Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Israel Bukan Negara, Tapi Mesin Pembantai!

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 29 detik yang lalu

29 detik yang lalu

0 Views

Ibu yang menderita akibat kebiadaban Israel si Bangsa Kera (foto: ig)

DALAM sebuah dunia yang katanya menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, di mana para pemimpin dunia berbicara tentang perdamaian dan keadilan, ada sebuah tanah yang basah oleh darah anak-anak tak berdosa. Tanah itu bernama Palestina. Di sana, setiap detik bukan tentang hidup yang lebih baik, tapi tentang bagaimana tetap bertahan dari serangan demi serangan yang membunuh bukan hanya jasad, tapi juga harapan.

Israel, entitas yang mengklaim diri sebagai negara, telah lama kehilangan legitimasi moral untuk menyebut dirinya sebagai bangsa. Ia bukan negara, melainkan mesin pembantai yang digerakkan oleh ideologi penindasan, penjajahan, dan pembunuhan sistematis. Di balik dinding pemisah dan blokade yang mencekik, mesin ini terus bekerja tanpa henti, menghancurkan rumah, masjid, sekolah, dan jiwa-jiwa yang bahkan belum sempat dewasa.

Anak-anak Palestina tidak pernah tahu arti taman bermain yang aman. Mereka tidak mengenal bunyi musik pengantar tidur, karena sejak bayi, mereka sudah akrab dengan deru jet tempur dan dentuman rudal. Dunia menyebutnya konflik, tapi bagi warga Gaza, ini adalah genosida dalam diam, yang disiarkan ke seluruh dunia dan dibiarkan terjadi tanpa malu.

Sementara pemimpin dunia berpura-pura peduli, bayi-bayi syahid digendong dalam kain kafan. Mereka tidak pernah punya kesempatan untuk mengucapkan kata pertama, tapi mereka telah lebih dahulu menjadi saksi bisu kekejaman dunia. Satu per satu nama mereka menjadi angka dalam laporan kematian yang tak pernah mengguncang hati para pembela hak asasi manusia palsu.

Baca Juga: Israel Biadab, Kemanusiaan Terluka, Kisah Luka dari Gaza

Amerika Serikat, negara adidaya yang mengaku pelindung kebebasan, justru menjadi pemasok utama bahan bakar mesin pembantai ini. Setiap senjata, setiap peluru, dan setiap teknologi militer yang digunakan Israel untuk membunuh, mengandung jejak dana dan persetujuan Washington. Mereka tidak berdiri di sisi kemanusiaan—mereka berdiri di sisi pembantaian.

Mesin ini tidak hanya membunuh manusia, tapi juga kemanusiaan. Ia menghancurkan rumah-rumah sakit tempat para dokter bekerja tanpa alat, ia membumihanguskan sekolah tempat guru mencoba menyemai harapan, dan ia mengebom tempat pengungsian yang penuh dengan orang tua renta dan bayi lemah tak berdosa.

Di balik layar-layar media arus utama, ada suara-suara tangisan yang tak pernah terdengar. Mereka adalah para ibu yang menggenggam pakaian terakhir anaknya yang hancur bersama puing-puing rumah. Mereka adalah para ayah yang menggali makam kecil untuk anak-anaknya di tengah sirene serangan udara. Dan mereka adalah anak-anak yang menulis wasiat sebelum tidur karena tahu besok bisa jadi tak lagi bernapas.

Israel bukan korban, bukan pembela diri, dan bukan negara sah dalam moralitas kemanusiaan. Ia adalah penjajah yang membangun eksistensinya di atas darah dan air mata bangsa Palestina. Dari Nakba 1948 hingga sekarang, sejarahnya adalah sejarah pembunuhan yang dilegalkan oleh politik, uang, dan kebohongan.

Baca Juga: Masjid Al-Munawwarah, Destinasi Wisata Religi di Dataran Tinggi Gayo

Namun, di tengah reruntuhan, masih ada cahaya. Warga Palestina tidak hanya bertahan, mereka juga bermartabat. Mereka berdoa dalam kesunyian yang porak-poranda, mereka mengajar dalam ruang-ruang sempit yang nyaris roboh, dan mereka terus melawan dengan iman, dengan sabar, dan dengan keyakinan bahwa kebenaran tidak akan selamanya dikalahkan oleh senjata.

Sementara dunia menundukkan kepala, rakyat Palestina menengadah kepada langit. Mereka tidak meminta dunia untuk kasihan, mereka hanya meminta dunia berhenti berpura-pura tuli. Karena bagi mereka, hidup adalah perjuangan dan mati adalah kehormatan. Mereka tidak takut kepada mesin pembantai itu, karena hati mereka lebih kuat dari bom yang dijatuhkan.

Setiap darah yang tumpah di tanah suci itu adalah saksi betapa dunia ini sudah lama kehilangan nuraninya. Setiap tangisan ibu adalah doa yang mengguncang langit, dan setiap syahid kecil adalah pengingat bahwa pembebasan tidak datang dari diplomasi palsu, tapi dari hati yang tulus untuk melawan kezaliman.

Israel bisa menghancurkan bangunan, tapi tidak bisa menghancurkan semangat. Ia bisa membunuh tubuh, tapi tidak bisa membunuh keyakinan. Dan selama Palestina tetap hidup dalam doa-doa jutaan orang, maka mesin pembantai itu tidak akan pernah menang. Karena yang mereka lawan bukan hanya rakyat, tapi ruh perjuangan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Baca Juga: Ini Pesan Insinyur Microsoft yang Dipecat karena Protes Keterlibatan Perusahaan dalam Genosida di Gaza

Hari ini, dunia harus memilih: diam di sisi penindas, atau berdiri bersama yang tertindas. Karena sejarah akan mencatat siapa yang berdiri untuk kemanusiaan dan siapa yang bersekongkol dengan kejahatan. Jangan tunggu semuanya hancur, sebelum akhirnya kita menyesal karena menjadi penonton yang bisu.

Palestina tidak butuh belas kasihan, ia butuh keadilan. Dan dunia tidak butuh lagi alasan untuk membiarkan pembantaian ini terus berlangsung. Karena yang sedang terjadi bukan konflik antarnegara, tapi pembantaian yang dilegalkan oleh dunia yang pura-pura sibuk.

Israel bukan negara. Ia adalah mesin pembantai. Dan selama kita masih manusia, suara kita harus berdiri menentang kebisuan yang mematikan.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Bersama Gaza, Selamanya, Jutaan Hati dari Yaman Menyatu untuk Palestina

 

Rekomendasi untuk Anda