Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Israel Biadab, Kemanusiaan Terluka, Kisah Luka dari Gaza

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 44 detik yang lalu

44 detik yang lalu

0 Views

Israel bengis tangkap ratusan anak Gaza (foto: ig)

PAGI itu, 13 April 2025, langit Gaza kembali memerah. Dua rudal Israel menghantam Rumah Sakit Al-Ahli Arab Baptist, menghancurkan ruang gawat darurat dan resepsionisnya. Meskipun tidak ada korban jiwa karena evakuasi sebelumnya, lebih dari 100 pasien, termasuk yang terluka parah, terpaksa dirawat di jalanan tanpa perawatan medis yang memadai. ​

Israel mengklaim bahwa rumah sakit tersebut digunakan oleh Hamas sebagai pusat komando, namun tidak memberikan bukti yang jelas. Serangan ini menambah daftar panjang fasilitas medis yang menjadi sasaran, termasuk Rumah Sakit Al-Awda di Jabalia, yang sebelumnya telah dibom dan dikepung oleh pasukan Israel.

Sejak dimulainya konflik pada 7 Oktober 2023, lebih dari 50.000 warga Palestina telah tewas, dengan mayoritas korban adalah wanita dan anak-anak. ​Anak-anak menjadi korban paling rentan. Lebih dari 15.000 anak telah terbunuh, dan 17.000 lainnya hidup tanpa orang tua.

Wanita hamil dan ibu muda tidak luput dari kekejaman. Banyak dari mereka tewas saat melahirkan di rumah sakit yang rusak atau saat mencoba melarikan diri dari serangan. Klinik-klinik bersalin seperti Al-Awda, yang sebelumnya menjadi harapan terakhir, kini hancur atau tidak berfungsi. ​

Baca Juga: Masjid Al-Munawwarah, Destinasi Wisata Religi di Dataran Tinggi Gayo

PBB melaporkan bahwa 70% korban jiwa di Gaza adalah wanita dan anak-anak, menunjukkan bahwa serangan ini tidak membedakan antara kombatan dan sipil.

Di tengah reruntuhan, para ibu mencari anak-anak mereka yang hilang, sementara anak-anak yang selamat menderita trauma mendalam. Banyak yang kehilangan seluruh keluarga dan kini hidup dalam ketakutan dan kesepian.​

Serangan juga menargetkan petugas medis. Pada Maret 2025, 15 paramedis Palestina dibunuh secara sistematis saat mencoba menyelamatkan korban di Shuja’iyya. Tubuh mereka ditemukan dalam kuburan massal, memicu kecaman internasional. ​

Blokade Israel memperparah situasi, menyebabkan kelaparan dan kekurangan air bersih. Bantuan kemanusiaan terhambat, dan warga Gaza terpaksa mengandalkan sumber daya yang semakin menipis.

Baca Juga: Ini Pesan Insinyur Microsoft yang Dipecat karena Protes Keterlibatan Perusahaan dalam Genosida di Gaza

Meskipun ada upaya gencatan senjata yang dimediasi oleh Mesir, Qatar, dan AS, serangan terus berlanjut. Israel menolak tekanan internasional dan melanjutkan operasi militernya dengan dalih keamanan nasional.​

Organisasi internasional seperti UNICEF menyerukan gencatan senjata segera untuk melindungi anak-anak dan warga sipil. Namun, seruan ini belum membuahkan hasil konkret di lapangan.​

Kehidupan di Gaza kini penuh dengan ketidakpastian. Warga hidup dalam ketakutan akan serangan berikutnya, dengan harapan yang semakin menipis akan perdamaian dan keamanan.​

Kisah-kisah seperti ini menunjukkan bahwa konflik ini bukan sekadar pertikaian politik, tetapi tragedi kemanusiaan yang mendalam. Setiap angka korban mewakili nyawa, keluarga, dan masa depan yang hancur.​

Baca Juga: Bersama Gaza, Selamanya, Jutaan Hati dari Yaman Menyatu untuk Palestina

Dunia tidak bisa terus diam. Kekejaman yang terjadi di Gaza menuntut respons dan tindakan nyata untuk menghentikan penderitaan yang tak berkesudahan ini.​

Gaza menangis, dan dunia harus mendengarnya. Saatnya berdiri untuk kemanusiaan dan menuntut keadilan bagi mereka yang telah kehilangan segalanya.

Di balik reruntuhan yang membungkam suara, seorang anak perempuan berusia tujuh tahun duduk memeluk boneka lusuh yang ditemukan di dekat jasad ibunya. Ia tidak menangis lagi—air matanya sudah habis sejak malam sebelumnya, ketika rumah mereka disapu bom dan ia satu-satunya yang selamat.

“Mama tidur terus,” bisiknya kepada seorang relawan medis yang lewat, tanpa menyadari bahwa tubuh sang ibu telah membeku dalam keabadian. Derita anak-anak Gaza kini bukan lagi sekadar kehilangan, tetapi hidup dalam bayang-bayang trauma yang tak pernah dimengerti usia mereka.

Baca Juga: Ketika Langit Lebanon Menggugurkan Elang Besi Israel

Sementara itu, di lorong sempit bawah tanah tempat ratusan warga berlindung, suara detak jantung terdengar lebih keras dari gemuruh rudal. Seorang wanita tua, dengan tangan gemetar dan napas berat, terus memandangi pintu bunker seolah menanti seseorang. Ia kehilangan tiga cucunya dalam satu malam, dan kini hanya menunggu giliran.

“Saya tidak takut mati,” ucapnya pelan, “yang saya takutkan… dunia tidak lagi peduli.” Kalimat itu menggema seperti ratapan yang tidak ditujukan kepada Tuhan semata, tapi kepada manusia yang masih memilih diam.

Ada luka yang lebih dalam dari sekadar ledakan—yakni perasaan ditinggalkan oleh kemanusiaan itu sendiri. Gaza bukan hanya sedang dihancurkan oleh rudal dan peluru, tetapi juga oleh apatisme dunia yang hanya sanggup bersedih sebentar lalu kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Padahal di sana, setiap hari adalah penguburan, setiap malam adalah tangisan, dan setiap pagi adalah ketidakpastian hidup. Ketika kemanusiaan runtuh, siapa yang tersisa untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang masih berharap?[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Seruan Damai dari Langit, Ribuan Personel AU Israel Tolak Perang Gaza

 

 

Baca Juga: Banyak Orang Tewas Di Gaza Karena Sistem Kesehatan “Benar-benar” Lumpuh

Rekomendasi untuk Anda