerakan-gerakan ini dan tidak menyalahkan agama Buddha atau Kristen.

Cinta Damai

Untuk memahami ajaran agama Islam yang luar biasa bias dirujuk pada dua sumber utama ajarannya, yaitu Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad.

Al-Quran bias dibaca, bahkan terjemahnya sudah ada dalam berbagai bahasa di dunia.

Adapun sosok paling menakjubkan dan memotivasi dari Nabi Muhammad adalah narasumber yang memberikan tuntunan, kebijaksanaan, dan sarana pembangunan yang kuat serta kesempurnaan kehidupan manusia.

Bahkan dapat dikatakan bahwa bagi seorang Muslim, cetak biru lengkap untuk menjalani kehidupan di dunia ini, hingga dengan demikian mencapai status tertinggi di akhirat terkandung dalam dua sumber tersebut.

Nabi Muhammad digambarkan sebagai bukti yang jelas, bersifat belas kasihan sesama umat manusia dan teladan kesempurnaan dengan moral (akhlak) manusiawi.

Aisyah, istri Nabi pun menggambarkan karakter utusan terkasih Nabi Muhammad, dengan kalimat, “Karakternya adalah Al-Quran.”

Betapa Nabi SAW menunjukkan sikap mencintai, merawat dan menghargai ciptaan-Nya.

Seperti disebutkan pada ayat, “Allah telah melakukan kebaikan kepada orang-orang beriman dengan mengirim seorang nabi dari antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya, memurnikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan kebijaksanaan.” (Al-Quran Surat Ali Imran ayat 164).

Pada ayat lain dikatakan, “Telah datang kepadamu seorang nabi dari antara kamu sendiri, penderitaanmu membuat dia sedih, selalu cemas tentang kesejahteraanmu dan bagi orang-orang beriman dia paling baik dan paling berbelas kasih.” (Al-Quran Surat At-Taubah ayat 128).

Bagaimana mungkin seorang yang penuh dengan sifat belas kasih, seperasaan sependeritaan, dan penuh kecemasan kepada umatnya, digambarkan mengajarkan kekerasan, ektremisme, radikalisme?

Terlebih jika menyimak ayat, “Dan kami tidak mengutus kamu,(Wahai Muhammad) kecuali sebagai bagi seluruh umat manusia.” (Al-Quran Surat Al-Anbiya ayat 107).

Ayat ini secara komprehensif dan tepat merangkum semua kualitas “rahmah” ini. Sedangkan kata “rahmah” berarti memiliki belas kasih, sejahtrera, menjadi baik. Belas kasihan mengarah pada empati, yang pada gilirannya memotivasi seseorang untuk menjadi baik.

Empati Nabi telah mengubah perilaku jahiliyah sebelum kedatangan Islam. Di mana saat itu orang-orang dan kelompok bertindak bodoh, tidak berperasaan, kasar dan brutal (ekstrem, radikal), yang berakar selama berabad-abad dalam kegelapan total.

Namun, Nabi atas bimbingan Allah mengubah semua kegelapan itu menjadi cahaya berkilau. Hanya dalam waktu beberapa tahun yang singkat, orang-orang Arab menjadi manusia yang paling beradab dan paling berbudaya.

Segala jenis diskriminasi dihapusan, lebih banyak hak diberikan kepada perempuan daripada sebelumnya, serta perlakuan rasial dalam berbagai praktik kesukuan dan adat istiadat kuno dihapuskan,

Kebenaran, keadilan dan kesejahteraan berlaku bagi semua unsur manusia tanpa perlu kutukan. Seperti ketika orang-orang Muslim dianiaya dengan kejam di Makkah karena kejahatan tak terampuni sebab memeluk Islam. Mata pencaharian mereka terancam dan kehidupan mereka di bawah pengepungan abadi, mereka datang kepada Nabi dan meminta Nabi untuk mengutuk orang Mekah yang melakukan penindasan dan penganiayaan terhadap Muslim. Karena kutukannya diyakini memiliki kekuatan gaib untuk menimpa orang yang dikutuk.

Namun, Nabi tercinta SAW, setelah mendengar permohonan ini, menolak untuk terlibat dalam dendam yang merusak, dan hanya berkata dengan suara lembut, “Saya telah dikirim sebagai pembawa rahmat bukan hukuman, bersabarlah.”

Kasih sayang inilah yang memungkinkan Islam menyebar ke seluruh dunia dalam ruang yang sangat singkat hanya beberapa tahun.

Jadi, tidak ada satu alasanpun yang dibenarkan, dalam tinjauan Quran maupun pribadi Nabi SAW, yang menyebut ajaran Islam identik dengan radikalisme apalagi terorisme! (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)