Islam wasathiyah saat ini sedang menjadi pembicaraan di kalangan para akademisi, cendikiawan dan para pegiat dakwah, tidak terkecuali para ulama yang tergabung dalam wadah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun yang dimaksud wasathiyah adalah bukan Islamnya, namun pemahaman orang-orangnya dalam menjalankan syariat Islam.
Islam wasathiyah telah menjadi salah satu keputusan Munas ke-9 MUI di Surabaya pada 24-27 Agustus 2015 silam. MUI mencermati munculnya kelompok yang eksklusif yang mudah mengkafirkan orang dan kelompok yang tidak sepaham. Di sisi lain, muncul pula kelompok yang cenderung permisif dan liberal.
Adapun ciri-ciri dari Islam Wasathiyah yaitu: tawasut (pertengahan/jalan tengan), tawazun (seimbang), adalah (adil, lurus), syura (musyawarah), musawah (persamaan dearajat kemanusiaan), tasamuh (toleransi), aulawiyah (prioritas), islahiyah (memperbaiki), tathowwur wa ibtikar (dinamis dan inovatif), dan tahadur (berkeadaban).
Pakar tafsir dan hadits asal Suriah, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili menyatakan, bahwa kata al-wasath adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah. Kemudian makna tersebut digunakan juga untuk sifat atau perbuatan yang terpuji.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Adapun ayat Al-Qur’an yang menyebutkan hal itu terdapat dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 143:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا ٱلْقِبْلَةَ ٱلَّتِى كُنتَ عَلَيْهَآ إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ (البقرة [٢]: ١٤٣)
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”
Para ulama tafsir menjelaskan, Allah Ta’ala menggunakan kata al-wasath karena Dia akan menjadikan umat Islam sebagai saksi atas (perbuatan) umat lain. Sedangkan posisi saksi semestinya harus berada di tengah-tengah agar dapat melihat dari dua sisi secara berimbang (proporsional).
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Penggunaan kata al-wasath terdapat indikasi yang menunjukkan jati diri umat Islam yang sesungguhnya, yaitu bahwa mereka menjadi yang terbaik, karena mereka berada di tengah-tengah, tidak berlebih-lebihan dan tidak mengurangi baik dalam hal akidah, ibadah, maupun muamalah.
Wasathiyah dalam bidang akidah, seperti posisi Islam yang berada di antara atheisme (tidak percaya Tuhan) dan politisme (kelompok yang percaya adanya banyak Tuhan). Wasathiyah dalam bidang ibadah adalah tidak berlebih-lebihan (ghuluw) tidak pula menyepelekan. Sedangkan wasathiyah dalam bisa akhlak, seperti posisi di antara khauf (pesimisme) yang berlebihan dan raja’ (optimisme) yang berlebihan.
Optimisme yang berlebihan dapat mengakibatkan orang gampang berbuat dosa, sehingga menganggap dirinya pasti mendapatkan surga. Sedangkan pesimisme yang berlebihan dapat mengakibatkan orang gampang putus asa.
Islam Wasathiyah dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara harus dipahami secara komprehensif agar cara memandang bangsa ini dapat dilakukan secara integral. Pemahaman yang benar akan mendorong warga negara untuk perperan aktif dalam pembangunan dan mendukung terciptanya suasana yang kondusif.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Negara yang kondusif bagi kaum Muslimin menjadi hal yang wajib diupayakan, agar pelaksanaan syariat agamanya bisa dilakukan maksimal. Jika situasi kacau, kondisi perang, maka umat Islam akan kesulitan menjalankan syariat.
Maka, mari kita jaga bangsa kita ini agar situasi dan kondisi tetap aman dan damai. Segala persoalan yang timbul hendaknya diselesaikan melalui saluran dan jalur yang telah disediakan. Tidak bertindak anarkis dan main hakim sendiri. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam