Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Israel Ancam Jegal Hamas dalam Pemilu Palestina (Oleh: Adnan Abu Amer)

Rudi Hendrik - Ahad, 25 Oktober 2020 - 10:32 WIB

Ahad, 25 Oktober 2020 - 10:32 WIB

6 Views

Seruan Israel melawan keikutsertaan Hamas dalam pemilihan umum Palestina mendatang semakin keras. Israel menuduh keterlibatan Hamas mewakili ancaman terhadap Israel yang dilarang di bawah Persetujuan Oslo. Karenanya, pendukung anti-Hamas menuntut otoritas Israel untuk memblokir kesertaan Hamas dengan cara menangkap kandidatnya, melarang pemilihan, dan menutup pusat-pusat pemungutan suara.

Pelaksanaan pemilu Dewan Legislatif Palestina ini berasal dari kesepakatan Fatah dan Hamas  dalam pembicaraan di Istanbul baru-baru ini. Namun, Israel tetap prihatin dan khawatir akan peningkatan kehadiran Hamas di Tepi Barat mengingat kerentanan Otoritas Palestina (PA).

Di luar itu, kekhawatiran Israel difokuskan pada kemenangan Hamas yang diperkirakan akan memperkuat kekuatan Iran dan Turki di kawasan, dan meningkatkan pengaruh mereka di Tepi Barat. Ini menjelaskan peringatan baru-baru ini yang dikeluarkan oleh Yordania dan Mesir kepada Presiden PA Mahmoud Abbas tentang membangun hubungan yang lebih dekat dengan Hamas, Turki, dan Qatar.

Menurut Israel, tujuan Hamas bertujuan dalam pemilihan umun berikutnya adalah sebagai bagian dari rencana untuk mengontrol Tepi Barat. Maka ini mengharuskan Israel untuk campur tangan dan menjelaskan kepada Abbas bahwa mereka tidak bermaksud mengizinkan Hamas berpartisipasi dalam pemilihan, pun secara tidak langsung, atau melalui pembentukan partai politik baru untuk berpartisipasi dalam pemilihan parlemen atas namanya.

Baca Juga: Israel Halangi Evakuasi Jenazah di Gaza Utara

Israel memiliki kekuatan yang cukup untuk melarang pemilihan umun di Tepi Barat dan Yerusalem Timur karena mengontrol kedua wilayah tersebut. Otoritas pendudukan Israel juga dapat menangkap kandidat, menutup pusat pemungutan suara, dan mencegah 300.000 warga Yerusalem berpartisipasi.

Seruan yang menentang partisipasi Hamas dalam pemilu menuntut otoritas Israel untuk secara terbuka mengungkapkan penolakan mereka membiarkan gerakan tersebut memenangkan pemilu sebelum kemungkinan perubahan terjadi di Gedung Putih, jika Trump kalah dalam pemilihan presiden yang akan membuat segalanya lebih sulit bagi Israel.

Lingkaran Israel lainnya menuntut otoritas pendudukan untuk memberlakukan persyaratan pada Hamas jika ingin diterima berpartisipasi dalam pemilihan mendatang. Mereka mengklaim bahwa keterlibatan G-30-S dalam pemilu 2006 tidak memberikan hak bagi Hamas untuk kembali ke pemilihan umum berikutnya dan tidak membenarkan pengulangan apa yang disebut “kesalahan besar” di pihak Israel.

Jika Hamas tidak siap untuk meninggalkan tindakan bersenjata, Israel harus menunjukkan penolakan total terhadap partisipasinya yang direncanakan dalam pemilihan Dewan Legislatif Palestina (PLC) berikutnya.

Baca Juga: Keluarga Tahanan Israel Kecam Pemerintahnya Sendiri

Brigade Izzudin Al Qassam, sayap militer gerakan perlawanan Hamas di Gaza (Foto: File/Safa)

 

Meski ada kesepakatan antara Fatah dan Hamas untuk menggelar pemilu, Israel tak boleh berpuas diri. Sebaliknya, harus mewajibkan setiap partai Palestina yang berpartisipasi dalam pemilu tidak berusaha mencapai tujuannya melalui cara yang tidak demokratis, baik sebagai individu atau organisasi.

Israel punya pengalaman pahit dengan kemenangan Hamas dalam pemilu legislatif 2006 lalu, yang diraih berkat popularitas gerakan tersebut di kalangan warga Palestina, bersama dengan kesalahan yang dibuat pemerintahan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon dengan menerima keikutsertaan Hamas dalam pemilu.

Satu setengah tahun kemudian, pada pertengahan 2007, Hamas diuntungkan dari kemenangannya dan menguasai Jalur Gaza.

Baca Juga: Jajak Pendapat: Mayoritas Warga Penjajah Israel Ingin Akhiri Perang

Sebelumnya pada tahun 2005, Sharon mengambil langkah bersejarah untuk mundur secara sepihak dari Jalur Gaza, Presiden AS Bush berhasil meyakinkannya untuk mengizinkan Hamas ikut serta dalam pemilihan legislatif 2006.

Bush percaya pada saat itu bahwa mengizinkan Hamas untuk berpartisipasi dalam pemilihan akan memberikan legitimasi pada Perjanjian Oslo, dan jika gerakan tersebut memenangkan 25 persen suara, maka itu akan menjadi elemen konstruktif dalam demokrasi Palestina yang menjanjikan.

Sementara itu, Sharon berhasil mendapatkan persetujuan pemerintahnya untuk mengizinkan Hamas berpartisipasi, tanpa ada tentangan dari kubu sayap kanan. Padahal beberapa anggota tim perunding di Israel meyakini partisipasi Hamas dalam pemilu melanggar Perjanjian Oslo, tanpa menunjukkan perlawanan serius terhadap langkah ini, karena mereka tidak melihat perbedaan partisipasi antara Hamas, Fatah atau faksi Palestina lainnya.

Akhirnya hasil pemilu menjadi sangat bermasalah bagi Israel. Hamas meraih kemenangan telak, sedangkan Fatah tidak berhasil menyatukan daftar dalam pemilu. Kemenangan Hamas menjadi kejutan bagi semua orang, bahkan bagi gerakan itu sendiri.

Baca Juga: Front Demokrasi Serukan Persatuan di Tepi Barat Palestina

Di sisi lain, Bush tidak tahu bagaimana harus bertindak setelah pergeseran peristiwa yang signifikan ini. Uni Eropa menetapkan empat syarat untuk mengakui kemenangan Hamas, termasuk penolakan penuh atas tindakan bersenjata dan pengakuan atas perjanjian yang ditandatangani. Namun, Hamas tidak menunjukkan komitmen apapun terhadap tuntutan tersebut.

Saat ini, lebih dari 14 tahun sejak pemilihan legislatif Palestina terakhir, sebagian besar negara di dunia masih menolak untuk mengakui Hamas, tetapi mereka dipaksa untuk memiliki hubungan dengannya. Bahkan Abbas yang melihat Hamas sebagai musuh terbesarnya pun terpaksa bersekutu dengannya. Ini sangat dipandang benar setelah gelombang normalisasi Arab dengan Israel dan menemukan bahwa sekutu Hamas di wilayah tersebut masih menolak menjalin hubungan dengan pendudukan.

Orang Israel mengklaim, mengadakan pemilihan umum Palestina hari ini bukanlah urusan internal Palestina saja, tetapi lebih merupakan masalah yang juga penting bagi Israel.

Maka adalah kewajiban Pemerintah Israel untuk memungkinkan orang-orang Israel di Yerusalem memberikan suara di kotak surat di Yerusalem Timur, dan mewajibkan Hamas menghentikan aksi-aksi perlawanan bersenjata. Jika Hamas tidak menunjukkan kesediaannya untuk melakukannya, maka otoritas Israel tidak punya pilihan lain selain menyatakan penolakan terhadap keikutsertaan Hamas dalam pemilu, atau dalam proses demokrasi di Palestina.

Baca Juga: Abu Ubaidah: Tentara Penjajah Sengaja Bombardir Lokasi Sandera di Gaza

Namun, ini mungkin dianggap intervensi terang-terangan dalam urusan Palestina.

Meningkatnya tuntutan Israel untuk mencegah Hamas berpartisipasi dalam pemilu dengan dalih posisi politik anti-Israel, diimbangi dengan dukungan pemerintah pendudukan terhadap berbagai partai sayap kanan yang menyerukan penerapan kebijakan dan tindakan rasis melawan Palestina.

Di samping itu harus juga digarisbawahi, posisi Israel mengungkapkan kontradiksi yang mencolok dan kecenderungan skizofrenia yang dialami oleh entitas Zionis saat dunia menyaksikan masalah ini.

Palestina tidak membutuhkan persetujuan Israel untuk mengadakan pemilihan umum yang akan datang, yang merupakan murni urusan internal Palestina, Israel tidak memiliki hak untuk campur tangan. (AT/RI-1/P1)

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta

Sumber: Middle East Monitor (MEMO)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari

Rekomendasi untuk Anda