Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency (MINA)
Islamofobia – ketakutan terhadap pengaruh Islam – semakin meluas di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Praktek-praktek diskriminasi diberlakukan tanpa alasan yang jelas terhadap kaum muslim dengan memisahkan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan bangsa.
Dalam Islamfobia juga ada persepsi bahwa Islam tidak mempunyai norma yang sesuai dengan budaya lain, lebih rendah dibanding budaya barat dan lebih berupa ideologi politik yang bengis daripada berupa suatu agama.
Sebuah contoh nyata dialami sebuah keluarga muslim asal Inggris yang berencana ke Carolina Selatan, AS, baru-baru ini. Mereka dilarang masuk ke pesawat oleh petugas Departemen Keamanan Nasional. Tanpa alasan mereka tidak boleh masuk ke Negeri Paman Sam itu. Bisa jadi pernyataan bakal calon presiden AS Donald Trump – bahwa muslim dilarang masuk ke AS – mempengaruhi petugas imigrasi.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Pada 15 Desember lalu, Mahmood juga ditolak masuk ke taman bermain Disneyland. Tak hanya itu, biaya perjalanan dia beserta sembilan anak-anak yang dibawanya hanya dikembalikan bahkan tidak sampai 9.000 Euro (setara Rp 182,7 juta).
Pria ini bercerita, sesaat sebelum meninggalkan Bandara Gatwick, Mahmood dipaksa untuk melepas semua barang bebas pajak yang dibelinya di daerah California. “Saya tak pernah merasa lebih malu dari ini selama hidup saya. Saya bekerja di sini (Amerika), saya punya bisnis di sini, namun saya seperti terasing.”
Kementerian Kehakiman Latvia melarang perempuan muslimah mengenakan niqab atau baju kurung. Negara di pesisir Laut Baltik ini beralasan hendak melindungi tradisi negaranya dari pengaruh asing, dalam hal ini ajaran Islam. Padahal kemungkinan besar cuma tiga perempuan, dari 2.000 umat Islam di Latvia, yang memakai niqab.
Liga Legzdina (27) perempuan Latvia yang memutuskan jadi mualaf mengaku rutin mengenakan niqab setiap hari. Menurut dia, pelarangan ini dianggap sedikit aneh. Pasalnya, dari sekitar 1.000 muslim tinggal di latvia, hanya tiga perempuan yang memakai niqab. “Tiba-tiba saja semua orang menjadi sangat agresif dibanding sebelumnya.”
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Tak hanya untuk menjaga warisan budaya, pemerintah Latvia menyebutkan pelarangan ini untuk menjaga negaranya dari para pengungsi yang masuk ke Eropa. Salah satu negara anggota Uni Eropa ini memang bukan yang termasuk ramah pengungsi.
Pada saat pengungsi mencoba merangsek masuk melalui Yunani, sekitar pertengahan tahun lalu, pemerintah Latvia menyetujui akan menerima hingga 776 pengungsi hingga dua tahun ke depan. Meski demikian, dari data yang ada, hanya enam saja yang tiba di negara tersebut.
Laporan New York Times menyebutkan, negara ini memiliki budaya yang tidak sesuai dengan para muslim. Dari hasil debat publik, disebutkan jika Latvia menutup pintu dari pengungsi karena takut akan ‘invasi’ muslim di negara tersebut.
Di Uni Eropa, Latvia tidak sendirian melarang para muslim mengenakan niqab. Sejak 2011, Paris juga melakukan hal yang sama. Meski demikian, beberapa mahasiswa di sebuah universitas di sana menggelar ‘World Hijab Day’ yang ditujukan untuk menghilangkan stigma muslim adalah agama teroris.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
“Jika Anda memang berpandangan bahwa semua wanita memiliki hak untuk mengenakan busana yang mereka inginkan, maka hormatilah pilihan mereka itu. Tidak ada alasan Anda melarang mereka mengenakan busana tertentu, termasuk hijab,” kata kelompok mahasiswa yang terlibat dalam aksi tersebut, seperti dilansir dari World Bulletin.
Konflik antarumat beragama di Prancis saat ini menjadi sorotan lantaran terus meningkatnya Islamofobia di negeri itu. Bahkan, Perdana Menteri Manuel Valls pada awal bulan ini pernah melontarkan pernyataan kontroverisal dengan menuding jilbab sebagai lambang ‘perbudakan perempuan’.
Meningkat setelah 11 September
Islamfobia mulai tertanam di kalangan masyarakat Barat untuk pertama kalinya semasa Perang Salib (antara 1095–1291) yang melibatkan tentara Muslim dan Kristen Eropa. Pada masa-masa itu, Kekaisaran Bizantium dan Gereja Roma menggunakan propaganda sentimen anti-Islam untuk merebut Yerusalem dari tangan kaum Muslimin.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
“Para sejarawan mencatat, jumlah orang Islam dan Yahudi yang terbunuh di al-Quds (Yerusalem) selama berlangsungnya Perang Salib tidak kurang dari 70 ribu jiwa,” kata A Said Gul dalam tulisannya, History of Islamophobia and Anti-Islamism yang dimuat oleh the Pen Magazine (2011).
Islamofobia adalah istilah kontroversial yang merujuk pada prasangka dan diskriminasi pada Islam dan Mslim. Istilah itu sudah ada sejak 1980-an, tapi menjadi lebih populer setelah serangan 11 September 2001. Tahun 1997, Runnymede Trust dari Inggris mendefinisikan Islamofobia sebagai “rasa takut dan kebencian terhadap Islam, oleh karena itu juga pada semua Muslim.”
Berbagai sumber melihat adanya kecenderungan peningkatan dalam Islamofobia, sebagian diakibatkan serangan 11 September, juga berhubungan dengan semakin banyaknya Muslim di dunia barat. Mei 2002 European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia mengeluarkan laporan yang menggambarkan peningkatan Islamofobia di Eropa setelah 11 September 2001.
Di Barat, terorisme selalu dikaitkan dengan Islam. Padahal menurut seorang pengamat, Taufik Andrie, itu adalah stereotip yang salah, karena, secara umum gerakan terorisme di dunia berbasis ideologi agama, bukan hanya Islam. Misalnya, di Sri Lanka ada kelompok berbasis Hindu, kemudian di Jepang, Eropa Utara, dan Timur berbasis ideologi agama baik Kristen/Katolik.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Research Director Yayasan Prasasti Perdamaian ini mengakui, memang sering kali ada stigma, terutama oleh media bahwa gerakan itu kebanyakan berbasis Islam. Kemudian, aksi-aksi yang dampaknya besar adalah kelompok teroris yang kebetulan agama Islam.
Secara global ada kecenderungan pertarungan wacana. Negara-negara yang berhaluan Islam, seperti Afghanistan, Irak, Pakistan juga merupakan basis teroris. Kelompok di sana, walaupun tidak beraliansi pada negara, tapi AS tetap melancarkan serangan terhadap mereka. Pada 2001 ke Afghanistan dan 2003 ke Irak.
Kelompok teroris ini menurut dia, ada di ideologi bernapaskan Islam, tapi sangat spesifik yang mengedepankan kekerasan. Sedangkan, Islam yang mainstream ada ajaran kasih sayang, demokrasi, dan toleransi.
Islamofobia tumbuh terutama di Eropa dan AS karena salah paham tentang Islam. Yang mereka ketahui, imigran pada beberapa kelompok begitu eksklusif. Ada beberapa pula yang ke Afghanistan, Irak. Artinya, informasi yang kurang membuat persepsi sempit. Sementara, wajah yang dipertontonkan kebetulan oleh (kelompok) radikal itu.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Apalagi, kelompok radikal ini sangat banyak beredar di internet. Alqaidah, misalnya, mereka menyebar di beragam media. Ini dibaca oleh policemaker dan masyarakat umum. Sehingga, digambarkan dari sana, Islam seperti ini (yang digambarkan Alqaidah). Info yang kurang ini diperburuk oleh wacana kelompok ekstrem.
Terkait dengan terorisme di Indonesia misalnya, “saya kira yang sulit (menghentikan aksi teror) adalah secara strategi di proses penegakan hukum. Dalam insiden terorisme ada tersangka yang ditangkap. Tapi, celakanya nggak semua pelaku itu ditangkap. Sehingga, ini membuka kesempatan mereka untuk konsolidasi, sehingga terus tumbuh,” katanya.
Secara umum, kelompok ini punya ruang kampanye atau dakwah massif yang diterima publik. Beberapa menyuarakan aspirasi dalam politik, beberapa radikal yang hanya bertujuan jihad atau tegaknya syariat. Ini sudah puluhan tahun ada, sejak sekitar 1950-an, jadi sudah setengah abad dan berkembang dari tahun ke tahun. Ini ideologi, tidak dapat dimatikan.
Secara global, kelompok ekstremis Islam mengalami ketidakadilan global. Tidak pernah ada jawaban mengapa AS terus menyerang Afghanistan. “Kalau berdasarkan demokrasi, ya nggak akan ditumpas seperti itu. Ketidakadilan ini pun dirasa harus dibalas. Kemudian, di Yaman, Suriah, ada strategi di mana rezim harus diturunkan. Melindungi kelompok Muslim yang teraniaya sangat diterapkan oleh kelompok (teroris) ini,” ujarnya.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Seperti kata Taufik, Islam moderat cukup banyak, tetapi mungkin kurang bergerak. Pertarungan wacana sangat massif. Celakanya, di kalangan kelompok Barat, peta politik lokal dipengaruhi oleh kelompok fundamentalis Kristen. Begitu pula pengaruh Yahudi di AS. Itu tidak dapat dipungkiri. Jadi, ini memang pertempuran ideologi yang tidak akan berhenti. (R01/P2)