Hind adalah seorang wanita Maroko berusia 31 tahun yang tinggal di Brussels dan belum memiliki pekerjaan. Dia juga seorang Muslimah yang memakai Niqab (cadar), jilbab yang menutupi wajah.
”Saya berusaha mencari pekerjaan dan di sini di Belgia ada undang-undang baru kita tidak dapat bekerja dengan mengenakan jilbab,” kata Hind yang tidak bersedia menyebutkan nama belakangnya.
“Kita harus melepasnya untuk bisa dapat bekerja,” tambahnya, seperti beritakan Wordbulletin yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Rabu.
Sebuah undang-undang yang melarang pemakaian cadar wajah telah diberlakukan di Belgia sejak tahun 2011lalu. Bagi wanita berkerudung itu sangat keberatan dengan hukum, yang melarang pakaian yang mengaburkan identitas pemakainya di tempat-tempat seperti taman dan di jalan.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Tapi pada tahun 2012 Mahkamah Konstitusi Belgia menolak banding dan memutuskan bahwa larangan itu tidak melanggar hak asasi manusia.
Esma, seorang dokter Maroko berusia 31 tahun, mengatakan kepada The Anadolu Agency, bahwa perempuan cenderung mendapatkan perlakuan diskriminatif dan pengucilan dari masyarakat di Belgia, karena pakaian jilbab yang dikenakannya.
“Saat Anda lulus dari studi apapun dan Anda ingin pekerjaan apa pun, mereka meminta Anda untuk tidak memakainya. Dan itu tidak diperbolehkan dalam banyak kegiatan untuk mengenakan jilbab,” katanya.
Hind dan Esma adalah dua dari ratusan Muslim yang berkumpul pada Ahad (26/10) di Brussels untuk memprotes Islamofobia dan kematian misterius seorang pria dengan latar belakang Timur Tengah, di sel penjara pada 15 September.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Yusuf Tahriki nama pria itu, adalah seorang berusia 42 tahun, ayah dari delapan anak yang ditangkap 14 September setelah sebelumnya polisi memberikan penjelasan pada keluarganya atas sebuah tuduhan. Dia ditemukan tewas di selnya pada hari berikutnya. Polisi belum mengungkapkan rincian kematiannya, yang sedang diselidiki oleh jaksa wilayah Charlevoix di Belgia.
Kematian Tahriki menimbulkan meningkatnya ketegangan di negara di mana umat Islam mengatakan bahwa mereka merasa stereotip dan diskriminasi.
Menurut Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama, 614 kejahatan rasis dan xenofobia dicatat oleh penegak hukum dalam enam bulan pertama 2012. Enam puluh enam orang dijatuhi hukuman penjara atas kejahatan tersebut.
Pada tanggal 11 Oktober, empat partai pemerintah koalisi baru Belgia di bawah Perdana Menteri Charles Michel, berjanji untuk menyeimbangkan anggaran nasional tahun 2018 dengan memotong sekitar 8 juta euro dalam biaya dan menaikkan usia pensiun 65-67.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Negara yang sehari-hari warganya menggunakan tiga bahasa, yakni Perancis, Flemish dan Jerman ini, sedang menghadapi ekonomi yang bergerak lambat, dan diperkirakan pertumbuhan ekonominya kurang dari 1 persen tahun.
Menurut sebuah laporan di Januari 2013, oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan, orang yang berasal dari luar negeri adalah 2,6 kali sangat berpotensi menjadi pengangguran dibandingkan seseorang yang lahir di Belgia. Sementara diperkirakan populasi Muslim Belgia tahun itu 638.000, menurut Pusat Penelitian PEW.
PEMBERITAAN MEDIA TIMBULKAN PRASANGKA TERHADAP MUSLIM
Ketegangan di Irak dan Suriah dan munculnya Isil atau ISIS makin memperburuk citra Muslim, apalagi dengan adanya penggambaran di media yang negatif terhadap Muslim, menurut Elodie, seorang Belgia berbahasa Perancis yang menghadiri protes hari Ahad.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Elodie mengatakan, media Barat perlu mengubah cara menggambarkan Muslim di berita dan “mencoba untuk memahami bahwa menjadi seorang Muslim bukan ancaman bagi siapa pun”.
Menurut Pusat Internasional untuk Studi Radikalisasi dan Kekerasan Politik, hanya di bawah 300 orang yang meninggalkan Belgia dari akhir 2011 hingga Desember 2013 untuk berperang di Suriah.
Pusat penelitian yang berbasis di London itu mengatakan, Belgia adalah salah satu negara di Eropa Barat yang paling banyak terkena dampak, dengan memasok 27 militan per juta penduduk.
Esma mengatakan mereka yang meninggalkan Belgia dan berperang di Suriah dan Irak, tidak mewakili 44.100.000 Muslim di Eropa, berdasarkan data PEW tahun 2010. Mereka meninggalkan negara itu untuk melawan karena mereka tidak diterima di masyarakat mereka tinggal, katanya.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
“Media Barat harus lebih objektif dan berbicara dengan lebih banyak orang, kata Esma. Mereka harus memberikan suara untuk bersuara,” tandasnya. (T/R11/R03 )
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel